bc

Dealing With Berondong

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
HE
kickass heroine
brave
blue collar
bxg
kicking
campus
office/work place
secrets
like
intro-logo
Blurb

Prinsip kisah cinta Anandita adalah mendapatkan pria yang jauh lebih tua dari dirinya. Lebih tua satu atau dua tahun ditoleransinya. Tapi yang sepantaran atau malah lebih muda? Big no! Anandita tidak pernah berpikir mereka akan lebih dewasa darinya, setidaknya dari segi mental dan pengalaman. Namun, Nalendra, pria yang satu tahun lebih muda dari Anandita itu sepertinya niat sekali ingin meruntuhkan prinsip yang sudah dibangun sejak dulu. Dengan alasan ‘jatuh cinta pandangan pertama’, membuat Nalendra mengejar Anandita secara ugal-ugalan. Akan tetapi, apakah semua usaha itu membuahkan hasil? Ketika ada ‘hal lain’ yang bahkan meminuskan semua kegigihan Nalendra di mata Anandita, membuatnya kembali ke dirinya yang awal dalam sekejap mata, menganggap Nalendra tidak lebih dari seorang pemuda baru dewasa yang sedang mencari jati dirinya.

chap-preview
Free preview
1. Pria Dengan Senyum dan Mata Memikat
“Kenalin. Ini Nalendra. Temen baru kita.” Kening Anandita mengerut samar sembari memandang seorang pria yang kelihatan lebih muda dari mereka semua. Pria yang memakai celana slim fit gelap dengan kaos putih polos itu membalas tatapan Anandita dengan cara yang berhasil membuat perempuan itu jadi risih seketika. Tatapannya, terlalu dalam untuk ukuran orang yang baru pertama kali bertemu. “Tumben banget rekrut bocah?” Anandita bersuara. Tatapannya masih pada Nalendra. Sebelah alisnya sedikit terangkat, agak sinis. “Kok sinis, sih?” Zafar, pacar Anandita itu merangkul bahunya seraya tertawa. “Terus kok tau aja Nalen lebih muda dari kita-kita?” “Keliatan.” “Kenalan dulu, dong.” Zafar melepaskan rangkulannya. Mengisyaratkan pada Anandita untuk berkenalan dengan Nalendra yang sekarang sudah berdiri dari duduknya. Menjulang tinggi di hadapan Anandita. “Nalendra,” ujarnya lebih dulu mengulurkan tangan. Suaranya berat. Senyumnya terukir manis. Tatapan matanya semakin dalam. Anandita menunduk, menatap tangan besar di depannya. Entah kenapa, ia merasa berada di situasi berbahaya. Ada rasa kuat untuk tidak menjabatnya. Karena lagipula, ia tidak punya hasrat untuk memiliki relasi dengan orang-orang yang lebih muda darinya. “Dit?” “Anandita.” Terpaksa. Anandita terpaksa. Nalendra tersenyum lebih dalam. Matanya semakin menyiratkan sebuah makna yang tidak bisa Anandita cerna. Tangannya juga melingkupi tangan Anandita dengan hangat. Mengenggam dan meremas sedikit lebih lama. Anandita sendiri lagi-lagi merasa ada sinyal bahaya dari Nalendra. Ia pun segera melepas paksa tangannya yang sekarang entah kenapa ingin ia lap, atau bahkan cuci dengan sabun sekalian. Ada sensasi panas di tangannya yang ia tidak tahu dari mana datangnya. “Jadi, Nalen tadi nolongin kita. Bensin kita abis padahal SPBU masih jauh banget. Mana tadi sepi enggak ada orang. Untung ada yang mau percaya kita,” Zafar menepuk bahu Nalendra sekali. “Makasih banget ya, Len.” Nalendra tersenyum dan mengangguk. “Santai aja.” Dia hanya membalas seperti itu? Tanpa embel-embel yang menyiratkan tentang sopan santun terhadap orang yang lebih tua? Seketika Anandita protes soal formalitas. “Bener, Dit. Nggak papa lah punya bestie baru yang enggak sepantaran. Jangan jadikan masalah.” Nazid mengangkat bahu tidak acuh saat Anandita menatapnya. “Selisih dua tahun bukan apa-apa. Formalitas sama sekali nggak diperlukan.” Ia mengatakannya sebab ia bisa menebak apa yang sedang bersemayam dalam kepala Anandita. “Lo sama Nalen juga kelihatan lo yang lebih bocah, Dit,” celetuk Omar yang disambut kekehan geli dari Zafar. Mereka kemudian melanjutkan obrolan-obrolan ringan dan mengesampingkan Anandita. Jadi, Nalendra dua tahun lebih muda dari Zafar Dkk. Itu berarti usianya dengan usia Nalendra terpaut satu tahun. Bukan jarak yang besar sebenarnya. Tapi, Anandita tidak biasa ada seseorang yang lebih muda di antara kawanan mereka. Rasanya tetap saja seperti mengadopsi bocah dalam kawanan orang dewasa. Meskipun, fisik Nalendra jauh dari kata bocah. “Dit? Diem aja lo. Sariawan?” Omar menelengkan kepalanya dan tersenyum. Model senyum yang ingin mendapat tonjokan dari Anandita. “Kenapa? Kamu mau pulang?” Zafar mendekat dan memegang sebelah tangannya. “Biar aku anter.” Situasi mendadak senyap. Semua orang memusatkan perhatian padanya, termasuk Nalendra. Tatapan matanya itu lho, dalam sekali, membuat Anandita selalu risih! “Aku cuma mau bilang. Kedatangan orang baru bisa ngerusak pertemanan kita. Kita juga nggak kenal pasti dia siapa. Apalagi alasan dia di sini cuma karena nolongin.” Mata Anandita menyipit menatap Nalendra, sinisnya luar biasa. “Hah. Nolongin? Itu alasan kemanusiaan. Semua orang memang harus tolong menolong, kan? Tapi nggak juga sampai diseret masuk ke pertemanan kita.” Anandita menarik napas kasar dan melengos. “Dit? Lo beneran sakit kayaknya. Kenapa jadi sensi banget gini?” Omar menggeleng-geleng. Sementara Nazid tertawa lepas dengan snack yang terbuka di tangannya. “Gue cuma malas harus berhadapan sama bocah-bocah yang—“ “Dita.” Zafar menyentuh sikunya. Membuatnya berhenti bicara. “Nggak papa. Nalendra baik, kok.” Anandita memejamkan matanya sejenak. Ia kenapa jadi emosian seperti ini, sih. Tapi menurutnya, kehadiran Nalendra itu seperti bendera merah di matanya. “Lo.” Anandita menghadap Nalendra yang dari tadi diam dengan tenang. “Lo berarti masih kuliah?” tanyanya yang membuat teman-temannya kembali tertawa lepas. “Dit, astaga! Korelasinya apa woi sama kuliah?” Nazid menyuapkan snack yang terbuat dari kentang ke mulutnya. “Mending lo bawa cewek lo ini pergi deh, Zaf. Kayaknya dia lagi lapar,” pintanya yang disetujui Omar dan mereka lagi-lagi tertawa seolah ada hal yang begitu lucu di sana. Tapi tidak bagi Anandita dan Nalendra yang sama-sama menunjukkan tampang tenang. “Iya. Masih kuliah,” jawab Nalendra. “Semester?” “Semester tujuh. Tepatnya, baru mau selesai semester tujuh.” “Sekarang alasan lo nolak Nalen karena dia masih kuliah, belum kerja dan nggak punya penghasilan?” Omar menceletuk. “Takut gayanya nggak sesuai sama gaya kita? Kalau gitu mending lo liat di parkiran. Mobil di sebelah mobil Zafar. Yang warna grey pearl. Itu punya Nalen.” “Bukan itu maksud gue. Otak lo terlalu dangkal kalau mikirnya kayak gitu.” Anandita ingin sekali membelikan penambah IQ pada Omar yang suka mikir seenaknya. “Yauda. Santai aja. Kita juga kan mau memperbanyak relasi. Jadi nggak ada salahnya, kan?” Anandita merilekskan bahunya. Mengendurkan urat lehernya yang menegang. Ia pasti terlihat aneh bagi Nalendra sekarang. Mana pria itu hanya diam saja dari tadi. Dia susah bicara apa, ya? “Terserah. Gue mau pulang.” “Cewek bangettt.” “Diem atau gue dorong lo dari sini?” “Iya deh iya, mbak Anandita.” Nazid menyengir kuda. Dua jarinya teracung membentuk simbol peace. Zafar terkekeh. Nazid bisa-bisa dibantai oleh Anandita jika tidak segera mengeluarkan benteng pertahanannya yang konyol itu. “Yauda. Aku anter ya. Mau pulang ke rumah atau apart?” “Nggak jadi pulang. Aku mau—“ “Cewek bangettt.” Omar yang kali ini berulah. Dia tertawa ngakak saat Anandita memberinya tatapan kematian. “Abis lo nggak jelas banget. Mau pulang atau nggak, sih.” “Makanya dengerin. Gue belum selesai bicara.” “Jadi gimana?” Zafar menyentuh kedua pundak Anandita dan memutar tubuh perempuan itu ke arahnya. “Kamu mau kemana?” “Ke tempat Gea sama Okta aja.” Anandita keburu lemas. Energinya habis di tempat itu. “Gea sama Okta nggak ke sini?” “Enggak kayaknya. Mereka nongki di cafe Sejiwa, berdua doang.” Anandita menunjukkan layar percakapan antara ia dan dua temannya ke Zafar. “Kok gitu? Kenapa misah?” Omar berseru. “Mana gue tau.” Anandita memasukkan kembali ponselnya ke tasnya. “Yauda deh. Gue duluan.” “Eh, nggak mau aku anter?” Anandita menggeleng. “Nggak usah. Aku bawa mobil.” Ia kemudian menatap satu persatu wajah mereka, termasuk Nalendra yang masih kukuh diam dengan senyum samar di bibirnya. Anandita menghela napas. “Gue cabut. Bye.” Anandita menuruni undakan anak tangga dengan cepat. Ekspresinya bingung. Ya, ia bingung. Kenapa sosok Nalendra begitu membuatnya risih? Ia tidak kenal cowok itu. Sama sekali tidak kenal. Mereka tidak pernah berjumpa sebelumnya. Tapi kenapa rasanya Nalendra punya salah kepadanya? Sebab Anandita selalu ingin marah saat menatap wajah tenangnya—yang sialnya kelewat ganteng itu! Apa benar kekesalan yang ia rasakan murni karena usia Nalendra yang lebih muda? Entahlah. Tapi ada sesuatu di Nalendra yang membuat Anandita tak suka. Langkah kaki Anandita berhenti sejenak saat ia berada di area parkir. Ia menoleh ke kanannya, melihat jelas mobil merah dengan plat tiga angka milik Zafar, dan ada mobil warna grey pearl di samping kanannya. Jadi, itu milik Nalendra? Well, dia mungkin kaya. Tapi, jelas bukan itu masalahnya. Anandita hanya tidak suka kehadiran Nalendra. Sesimpel itu. Sementara di atas sana, di balkon lantai dua. Nalendra memperhatikan sosok Anandita yang berjalan ke arah mobil HRV putih dan menghilang di balik kemudinya. Tatapannya terus mengikuti sampai Anandita benar-benar menghilang dari pandangannya. Nalendra tidak fokus mendengar tiga pria di sampingnya berbicara. Fokusnya tersita sepenuhnya pada sesuatu yang menghangat di dadanya. Kehangatan yang sudah timbul sejak melihat kedatangan Anandita. Kehangatan yang tidak berkurang barang sedikitpun ketika perempuan cantik itu menghujaminya dengan perkataan sinis dan menampilkan raut wajah tidak suka. Nalendra mengakui, ia sedang jatuh hati saat ini. ****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook