Bab 14

1078 Words
Di meja makan pagi itu, udara terasa begitu sesak walaupun AC VRV 10 PK sudah membuat suhu ruangan menjadi dingin namun tetap saja terasa panas oleh salah satu orang. Meja kayu besar di ruang makan rumah keluarga Viola dipenuhi hidangan lezat— roti panggang, telur mata sapi, sosis, salad buah, dan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Tapi bagi Mario, semua itu hambar. Kosong. Tidak ada rasanya selain rasa pahit membakar yang mengendap di dadanya. Ia duduk di ujung meja, bersandar dengan lengan terlipat dan rahang mengeras. Matanya terpaku pada dua orang di depannya— Ezra dan Viola. Ezra duduk dengan santai, satu tangannya menggenggam tangan Viola, dan tangan lainnya dengan santai menyuapkan potongan kecil roti lapis ke mulut gadis itu. Viola tertawa lembut, menyuap balik Ezra dengan sosis kecil yang sebelumnya ia celup ke saus tomat. “Kamu suka?” tanya Viola dengan suara manja yang dibuat-buat. Ezra mengangguk dengan senyum hangat. “Suka banget. Tapi lebih suka kamu.” Cih! Mario mendengus dalam hati. Sialan. Jijik. Muak. Tangannya mengepal di bawah meja. Napasnya berat. Jantungnya berdetak tidak karuan, bukan karena cinta yang romantis, melainkan karena amarah dan rasa posesif yang makin lama makin menyesakkan. Viola mencuri pandang ke arah Mario. Ketika matanya bertemu dengan mata lelaki itu, ia menyeringai kecil— senyum sinis penuh kemenangan. Ia tahu, Mario terbakar. Terpanggang oleh kenyataan bahwa wanita yang begitu ingin ia miliki kini duduk mesra dengan pria lain. Viola berbisik pelan ke Ezra, “Lihat tuh. Panas dia.” Ezra menahan tawa dan melirik ke arah Mario. “Biarin aja. Kita bikin makin panas aja, ya?” “Setuju,” jawab Viola sambil menatap Ezra dalam-dalam dan mendekatkan wajah mereka nyaris bersentuhan. Itu sudah cukup. Mario mendorong kursinya kasar dan berdiri. Kursi kayu itu menggesek lantai dengan bunyi berderit nyaring, menarik perhatian seluruh orang di ruang makan. Kevin dan Rihana yang duduk di sisi lain meja tampak sedikit terkejut. “Mau ke mana, Mario?” tanya Kevin sopan. Mario menatap Ezra, lalu Viola. “Ah! Mario mau keluar sebentar Om. Butuh udara segar sedikit.” Tanpa menunggu jawaban, Mario melangkah keluar, langkahnya panjang-panjang dan keras, seolah ingin menghancurkan lantai dengan setiap hentakan kaki. Begitu tiba di halaman depan, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebungkus rokok, dan menyalakan satu batang dengan gerakan cepat. Asap putih membubung di udara, dan Mario menghembuskannya dengan kasar, hampir seperti sedang mengusir semua rasa kesal dalam tubuhnya. “b*****t,” gumamnya pelan. “Dia pikir bisa mempermainkanku?” Matanya menatap jauh ke depan, tapi pikirannya tertuju pada satu nama saja— Viola. Gadis keras kepala itu, gadis yang memikatnya sejak lama, gadis yang ia yakini suatu saat akan tunduk padanya. Ezra? Dia bukan siapa-siapa. Bukan tandingan Mario Ardani. Mario mencengkeram rokoknya lebih keras, nyaris mematahkannya. Api di matanya menyala. Di balik geramannya, tersimpan satu tekad: Viola akan menjadi miliknya. Tidak hari ini, mungkin bukan besok, tapi suatu saat nanti. Dia akan bertekuk lutut. Dan dia akan tahu, bahwa tidak ada yang bisa bermain-main dengan Mario Ardani tanpa membayar mahal. Ia membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya dalam-dalam. Lalu ia berjalan pergi dari rumah itu dengan kepala tegak, bukan karena menyerah— tapi karena sedang merencanakan langkah selanjutnya. ** Cahaya matahari siang itu menembus jendela kaca besar ruangan kerja Mario Ardani yang berada di lantai tertinggi gedung perusahaan miliknya. Langit biru terpampang luas di balik dinding kaca, tapi Mario tidak peduli. Pandangannya kosong, tatapannya tajam menyorot ke depan, dan ekspresinya dingin. Di hadapannya, dua sahabat sekaligus anak buah kepercayaannya, Jack dan Arsen, tengah duduk santai di sofa panjang dengan ekspresi menyebalkan. Jack bersandar dengan kaki disilangkan, memutar-mutar pena emas milik Mario yang baru saja ia ambil dari meja. Arsen memegang tablet, membuka-buka media sosial, lalu tertawa kecil. "Bro, lo liat ini gak?" kata Arsen sambil menunjuk layar tablet, menampilkan potret Ezra dan Viola sedang bergandengan tangan di taman kota, tertawa bersama seolah dunia hanya milik mereka. "Manis banget ya pasangan baru. Aduh... ngalahin drama Korea." Mario diam. Rahangnya mengeras. Jack ikut bersuara, meniru nada centil, "Sayang... kamu makan dulu, ya... jangan lupa vitamin biar kuat nemenin aku foto-foto..." Arsen ngakak, menyambung, "Iya sayang, abis ini kita jalan-jalan, terus update story bareng! Kasih tahu ke dunia, kamu udah nggak sendiri!" Terdengar suara dentuman keras. Mario melempar vas bunga kristal dari meja kerjanya ke arah keduanya. Vas itu pecah menghantam dinding, air dan kelopak bunga mawar merah berhamburan di lantai marmer. Jack dan Arsen refleks menghindar dengan tertawa makin keras, seolah menikmati kekesalan Mario. “Kalian pikir ini lucu?!” suara Mario rendah dan dalam, tapi jelas penuh bara. “Lucu banget,” jawab Jack enteng, masih terkekeh. “Mario Ardani yang biasanya dingin, tak tersentuh, sekarang panas gara-gara cewek keras kepala.” Arsen menambahkan, “Dan pacarnya itu… cuma fotografer! Gila, lo dikalahin tukang jepret!” Mario bangkit dari kursinya dengan langkah pelan. Tangan kanannya mengusap pelan dagunya yang berjenggot tipis, matanya menyipit tajam. “Aku sudah cari siapa Ezra itu,” ucapnya pelan. “Lulusan seni, freelancer. Pendapatan per proyek. Nggak punya rumah sendiri, tinggal kontrakan di Kemang. Mobil? Cuma punya Vespa tua. Nama? Nggak pernah muncul di koran bisnis atau acara sosialita. Seorang biasa.” Jack mengangkat alis. “Dan itu bikin kamu makin gila?” Mario mendengus. “Bukan soal dia siapa. Tapi soal Viola. Dia pilih lelaki biasa itu, bukan karena cinta. Tapi karena dia mau main-main sama aku. Main-main sama hati ini.” Arsen bersandar santai. “Jadi, lo mau ngapain?” Mario memutar tubuhnya, menatap keduanya dalam-dalam. “Aku akan buktikan. Kalau aku jauh lebih dari sekadar ‘pacar’ buat Viola. Aku akan buat dia mengerti siapa Mario Ardani. Bukan dengan paksaan. Tapi dengan kekuasaan.” Jack dan Arsen saling pandang. Mario lanjut bicara, nada suaranya rendah, nyaris seperti racun manis. “Aku akan kuasai hidup Ezra. Aku akan buat dia merasa kecil, tak layak berdiri di samping Viola. Dan saat semua itu terjadi, aku akan muncul sebagai ‘penyelamat’. Dan Viola… akan memilihku dengan keinginannya sendiri.” Jack menggeleng, setengah tak percaya. “Lo gila, Bro.” “Tapi jenius,” timpal Arsen. Mario menatap ke luar jendela, tersenyum kecil. “Permainan baru saja dimulai,” gumamnya. Di tangan Mario kini tergenggam selembar berkas. Foto Ezra di pojok atas, dan serangkaian data pribadi serta profesional di bawahnya. Ia tidak akan menyerah. Tidak akan mundur. Jika cinta adalah medan perang, maka Mario Ardani akan menjadi jenderal yang menaklukkan seluruh benteng pertahanan hati Viola—satu per satu, tanpa tersisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD