Bab 11. Belum Ada Titik Terang

1067 Words
“Bagaimana Pak Dave tahu nomor teleponku? Terus kenapa dia menyebutkan uang?” gumam Zara saat menarik ponselnya seraya meringis pilu. Jika Zara sangat membutuhkan uang, sejak tahu ia berbadan dua sudah pastinya ia akan memberitahukan pada Davendra. Hanya saja ia tidak melakukannya sama sekali, ibarat kata ia tahu diri, dan tidak mau mengambil risiko atas perbuatan nekatnya. Cukup ia bertanggungjawab pada dirinya serta kandungannya saat itu. Untungnya saja selama ia bekerja di manajemen artis milik Dave, ia bisa menyisihkan uang gaji dan bonus lembur selama setahun, ditambah uang dari keluarganya saat ia diminta untuk menggugurkan kandungannya dijadikan tabungan untuk melahirkan si kembar. “Halo ... halo, Zara!” Dari sambungan telepon Davendra memanggil namanya. Zara kembali memandang layar ponselnya seraya menghela napas, kemudian kembali menempelkan ponsel ke daun telinganya. “Maaf, ini dengan Pak Dave, ‘kah?” tanya Zara agar tidak salah menduga walau ia sangat hafal dengan suara mantan bosnya tersebut. “Iya, saya Dave. Memangnya kamu sudah tidak mengenal suara saya?” Davendra balik bertanya. Dibalik ponsel, Zara meringis. “Saya tidak mau basa basi denganmu. Tolong sebutkan berapa banyak uang yang kamu inginkan agar ingatanmu kembali saat kita ada di klub malam? Saya akan langsung mentransfernya saat ini juga,” lanjut kata Davendra terkesan angkuh. Pria itu berpikir dengan uang semua masalah yang tidak terselesaikan pasti akan selesai. Itulah kekuatan uang. Zara mendesah pelan, dari tempatnya berdiri ia memandang kedua buah hatinya yang sibuk menikmati sungguhan cake yang ia bawa. “Maaf Pak Dave, sudah saya katakan jika saya tidak mengingat kejadian malam itu. Mau dibayar berapa pun, saya tetap tidak ingat. Lagian kenapa sekarang Pak Dave jadi terus mencecar saya? Apakah di malam itu ada barang yang hilang. Jika memang ada barang yang hilang saat bersama wanita itu, kenapa tidak bertanya dengan yang lain? Kenapa jadi ke saya?” cecar Zara dengan berusaha menstabilkan intonasi suaranya. “Kalau wanita yang Pak Dave cari karena telah kehilangan sesuatu, tolong katakan apa barang itu. Mungkin saja saya bisa mengingatnya?” desak Zara. Davendra mengembuskan napas kasarnya sembari melempar pandangannya ke arah jendela kamar hotel. “Hanya kamu kunci utama malam itu Zara. Mana mungkin saya menanyakan pada Reza, Arif, dan Jia, apalagi dengan tunangan saya yang jelas-jelas tidak ada di sana. Saya tidak kehilangan apa pun. Saya hanya ingin bertemu dengan wanita itu, dan berharap kedepannya tidak ada permasalahan yang tiba-tiba muncul, apalagi saya sebentar lagi akan menikah dan membangun rumah tangga dengan Camilia,” jawab Davendra begitu dingin, tetapi tegas. Zara susah payah menelan ludahnya, seakan ada duri ikan yang menusuk di tenggorokannya. Cukup menohok ucapan Davendra untuknya. Apa yang pernah ia pikirkan ternyata satu pikiran dengan Davendra, jika ia tidak mau ada tuntutan atas kejadian yang secara gamblang tidak diceritakan oleh pria itu, tetapi Zara sangat paham. “Pak Dave bukan saya bermaksud menggurui. Hanya saja, kejadian yang Pak Dave alami sudah lima tahun berlalu. Dan, di sini saya tidak tahu pokok permasalahannya. Kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya tutup saja persoalan tersebut, apalagi selama ini pasti tidak ada wanita yang menuntut apa pun pada Pak Dave,’kan? Jadi sebaiknya Pak Dave tidak usah berpikiran negatif dulu, banyak berdoa saja semoga rencana pernikahan Pak Dave dengan mbak Camilia berjalan lancar,” saran Zara dengan hatinya yang terasa pilu meski hanya sesaat, sejak dulu sudah jadi keputusannya. Suara Davendra menghela napas beratnya terdengar jelas di telinga wanita itu. “Tidak perlu mengajari saya, Zara. Saya paling tidak suka dengan orang yang telah berbuat licik, sampai kapan pun meski saya telat menyadarinya, akan saya ingat. Dan tidak akan mudah memaafkan orang itu,” tegas Davendra. “Mommy ... Mommy!” panggil Nathan dengan berlarian kecil menghampiri Zara yang masih berada di ruang tamu. Zara yang ingin menimpali ucapan Davendra terpaksa terjeda. “Ya, Sayang, ada apa?” tanya Zara. Dan suara Zara yang begitu lembut masih terdengar oleh Davendra. “Angan ama-ama teleponnya Mom. Ayo kita main, Mom,” rengek Nathan terlihat tidak sabaran sembari menarik ujung blouse Zara. “Ok, sebentar ya. Nathan main dulu sama kak Nala ya,” bujuk Zara sembari mengusap pucuk kepala putranya. “Nathan unggu Mommy aja di cini,” jawab Nathan menolak perintah mommynya. Bocah tampan ini memang agak keras kepala, jika sudah dijanjikan apa pun pada Zara pasti akan terus menagih sampai dapat. Sudut bibir Zara melengkung tipis. “Suara siapa itu? Dia anakmu?” tanya Davendra penasaran. “Iya Pak Dave, itu suara anak saya. Dan sepertinya saya harus menyudahi pembicaraan kita, anak saya sudah menunggu. Semoga Pak Dave menemukan jalan keluarnya, mohon maaf jika tidak bisa banyak membantu. Assalamualaikum,” ujar Zara sebelum memutuskan panggilan teleponnya. “Tapi Za—“ Davendra belum selesai berbicara, nada ponsel mati. “Sialan, berani sekali dia langsung mematikan teleponnya. Aku ini belum selesai bicara!” Pria itu tampak kesal dan frustrasi, belum mendapatkan keinginannya. Jiwa penasarannya belum dipenuhi. “Ke mana aku harus mencarinya, atau aku coba ajak Zara ke klub malam itu, biar ingat semuanya? Tapi apakah bisa? Apalagi kata Reza, Zara sudah menikah dan punya anak. Tadi aja dengar suara anaknya. Namanya Nathan. Yang jelas aku tidak mau tiba-tiba ada wanita yang datang membawa anak. Dan mengaku-ngaku anak yang dibawanya itu adalah anakku. Aku tidak sudi untuk mengakuinya! Aku tidak pernah berhubungan intim dengan wanita mana pun! Jika pun itu terjadi pada malam itu, bukan kehendakku. Itu kesalahan wanita itu!” gumam Davendra sendiri, meluapkan rasa kesalnya. Andaikan pada malam itu Davendra tidak mabuk, mungkin ia masih bisa mengingat malam panasnya dengan Zara walau di bawah pengaruh obat perangsang, Sayangnya, ia dalam keadaan mabuk berat, salah satu efeknya tidak akan ingat pada kejadian tersebut. “Aku akan memaksa Zara untuk ikut ke Jakarta!” putus Davendra saking haus dengan sebuah jawaban. Sementara itu di rumah Zara, usai wanita itu membersihkan tubuhnya sebentar. Kini bergabung bermain lego bersama si kembar. Sesekali ia menatap kedua wajah si kembar dengan tatapan sendunya. “Nathan, Nala, maafkan Mommy jika kalian tidak memiliki daddy seperti teman-teman kalian di sekolah. Tapi, ada Mommy yang selalu ada di sisi kalian sampai kalian dewasa. Mommy akan selalu menyayangi kalian berdua,” batin Zara agak pilu. “Mommy, apan daddy puyang? Kata bu gulu inggu epan di cekolah nanti ada acala hali ayah. Mommy bica bilang cama daddy buat puyang dulu. Nathan uga engen ketemu cama daddy?” tanya Nathan baru ingat pesan dari gurunya. Degh! Sontak saja Zara terhenyak, sementara Hesti memandang sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD