5. Dalam Kendalinya

1389 Words
Leonard berdiri kaku di luar ruang inap Rizaldy, kedua tangannya terkepal di saku celana kainnya. Matanya yang dingin memandang melalui kaca jendela ke arah pria yang masih tak berdaya itu, rahangnya mengeras menahan geram yang menggelegak dalam dadanya. Pria inilah yang telah menjalin hubungan terlarang dengan istrinya. "Tuan." Leonard menarik napas panjang sebelum menyahuti panggilan asistennya. "Ya?" "Bu Siska sudah di sini." Leonard segera menyusun kembali raut wajahnya yang tegas. Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam ikalnya berdiri di sana, keriput di sudut matanya menunjukkan kecemasan yang mendalam. "Bu Siska," sapa Leonard dengan suara yang sengaja dibuat halus sambil menjabat tangan wanita itu. Genggamannya terasa ringan dan gemetar. "Siapa Anda? Mengapa saya harus menemui Anda?" tanya Siska, matanya terus melirik ke sekeliling seolah mencari jawaban atas kebingungannya. "Saya akan menanggung semua biaya pengobatan putra Anda," ujar Leonard tanpa basa-basi. "Sebagai imbalannya, putri Anda akan bekerja di kediaman saya." "Sheena? Anda sudah bertemu dengannya?" Siska mencari-cari wajah putrinya di sekeliling lorong rumah sakit. "Tapi dia belum mengatakan apa-apa pada saya mengenai biaya perawatan." "Kami sudah mencapai kesepakatan. Dia bahkan sudah mulai bekerja hari ini." Leonard menjaga suaranya tetap datar. "Saya harap Anda memahami bahwa dengan pekerjaan barunya, dia akan jarang bisa menjenguk kakaknya. Tapi tenang, kalian tetap bisa berkomunikasi." "Oh ... benarkah?" Siska mengerutkan kening, rasa was-was masih terpancar jelas dari wajahnya. "Tentu. Saya hanya ingin memberi kabar ini langsung kepada Anda. Sekarang izinkan saya permisi." Leonard berbalik dan berjalan pergi dengan langkah pasti dan diikuti oleh asistennya, meninggalkan Siska yang masih tercenung di lorong rumah sakit, bingung dengan segala kejadian yang berlangsung terlalu cepat ini. Leonard mendorong pintu kamar inap Moza dengan tenang. Di dalam, Moza duduk bersandar pada tumpukan bantalan, ditemani Diena yang duduk kaku di samping tempat tidur. Suasana ruangan terasa berat, seolah udara pun enggan bergerak di antara mereka bertiga. Tak satu pun dari mereka memecah kesunyian di tengah-tengah mereka. Leonard berdiri tegak di dekat pintu, Moza menatap langit-langit dengan wajah pucat, sementara Diena tampak sibuk memainkan ponselnya. "Saya sudah berkonsultasi dengan dokter," ujar Leonard akhirnya, suaranya datar seperti laporan bisnis. "Kamu bisa pulang dalam dua hari setelah terapi selesai." "Dua hari?" Diena bertanya tak percaya. "Dia patah tulang, Leon! Butuh beberapa minggu untuk pemulihan di rumah sakit!" "Saya akan menyewa perawat khusus untuk merawatnya di rumah." Jawaban Leonard pendek dan tidak ingin dibantah. "Diena," tegur Moza pada sang kakak yang hendak membalas Leonard. Kemudian dia menoleh pada suaminya. "Baiklah, Leon. Aku akan pulang seperti yang kamu inginkan," ucapnya yang sama sekali tidak mau membantah pria itu lagi mengingat banyaknya kesalahan yang telah diperbuatnya. "Bagus." Leonard tersenyum tipis. Senyum yang bahkan tidak sampai ke matanya. "Kamu akan dapat perawatan terbaik untuk kesembuhanmu, Moza." Setelah itu dia pun berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa menunggu respons lebih lanjut. Begitu pintu tertutup, Diena membelalakkan matanya pada adiknya. "Kamu tidak merasa ada yang aneh dengan sikapnya?" "Maksudnya apa, Diena?" "Dia menjadi perhatian padamu. Bukankah selama ini kamu seperti istri yang tidak pernah dianggap olehnya?" "Kak, berpikirlah yang positif, bisa saja dia ingin menebus kesalahannya karena telah mengabaikan aku selama ini—" "Dia tahu kamu berselingkuh, Moza! Tidak mungkin dia berubah drastis tanpa ada maksud tersembunyi." "Kamu mau dia menghukumku, Kak?" tanya Moza pedih. "Ini hanya tidak masuk akal! Dia seperti menerima saja pengkhianatanmu ...." "Cukup, Kak!" Moza memalingkan muka. "Aku lelah. Aku hanya ingin sembuh dan berjalan lagi. Mungkin ... mungkin setelah ini aku bisa jadi istri yang lebih baik." "Seharusnya kamu memikirkan itu berbulan-bulan yang lalu, Moza! Sebelum segalanya hancur berantakan akibat ulahmu sendiri!" Di balik pintu, Leonard menyandarkan punggungnya ke dinding. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya saat mendengar percakapan antara kedua saudari itu. Rencananya berjalan sempurna. Siapa bilang dia menerima begitu saja pengkhianatan yang dilakukan oleh istrinya? Tidak semudah itu. Tentu saja dia akan membalasnya dengan sesuatu yang lebih pedih yang tidak pernah dibayangkan oleh Moza sendiri. *** Sheena berdiri di dekat jendela memandang keluar pada halaman rumah yang cukup luas dan terawat. Matahari hampir tenggelam, sebentar lagi malam akan tiba. Dan dia masih terjebak di dalam kamar milik Moza dengan segala kemewahannya seperti seorang penyusup. Sekitar setengah jam lalu, seorang pelayan telah mengantarkan setumpuk pakaian yang diperintahkan Leonard. Sheena masih bisa merasakan tekstur sutra dan chiffon yang halus di ujung jarinya, begitu kontras dengan bahan katun tipis dari kaus dan jeans yang biasa dia kenakan. Setiap helai pakaian itu seakan berseru tentang dunia yang sama sekali asing baginya. Suara ketukan di pintu menyentak lamunannya. Sheena berbalik dan membuka pintu, menemui Rita yang berdiri tegak di ambang pintu. "Nana memanggil Nyonya untuk makan malam," ucap Rita dengan suara datar. "Oh ... ya, terima kasih." Sheena menutup pintu dan mengikuti langkah pelayan itu melewati koridor yang dihiasi lukisan-lukisan mahal. Sesampainya di lantai dasar, pandangan Sheena tertuju pada sebuah kursi roda listrik yang dipasang di sepanjang dinding, seperti lift khusus yang bisa membawa seseorang menaiki tangga tanpa anak tangga. "Untuk troli?" gumamnya dalam hati. "Silakan, Nyonya." Rita membukakan pintu kayu besar menuju ruang makan. Sheena memasuki ruangan yang membuatnya terkesiap. Meja makan sepanjang lima meter dipenuhi peralatan makan kristal yang berkilauan di bawah lampu gantung. Di ujung meja, Nana sudah duduk dengan postur tubuh yang tetap anggun meski usianya tak lagi muda. "Boleh aku duduk di sini?" tanya Sheena sambil menunjuk kursi di sebelah Nana. "Tentu, Sayang. Kamu bebas memilih tempat duduk mana pun di meja ini." Nana tersenyum hangat. Sheena menarik kursi berat berukir dan duduk dengan hati-hati, merasa seperti boneka yang ditempatkan di tengah panggung mewah. "Bukankah ini masih terlalu awal untuk makan malam?" tanya Sheena sambil melirik jam dinding. Nana terkekeh lembut. "Keluarga Halim terbiasa menyantap makan malam saat senja, Sheena. Nanti kamu akan terbiasa dengan jadwal ini." Sheena mengangguk pelan, jari-jarinya tak sadar memutar-mutar ujung taplak meja yang terbuat dari linen halus. Dalam hatinya, dia meragukan akan pernah benar-benar menjadi bagian dari ritual keluarga ini, ada sebuah sandiwara yang suatu saat pasti akan berakhir. Suasana makan malam yang tenang tiba-tiba pecah oleh suara Sheena yang berbisik pelan, "Apakah ... dia akan pulang malam ini?" Nana menelan suapannya sebelum menjawab, "Leon?" Dia mengangguk perlahan. "Tentu dia akan pulang, meski kita tak pernah tahu jam berapa dia akan berada di rumah. Leonard selalu tenggelam dalam pekerjaannya." "Dia seorang pengacara, kan?" tebak Sheena sambil memutar-mutar sendok di tangannya. "Benar," sahut Nana, "tapi jangan lupa, dia juga harus mengurus jaringan hotel keluarganya yang tersebar di mana-mana." Sheena hanya mengangguk pelan. Dalam benaknya, dia membayangkan betapa kompleksnya kehidupan pria yang baru dinikahinya itu, seorang pengacara ternama sekaligus pewaris kerajaan bisnis hospitality. Nana menatap Sheena yang tiba-tiba terdiam. "Apakah kamu khawatir dia akan menuntut hak malam ini?" Sheena mengerutkan kening. "Menuntut hak?" "Ayolah, kamu pasti paham maksudku. Kalian baru saja menikah," ujar Nana dengan senyum samar. Mendengar itu, Sheena tersedak hingga wajahnya memerah. Napasnya tersengal-sengal mencoba mengusir rasa panik yang tiba-tiba menyergap. "Maafkan aku, Sayang." Nana segera menepuk-nepuk punggung Sheena dengan lembut. "Aku seharusnya lebih peka." "Aku baik-baik saja," jawab Sheena terbatuk-batuk. Setelah makan malam usai, Sheena kembali ke kamar dengan langkah gontai. Setelah mandi, dia mengenakan gaun tidur sutra yang terasa asing di kulitnya. Saat berdiri di depan cermin besar itu, dia memandangi pantulan dirinya yang terlihat rapuh. "Gaun tidur mewah ini sama sekali tidak cocok dengan dirimu, Shen," bisiknya pada bayangan di cermin. Duduk di tepi ranjang, dia berusaha mengambil ponselnya dari meja samping. Tapi begitu benda itu berada di genggamannya, dia terkesiap. Bukan saja modelnya berbeda, bahkan mereknya pun cukup membuatnya semakin terkejut. "Hei!" teriaknya spontan, melemparkan ponsel asing itu ke atas kasur seolah benda itu menggigit tangannya. "Ada masalah dengan benda itu?" Suara berat Leonard tiba-tiba mengisi ruangan. Sheena menoleh cepat, menemukan pria yang dinikahinya tadi sore berdiri di ambang pintu dengan setelan jasnya yang masih lengkap. "Itu ... bukan ponselku," katanya dengan suara bergetar. "Memang bukan. Saya sudah menggantinya dengan yang baru," jawab Leonard santai sambil melepas jam tangannya. Sheena bangkit berdiri, tangan mengepal. "Kamu tidak bisa seenaknya melakukan itu! Kembalikan ponselku!" desaknya sambil mengulurkan tangan. "Saat kamu menerima tawaran dan menyatakan bersedia," ucap Leonard dengan tenang yang mengiris, "kamu harus siap menerima semua konsekuensinya dan mematuhi peraturan yang saya buat. Tanpa protes." "Kamu mencoba membatasi gerak-gerikku," tuduh Sheena dengan suara lirih penuh kepahitan. Leonard melangkah mendekat, berhenti tepat di hadapannya. Aroma parfumnya yang mahal memenuhi udara. "Ikuti permainannya, Afsheena," bisiknya dingin, "dan ... Rizaldy akan tetap aman." Tubuh Sheena membeku. Dia telah dijebak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD