Ketiga orang di ruang keluarga langsung menoleh begitu mendengar suara Eleena yang memanggil Dedi.
''Eleena? Ke mana aja kamu semalem?'' tanya Dedi dengan heran pada putrinya.
Sejak kematian istrinya dan dia menikah lagi dengan Jesica, Dedi tidak pernah mendengar lagi Eleena yang memanggilnya ayah dengan begitu lembut dan manis.
Eleena tersenyum, duduk di samping Dedi di bawah tatapan kesal Jesica dan Viona. ''Aku nginep di rumah Leodra, memangnya Tante Jesica enggak ngasih tau Papah?'' Eleena menatap Jesica dengan senyuman.
Dedi menoleh pada istrinya, Jesica menggertakan gigi, buru-buru berkata pada Dedi, ''Aku lupa, Mas. Eleena, tadi pagi kamu belum sarapan, kan? Cepet sarapan dulu, nanti kamu sakit!”' Jesica tersenyum lembut, bersikap seolah dia adalah ibu tiri paling baik di dunia.
Dedi mengangguk puas atas sikap Jesica pada Eleena.
''Aku mau bicara sama Papah,'' ujar Eleena pada Dedi.
''Bicara apa? Kamu bisa ngomong di sini.''
Sejenak, Eleena menatap ayahnya, lalu seolah mengerti, Dedi bangkit berdiri. ''Ayo!'' ajak Dedi.
Eleena buru-buru mengikuti Dedi, dia tidak lupa tersenyum manis pada Jesica dan Viona.
Setelah kepergian Dedi dan Eleena, Viona mendekat pada ibunya, bertanya dengan nada khawatir. ''Dia enggak akan ngomong yang aneh-aneh tentang kita sama Papah kan, Mah?''
Jesica menyikut putrinya. ''Ya, enggaklah. Memangnya dia berani? Walaupun iya, Papah kamu pasti enggak akan percaya!'' Jesica berkata dengan sangat percaya diri, namun di dalam hatinya dia juga khawatir tentang apa yang akan Eleena katakan pada Dedi. Wanita itu bangkit berdiri, hendak pergi ketika Viona menghentikannya.
''Mamah mau ke mana?'' tanya Viona.
''Kamu di sini aja, Mamah mau denger anak itu ngomong apa.'' Setelah mengatakan itu Jesica melenggang pergi meninggalkan Viona di ruang keluarga.
Di ruang kerja, Eleena berdiri di depan ayahnya. Dia baru saja mengatakan bahwa neneknya–Kasih, didiagnosis menderita kanker dan harus segera di operasi.
''Pah, dibandingkan Viona, aku enggak pernah minta apa pun sama Papah kan selama ini? Aku mohon sama Papah buat biayain pengobatan nenek, cuma itu.''
''Eleena, Papah enggak punya uang sebanyak itu kalau cuma untuk membiayai pengobatan nenek kamu. Perusahaan lagi bermasalah, Papah juga butuh uang banyak buat memperbaiki masalah itu,'' ujar Dedi dengan frustasi.
Dedi memang tidak begitu dekat dengan Kasih, apalagi sejak Kasih tahu bahwa dia menikahi Jesica hanya satu minggu setelah kematian istri pertamanya. Dedi merasa tidak ada yang salah, dia juga tidak peduli jika Kasih memutuskan hubungan mereka sebagai mertua-menantu.
''Papah biarin Viona dan Tante Jesica beli barang-barang mewah pakai uang Papah, masa buat biaya pengobatan nenek aja Papah enggak bisa bantu?'' tanya Eleena dengan tidak percaya.
Bagaimana dia bisa percaya, Dedi begitu royal pada Viona dan Jesica selama ini. Setiap minggu, entah itu Jesica atau Viona akan berkumpul bersama teman-teman mereka dan berbelanja barang-barang mewah.
''Oke-oke, tapi Papah hanya akan kasih kamu sepuluh juta buat nambahin biayanya, selebihnya Papah enggak akan kasih.''
Eleena pun terdiam, tahu jika ayahnya benar-benar hanya akan memberikannya sepuluh juta. Dia keluar dari ruang kerja ayahnya dan tidak sengaja berpapasan dengan Jesica yang menatapnya dengan sinis. ''Dasar tukang nyusahin,'' cibir Jesica dengan suara pelan.
Wanita berusia 23 tahun itu melenggang pergi tanpa peduli dengan cibiran Jesica. Eleena kembali ke kamarnya, dia duduk di atas tempat tidur, memijat keningnya dengan pelan. Kepalanya pusing, mungkin efek alkohol tadi malam ditambah dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam benaknya. Eleena membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan kedua tangan terlentang. Tangannya tiba-tiba menyentuh sesuatu, ketika Eleena melihatnya, itu adalah kartu nama dari pria yang dia ambil di hotel.
“ABIMANYU CAKRA BAHUWIRYA.”Eleena tiba-tiba bangkit dari tidurnya.
''Abimanyu? Bahuwirya?'' Wanita itu segera mengambil ponsel, mencari nama itu di pencarian google. Setelah itu, serangkaian berita tentang orang terkait mulai ditampilkan di layar ponsel Eleena.
Profil Abimanyu Cakra Bahuwirya:
pria berusia 34 tahun, CEO sekaligus kepala keluarga dari Bahuwirya group. Tinggi 187 cm, pernah berkuliah di oxford university sebagai lulusan terbaik di tahun itu.
Serangkaian berita itu jatuh ke mata Eleena, jantungnya berdebar sangat cepat, dia tidak percaya bahwa pria yang semalam tidur dengannya adalah seorang kepala keluarga Bahuwirya sekaligus CEO Bahuwirya group. Siapa yang tidak kenal dengan Bahuwirya group? Perusahaan besar yang pasarnya bahkan sudah masuk ke pasar global. Abimanyu, orang paling kaya di indonesia dan ketujuh di dunia. Eleena menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang dia baca.
Abiamanyu Cakra Bahuwirya–seorang CEO–orang terkaya, bukankah dia bisa memanfaatkan kesempatan ini? Eleena kembali menggulir layar ponselnya, menemukan sebuah artikel yang lagi-lagi membahas tentang Abimanyu.
Dijuluki pria pembawa sial, bukan tanpa alasan Abimanyu mendapat julukan itu. Itu karena tiga kali menikah dan setiap wanita yang menikah dengan Abimanyu meninggal. Entah karena kecelakaan atau hal lain. Abimanyu juga di karuniai seorang anak laki-laki yang tahun ini berusia empat tahun. Sangat disayangkan, tidak ada wanita yang mau menjadi istri dari Abimanyu karena takut terkena “kesialannya”.
''Tiga kali?!'' Syok, itulah yang Eleena rasakan ketika melihat artikel terkait dengan Abimanyu. ''Semua istrinya meninggal, apa dia bener-bener pembawa sial? Apa aku juga bakalan ketularan sial karena tidur sama dia?'' Eleena tiba-tiba teringat dengan berita neneknya yang menderita kanker setelah dia tidur dengan Abimanyu.
***
Eleena kini berdiri di sebuah gedung megah yang memiliki puluhan lantai.
Kemarin, Eleena sudah memikirkan dengan hati-hati keputusannya memanfaatkan kejadian malam itu sebagai alasan untuk meminta pertangungjawaban pada Abimanyu. Meskipun Eleena merasa takut akan rumor pria itu yang dicap sebagai pembawa sial, tapi Abimanyu adalah satu-satunya orang yang bisa menolong neneknya sekarang. Terlebih lagi, Dokter sudah menghubunginya tadi pagi dan menanyakan tentang operasi neneknya karena itu Eleena merasa bahwa dia tidak lagi punya waktu untuk berpikir.
''Ada yang bisa saya bantu, Mbak?'' tanya seorang wanita yang merupakan resepsionis di kantor itu ketika melihat Eleena datang dan berdiri di depannya.
''I-itu, saya mau ketemu sama Pak Abimanyu,'' ujar Eleena dengan gugup. Kedua telapak tangannya kini sudah berkeringat, sejujurnya dia benar-benar tidak mau melakukan itu.
''Apa Mbak sudah membuat janji?'' tanya wanita itu lagi.
Eleena memberikan kartu nama Abimanyu pada resepsionis itu. Kartu nama itu diambil, wanita yang berprofesi sebagai resepsionis itu melihatnya dengan hati-hati, lalu mengangguk setelah memastikan bahwa itu adalah kartu nama CEO mereka.
''Baik, sebelumnya atas nama siapa, Mbak?'' tanyanya lagi.
''Eleena, Eleena Mahendra,'' jawab Eleena.
''Kalau begitu tunggu sebentar, ya. Biar saya hubungi Pak Abi dulu.''
Eleena mengangguk dengan pelan.
Resepsionis itu tampak berbicara dengan seseorang di ujung telepon, lalu mengangguk dan menutup sambungan telepon. Dia kembali menghampiri Eleena dan berkata. ''Pak Abimanyu mengizinkan Mbak masuk. Ruangannya ada di lantai 40, Anda bisa melihat petunjuknya pada dinding sebelah kiri nanti.''
Menghela nafas, Eleena lega karena dia diizinkan untuk bertemu. Meski heran mengapa Abimanyu mengizinkannya. Namun, Eleena tidak berpikir lebih jauh, dia hanya senang karena rencananya berhasil.