bc

Filosofi Hemat

book_age18+
1.3K
FOLLOW
15.0K
READ
escape while being pregnant
arranged marriage
CEO
comedy
sweet
icy
campus
office/work place
coming of age
first love
like
intro-logo
Blurb

Mencintai seorang diri itu menyakitkan, apalagi harus menjalani rumah tangga dengan seseorang yang sering mengabaikanmu.

Clarisa Adriani, seperti namanya, dia adalah sosok wanita yang kuat dan tegar dalam menghadapi beban hidup. Sifat humorisnya selalu membuat dia terlihat baik-baik saja. Sampai suatu hari kehidupannya berubah karena menikah dengan Daffin, seorang pria yang dikenal dengan segudang filosofi hematnya, hemat ngomong, senyum, bahkan hemat soal cinta.

Kehidupan rumah tangganya tidak berjalan semulus jalan tol, ada rahasia yang disembunyikan suaminya, sebuah rahasia yang membawa lelaki itu pada penyesalan yang amat dalam.

Lalu apakah wanita kuat yang berlindung dalam nama Adriani sekaligus istri Daffin itu mampu mematahkan filosofi yang dibangun suaminya? Yang bahkan untuk memberikan secuil hatinya saja terlihat enggan.

"Daf, ingat ya, aku bakal merobohkan filosofi bodoh kamu itu."

"Hmm. Coba aja kalau bisa."

Filosofi Hemat, kisah cinta yang didasari dengan kata medit.

chap-preview
Free preview
Hanya Adriani
Namaku Calista Adriani, kalian pasti sudah banyak yang tahu arti dari nama ku. Wanita cantik yang kuat, tapi sayang, aku tak secantik nama ku karena aku orangnya biasa saja, tidak cantik apalagi jelek. Manis. Aku itu orangnya manis, nggak percaya? Coba deh kalian bawa es teh atau air anget terus kasih gula yang banyak abis itu minum sambil liatin aku, pasti rasanya langsung manis. Hehehe. Kehidupan ku tidak ada yang spesial, semuanya biasa saja berjalan seperti pada umumnya. Saat ini aku kuliah semester akhir, sudah mulai menyusun skripsi. Aku tinggal bersama Nenek, Tante Dewi dan sepupu ku Marina dia biasa di panggil Nana. Kata nenek kita, nenek aku sama Nana maksudnya, dulu tante Dewi waktu ngandung Nana, katanya pernah ngidam pingin makan  handbody lotion, tapi nggak keturutan karena dilarang sama nenek, dan akhirnya setelah lahir, jabang bayi Nana di beri nama Marina. Nana itu orangnya baik suka ngasih aku sesuatu. “Nini sepatu gue yang kemarin lo cuci lo taruh mana?!” Tuh apa aku bilang, dia itu suka ngasih sesuatu ke aku, suka ngasih aku kerjaan, suka ngasih perintah, dan suka ngasih baju atau barang bekas dia yang udah nggak kepakai. Tapi syukur sih aku kalau dikasih barang bekas dia. Bagus-bagus soalnya. Mana mampu aku beli barang sebagus punya Nana. “Nini lo denger gue ngomong nggak sih?!” Nana kembali berteriak manggil aku, karena dari tadi nggak nongol-nongol. “Iya, Na denger. Ini sepatunya. Masa kamu nggak tahu sih, biasanya ‘kan, aku taruh di rak sepatu.” Aku menyerahkan sepasang sepatu warna pink ke arah Nana. “Lama banget sih! Harusnya lo itu peka, kalau gue manggil lo kayak gitu, itu berarti lo kudu ngambilin sepatu itu buat gue!” Aku cuma ngangguk aja menanggapi ucapan Nana, karena sebenar apapun ucapan aku pasti salah dimata dia. Mungkin ya, pepatah yang bilang wanita selalu benar itu nggak berlaku buat aku, soalnya kata Nana aku tuh tempat salah, bernapas aja kata dia salah. Oh ya, satu lagi, sebenarnya dulu panggilanku itu Ara, tapi semenjak aku tinggal sama Nana panggilan ku dirubah jadi Nini. Tau nggak alasanya dia apa? “Udah lah nggak usah dipanggil Ara, bagusan dipanggil Nini tau nggak. Lagian ya, kita ini saudara, lebih bagus kalau nama kita hampir mirip, Nana-Nini, ya ‘kan?” Preett!! Saudara apaan yang memperlakukan saudaranya seenak udel. Lagian alasan dia nggak logis banget, hampir mirip katanya? Emang dia kira upil-ipil apa. Tahu ‘kan? Dua bocah botak kayak tuyul yang satunya punya antena. Emoh aku disamakan kayak mereka, walaupun muka ku dekil, burik begini, tapi sorry ya, aku punya rambut, lurus lagi. Dan semenjak saat itu dimanapun aku berpijak panggilan ku berubah jadi Nini. Emang the best banget bodylation satu ini. “Eh, Ni, ntar lo bawain tas gue warna mocca ke café yang biasanya gue tongkrong, ya.” “Jam berapa Na?” “Jam sembilan.” “Aku nggak bisa, Na, kalau jam segitu. Aku ada janjian sama Dospem.” Bukannya ngasih despensasi Nana malah ngomelin aku. “Serah gue lah mau jam berapa?! Lagian lo jangan sok gatel deh, pakai janjian segala, tuh dospem juga nggak bakal kesemsem sama lo.” Si Nana bego atau gimana sih? Perasaan dia juga ngerti janjian yang aku maksud itu gimana. Masa dia tega banget sama aku, dia ‘kan, sedang ngerjain skripsi juga, harusnya dia paham ‘kan, posisi aku sekarang. “Kenapa nggak sekalian dibawa sih, Na?” “Lha gue pinginnya lo yang nganter kenapa malah nawar. Pokoknya gue nggak mau tahu, lo kudu bawa tuh tas ke café jam sembilan! Titik!” “Na, kasih aku despensasi dong, jam sepuluh deh aku anterin ke sana.” Aku udah pasang muka melas di depan Nana, bukan tanpa alasan ya kenapa aku nurut banget sama dia, karena Nana itu punya jurus andalan yang bikin aku nggak bisa berkutik sama perintah dia. “Lo mau gue aduin sama Nyokap?” Nah, ‘kan. Ini nih, salah satu jurus andalan Nana kalau aku udah membantah perintah dia. Soalnya tante Dewi, mak nya Nana kalau marah nggak main-main, bisa tujuh hari delapan malem nggak pernah selesai ngomel nya. Pokoknya ngalahin orang lagi kampanye. Dan satu lagi, aku nggak mau diusir dari rumah ini kalau sampai tante Dewi marah, mana ada duit aku buat ngontrak rumah, nyicil buat bayar wisuda nanti aja udah ngos-ngosan, gimana mau ngontrak rumah, lagian kalau disini ‘kan, lumayan aku bisa dapat makanan enak, gratis pula. Tante Dewi, Nana dan Nenek Salma sebenarnya memang masih keluarga dengan ku, tapi keluarga jauh. Ibu ku sudah pergi meninggalkan ku waktu aku masih SMP, sedangkan ayah— beliau juga menyusul ibu dua bulan setelahnya, dan om Andrian yang kasihan denganku akhirnya membawaku pulang bersamanya. Om Andrian itu papanya Nana, suaminya tante Dewi, tapi beliau jarang di rumah, maklum, orang sibuk, kerjaan kantornya menumpuk. “Ya udah iya, ntar aku anterin.” Akhirnya aku menjawab pasrah. Sabar. Lebih baik mengalah. Orang sabar jodohnya cepat. “Nah gitu, ‘kan, cakep jadinya.” Nana mengerling di depan ku, kemudian melenggang pergi meninggalkan rumah bersama taksi yang menunggunya dari tadi. Nasib! Dibilang cakep kalau ada maunya doang. *** Aku tergopoh turun dari angkot, kemudian berlari menuju café yang dimaksud Nana. Gila! Ini udah hampir jam sembilan dan aku belum berangkat ke kampus, semoga aja Pak Didit belum pergi, soalnya beliau itu susah ditemui, sibuk cuy, kerjaan beliau padat, mana mungkin ngeluangin waktu berharganya buat upil kecoa kayak aku. Tapi semoga aja beliau masih ada di tempat. ‘Pokoknya positive thingking, Ni’. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. “Na, ini tasnya.” Aku menyodorkan tas berwarna mocca ke arah Nana. Semoga aja dia nggak minta yang aneh-aneh lagi. “Thanks, Nini. Lo mau minum nggak? Keringetan tuh.” Aku mengusap keringat di pelipis, kemudian menggeleng pelan. Sejahat-jahatnya Nana ke aku, kadang dia juga perhatian. “Nggak usah, Na. Aku langsung ke kampus aja.” Aku kembali melenggang meninggalkan Nana dan teman-temannya. Sebenarnya haus sih, tapi aku harus ngejar waktu. Ini udah telat banget. “Duh, pak Didit masih ada nggak ya?” Aku harap-harap cemas melihat jam di layar ponselku. Sudah 15 menit berlalu tapi angkot yang kunaiki tidak kunjung tiba. Sebenarnya jarak antara café tadi dengan kampus lumayan jauh, ditambah lagi harus naik angkot, semakin lama ‘kan, nyampainya, kalau naik taksi malah nggak mungkin, mana ada uang aku buat bayar tuh mobil. Mending uangnya aku tabung buat bayar keperluan wisuda nantinya. “Kiri, Pak!” Aku menepuk punggung abang angkot, kebetulan tempat duduk ku tepat dibelakang nya. Setalah membayar, aku bergegas keluar dan berlari ke ruang dosen. Mati aku! Udah telat setengah jam lebih. “San, pak Didit nya masih ada?” Masih dengan napas ngos-ngosan aku tanyai Sandra yang baru keluar dari ruangan Dosen. “Lo dari mana aja, Ni? Ampe kayak gini muka lo, kayak tempe orek yang nggak jadi di goreng.” “Ya Allah, San. Serius aku nanya.” “Masih ada, kayaknya beliau masih bimbingan sama mahasiswanya tuh.” Aku menghembuskan napas lega. Syukurlah beliau belum pergi. “Lo dari mana aja sih?” “Nganterin tasnya Nana.” “Masih aja lo mau disuruh-suruh Nana. Lagian lo tuh harus tegas sama dia biar nantinya nggak ngelunjak.” Aku tersenyum. Mencoba meyakinkan Sandra kalau aku tidak masalah dengan kejadian ini. Sandra adalah sahabatku, satu-satunya mahasiswa kampus yang mau temenan sama aku, dia cantik, dari keluarga berada, sebenarnya banyak cowok yang naksir sama dia, tapi sayang nggak ada yang berani mendekat karena Sandra tuh orangnya cuek, kadang juga galak, makannya masih menjomblo sampai sekarang. Aku tuh kadang suka mikir kenapa Sandra mau temenan sama aku yang biasa saja. Cantik nggak, kaya juga nggak, burik iya. “Ni, gue temenan sama lo itu nggak mandang kasta atau apapun, tapi gue tulus karena lo emang pantes buat dijadiin temen.” Itulah kata-kata Sandra dulu waktu aku tanya alasan kenapa dia mau temenan sama aku. “Lo coba nyusul ke dalam gih, siapa tahu beliau udah mau selesai.” Aku mengangguk, kemudian pergi menuju ruangan Dosen. Tepat saat aku ingin bertanya pada staff TU, pintu ruangan pak Didit terbuka, menampilkan sosok lelaki jangkung berkemeja biru. “Daffin?” Tuh cowok manekin ngapain keluar dari ruangan pak Didit? Dia satu dospem sama aku ya? Daffin hanya diam menatap ku kemudian pergi dengan muka datarnya yang nggak pernah senyum. “Ni, jadi ketemu pak Didit nggak?” “Eh? I... iya, Pak?” Aku gelagapan gara-gara ngelamunin Daffin. Duh! Ada-ada aja sih aku. *** Aku keluar dari ruangan pak Didit dengan wajah lesu. Gila! Revisian aku banyak banget ya. Ini gara-gara waktu mau konsultasi nggak aku koreksi sih. Kalau kayak gini terus, kapan aku ikut sidangnya coba. Sandra aja tinggal sedikit udah mau acc. Itu sih yang dia bilang ke aku. “Kucel banget muka lo, Ni.” Aku melirik Sandra yang cekikikan. Ternyata dia masih nungguin, aku kira udah pulang gara-gara aku yang kelamaan bimbingan— eh? Ngomong-ngomong soal bimbingan kok aku jadi ingat Daffin ya? “Eh, San, Daffin satu dospem sama aku ya?” Sandra mengangkat bahunya. “Entah. Tapi kayaknya iya sih. Soalnya dari tadi pagi dia ke sini nungguin pak Didit.” Aku hanya mengangguk. Tapi lucu juga ya kalau Daffin bimbingan sama pak Didit, dia ‘kan, orangnya cuek banget, irit ngomong, sengak, muka datar dan sinis banget kalau ngelirik orang. Pokoknya nggak ada baik-baiknya tuh orang di mata aku, padahal aku juga nggak ada masalah sama dia, tapi bawaanya emang gitu kalau ketemu. Terus kalau pak Didit ngasih arahan, masa dia cuma ngangguk doang sih, sambil masang muka datar gitu? Lucu juga ngebayanginnya. Kalau aku sampai lihat langsung dia lagi bimbingan, pasti ngukuk sambil garuk pantat tuh. Duh! Jangan sampai aku punya suami macam Daffin yang cueknya Naudzubillah. “Ni, hari ini lo nggak kerja, ‘kan?” “Kerja lah, San. Kalau nggak kerja gimana buat nyicil bayar wisuda coba, aku harus nabung” kata ku dengan muka lemas. “Ni, lo hari ini bolos deh, ntar gue ganti hasil kerja lo, temenin gue ya, please!” Sandra merajuk padaku, jurus andalan dia kalau lagi pingin sesuatu nih. “Nggak bisa, San. Sungkan aku sama bos ku, lagian aku juga nggak enak kamu kasih uang gitu aja.” “Nggak cuma-cuma lho, Ni, aku ngasihnya ‘kan, buat lo yang udah nemenin gue.” “Tetep aja, San. Pokoknya aku nggak bisa bolos hari ini— emm... kalau gitu gini aja, deh, nanti biar aku berangkat siang kerjanya, jadi aku bisa nemenin kamu, tapi aku nggak bisa bolos, jadi cuma bentaran doang ya,” kata ku meyakinkan Sandra. “Ya udah deh, nggak apa-apa. Buruan gih izin!” Aku mengangguk, kemudian meraih ponsel dan mencoba menghubungi bos ku, setelah mendapat izin aku dan Sandra pun melenggang pergi. “Kita ke kantin deket kampus aja ya? Lo pasti belum makan.” “Kok kamu tahu?” Aku mengernyit heran, Sandra kayaknya punya bakat libido deh— eh salah, indigo maksudnya. “Ya tahu lah. Udah kebiasaan lo kali tiap pagi nggak pernah sarapan kalau ngampus, apalagi lo tadi abis nganterin tasnya Nana.” Aku cuma nyengir doang. Sandra itu perhatian banget orangnya, sayang jomblo, padahal cantik. “San, tapi aku nggak ada duit nih, kamu ‘kan, tahu aku belum gajian.” “Yaelah, gampang. Udah gue yang traktir.” “Tap—” “Udah deh, Ni, lo tuh nggak usah banyak bacot, tinggal iya-in aja repot!” Sandra langsung menarik tanganku menuju kantin. Satu lagi sifat Sandra selain perhatian, dia itu kalau ngomong bisa sangat kasar kalau kemaunnya tidak segera dituruti. *** Aku mengusap tengkukku perlahan, kemudian memijatnya pelan. Capek banget rasanya, abis nemenin Sandra langsung kerja di café, mana kerjaan banyak banget lagi. “Capek ya, Ni?” “Iya Ris. Semalem juga tidur kemaleman gara-gara lembur revisian skripsi.” Mendengar jawabanku tadi Riska malah tertawa. Dih! Kenapa sih sama nih anak? Jangan-jangan kesurupan lagi. “Ngapain kamu ketawa? Ada yang lucu?” “Curhat, Bu? Gue nggak tanya tuh perihal lo kecapekan kenapa.” Riska tertawa semakin keras. Kurang ajar nih anak, nggak sopan sama yang lebih muda. Langsung aja tuh kain bekas lap meja aku lemparin ke mukanya biar ada akhlak dikit mulut. “Nyebelin banget sih, kamu Ris.” Riska mencoba meredam tawanya. “Oh iya, hari ini kamu mau ambil sif malam ya?” “Iya, aku lagi butuh biaya gede soalnya buat nyicil bayar wisuda ntar.” “Kayak udah di acc aja skripsinya.” Emang nggak pernah di filter mulutnya Riska. Iya sih, dia cuma bercanda, tapi tetep aja nylekit. Untungnya aku tuh tipe orang yang nggak gampang masukin omongan orang ke hati. Aku hanya berdecak membalas perkataan Riska, sedangkan dia malah kembali tertawa. “Kenapa lo nggak minta tente lo aja sih, setahu gue mereka orang berada deh.” Aku tertawa, keadaannya tidak semudah itu, tinggal minta uang, bayar, terus selesai. Mereka memang keluargaku, tapi keluarga jauh, kasih sayangnya saja beda antara aku dan Nana. “Nggak lah Ris, aku nggak mau ngrepotin mereka terlalu banyak, lagian udah untung aku dikasih tempat tinggal dan makan gratis.” “Tetep aja lo ‘kan, keluarganya—” “Udah ah, ngapain bahas itu mending lanjut kerja aja.” Aku mendorong bahu Riska pelan, bergaya seperti mengusirnya, sedangkan dia malah tertawa semakin keras, hingga suara langkah kaki pelanggan menghentikan kegiatan kami. Aku pun segera menghampiri pelanggan itu hendak menanyakan pesanan apa yang diinginkan. “Permisi, mau pesan apa, Mas— Daffin?” Lelaki itu langsung menatapku begitu aku memanggil namanya, tapi tak berlangsung lama dia kembali mengutak-atik hp nya. “Password wifinya apa?” Bezeng ni orang, dateng-dateng langsung minta password, pesen dulu kek, noting akhlak emang. “Pesen sesuatu dulu, Daf, baru minta sandi.” Aku menyerahkan daftar menu yang ada di café ini, dia memindainya sambil mengernyit. Emang ada yang aneh ya? “Disini yang paling murah selain ini apa?” Aku memperhatikan menu yang ditunjuk Daffin, itu memang menu yang paling murah. “Air putih, Daf. Air mineral. Mau?” Daffin mengangguk, kemudian menyerahkan handphonenya kepadaku, memintaku untuk mengisi password wifi yang disediakan café. “Terus pesen apa lagi?” Aku mengembalikan hanphone Daffin, sedangkan sang empunya hanya menggeleng saat ku tanya. Nih orang sariawan apa ya? Tinggal ngomong aja susah banget, mana pesennya cuma air putih doang lagi. Nggak di kasih pesangon apa sama bokapnya, perasaan dia orang sugih, deh. “Nih, Daf. Kamu beneran nggak mau pesen lagi?” Aku kembali bertanya, mungkin saja Daffin berubah pikiran, tapi ternyata tidak, dia hanya menggeleng pelan. Akhirnya aku pun meninggalkannya, tapi baru berjalan dua langkah suara Daffin kembali menginstruksi. “Jangan panggil aku Daf, aku bukan iklan ketiak.” Aku langsung melongo mendengar suaranya. ‘Hello! Please deh Daffin, omongan aku dari tadi nggak typo ya.’

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

Mengikat Mutiara

read
142.5K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.7K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Turun Ranjang

read
579.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook