Bab 13. Jangan Bodoh Karena Cinta!

1354 Words
Acara makan malam bersama tampaknya tidak membawa suasana hangat dan kekeluargaan. Apalagi Meyda sudah menyindir ucapan Farida. Sebenarnya Meyda tidak pernah memandang status sosial siapa pun dalam pergaulan. Ia menerima pertemanan dari semua kalangan, bahkan dengan maid yang bekerja di mansionnya saja sudah ia anggap seperti keluarganya. Hanya saja ia paling tidak suka dengan orang yang manfaatkan kondisi kekayaan mereka, meski ia pun tidak pelit. Keluarga Orlando terhitung royal dalam membantu pada orang yang sangat membutuhkan, bukan pada orang yang serakah, gelap mata. “Bukan begitu, Mah,” jawab Davendra tanpa meninggikan suaranya, mau bagaimanapun ia sangat hormat pada mamanya. Farida mengalihkan pandangannya, berpura-pura tidak memperhatikan ekspresi calon besannya. Menurut Farida pribadi, orang tua pihak wanita berhak meminta sesuatu jikalau calon menantunya sangat kaya. Dan nyatanya calon menantunya sangat kaya seperti artis sultan andara, jadi menurutnya tidak salah dong. Apalagi Davendra ingin menikahi putri kesayangannya. Ibarat kata apa yang ia pinta menggantikan biaya hidup mengurusi Cantika sejak dalam kandungan hingga kini memiliki nama besar dan terkenal sebagai model. Haduh, itu sama saja seperti menjual anak sendiri Bu, kalau pemikirannya kayak begitu. Para waiters mulai menyajikan hidangan pembuka. Meyda sudah hilang mood untuk menikmati makan malam di ruang VIP tersebut. “Pah, kayaknya Mama pengen makan kebab di luar aja. Gimana kalau kita cari sambil jalan-jalan,“ ajak Meyda saat menatap suaminya. “Terserah Mama. Kalau Mama mau jalan-jalan keluar, Papa temenin, kayaknya Papa juga pengen makan kebab,” balas Selim menyetujuinya, dan hal itu terdengar oleh Davendra. Meyda dan Selim serempak beranjak dari duduknya. Davendra tampak memucat melihat kedua orang tuanya ingin meninggalkan ruangan, padahal acara makan malam baru saja dimulai. “Silakan dilanjut makan malamnya, istri saya ingin cari jajanan saja,” ujar Selim tampak sopan berpamitan pada kedua orang tua Camilia, lalu ia menggandeng tangan istri yang sangat ia cintai. Farida dan Lukman hanya mengangguk pelan tanpa berniat menahan kedua orang tersebut, atau sekedar basa basi menanyakan ‘kenapa tidak makan dulu? setelah itu baru jalan-jalan.’ Nampaknya mereka pun kurang berkenan dengan kehadiran orang tua Davendra, mingkin karena tidak leluasa menguasai sang aktor. “Mah, Pah.” Davendra berniat menahan kedua orang tuanya, tapi sayangnya mereka tetap berjalan keluar, lantas Davendra menyusul. “Kak Dave!” seru Camilia ingin menahan kepergian tunangannya. “Aku keluar sebentar, nanti balik ke sini lagi,” ujar Davendra sambil lalu. Wanita itu memberengut kesal. “Mah, Pah, tunggu!” panggil Davendra yang sudah berjalan di belakang kedua orang tuanya yang sudah berada di luar ruangan VIP. Langkah Meyda sejenak berhenti, lalu menatap anaknya yang kini sudah berhenti di hadapannya. “Ada apa lagi Dave? Bukannya kamu tidak suka jika Mama berada di sana dan telah menyakiti hati mertuamu itu, eh salah deh ... masih calon mertua?” cecar Meyda dengan santainya tapi tetap terkesan tegas. Pria itu mendesah pelan. “Bukannya begitu Mah, tadi aku tidak bermaksud berpihak pada orang tuanya Camilia. Aku hanya ingin acara makan malam keluarga ini sebelum kita kembali pulang ke Jakarta terasa akrab dan hangat. Udah itu aja, dan aku juga tidak mau Mama merasa tersinggung atas sikap aku barusan,” imbuh Davendra menjelaskan. Meyda tampak menarik napas dalam-dalam. “Mama juga sebenarnya ingin acara makan malam ini berjalan lancar. Tapi kenyataan ada hal yang membuat Mama kurang nyaman jika berlama-lama di sana. Mama tahu kamu sangat mencintai Camilia, tapi setidaknya kamu jangan bodoh. Atau mau dibodohi! Kamu harus jeli melihat mana wanita yang tulus mencintaimu atau dia sangat mencintaimu karena ada maunya. Dan Mama tidak perlu menjelaskan maunya seperti apa, kamu pasti sudah mengerti, kamu bukan anak kecil lagi yang perlu diingatkan,” ujarnya, lalu kembali menatap suaminya. Davendra diam seribu bahasa, sudah tahu arah pembicaraan yang dimaksud mamanya. “Memang kamu memiliki penghasilan sendiri, dan bisa kamu gunakan untuk apa pun yang kamu inginkan atau hanya ingin membahagiakan pasanganmu. Silakan saja. Tapi pakai akal sehatmu apakah pantas atau jadi berlebihan, apalagi belum ada ikatan pernikahan. Atau jangan-jangan kamu sudah menikmati tubuh Camilia, sehingga kamu rela memberikan apa pun demi membahagiakan wanita itu atau lebih tepatnya membayar service kepuasan yang telah dia berikan buat kamu di atas ranjang!” lanjut kata Meyda dengan frontalnya. “Tidak seperti itu, Mah.” Davendra menyanggah. Wanita paruh baya itu hanya menyinggung senyum tipisnya, lantas menepuk bahu putranya. “Tidak perlu menyanggah Dave. Kebenaran hanya kamu dan Allah yang tahu. Dah, Mama mau jalan dulu sama Papa keburu larut malam, sebaiknya kamu kembali keluarga barumu itu. Mertuamu kayaknya sangat bangga memiliki menantu seperti kamu,” sindir Meyda. Sementara di ruang VIP, tanpa menunggu Davendra balik ke dalam kedua orang tua Camilia sudah menyantap hidangan yang begitu mewahnya. “Cam, Ibu minta rencana kalian mau belikan rumah buat Ibu dan ayah jangan sampai nggak jadi ya. Ibu malu sama tetangga, masa dapat menantu sekaya Davendra tinggalnya di gang sempit, apalagi Ibu juga pengen ngerasain mobil yang bulan kemarin dibeliin Dave terparkir di depan rumah, bukannya dititipkan di garasi orang,” ujar Farida dengan santainya. “Iya Bu, nanti aku bakal rayu Kak Dave buat belikan. Kalau pakai uangku ya nggak bakal cukup, aku juga masih butuh buat perawatan wajah dan tubuhku tiap bulannya. Tapi, tunggu sampai mamanya Kak Dave adem dulu Bu. Ibu ‘kan dengar sendiri sama sindirannya barusan.” Mulut Farida masih sibuk mengunyah daging steak sebelum membalas ucapan anaknya, kemudian meneguk air putih agar makanannya tergelincir dalam tenggorokannya. “Ibu’kan tadi nggak minta belikan rumah sama orang tuanya Dave. Tapi minta sama menantu Ibu, jadi jangan salahkan Ibu. Pokoknya nanti kalau Davendra sudah resmi jadi suami kamu, Ibu minta kamu yang mengatur keuangan suami kamu. Kalau perlu Davendra hanya kasih seperlunya saja. Selebihnya buat kamu dan Ibu serta Ayah. Hitung-hitung buat jaga-jaga agar suami kamu tidak selingkuh kayak artis yang lainnya tuh. Setidaknya kalau harta dan uangnya dipegang istri pasti nggak akan bisa berkutik,” saran Farida yang bikin Camilia terhenyak. “Ide yang cermelang Bu, nanti akan aku pikirkan bagaimana caranya. Intinya sekarang pernikahan kami harus berjalan lancar terlebih dahulu, jangan sampai gagal,” balas Camilia tersenyum tipis. “Harus jadilah. Dan, kamu juga harus pandai-pandai mengambil hati mertua kamu itu. Siapa tahu nanti kamu kebagian uang tiap bulan. Lumayan'kan, kalau dikumpulin bisa buat buka usaha. Ayah capek kalau harus kerja sama orang. Sesekali pengen punya bisnis, Nak,” sambung Lukman. “Memangnya Ayah mau punya bisnis apa?” tanya Camilia penasaran. “Ayah pengen punya bisnis peternakan dan perkebunan. Kayak juragan Warto itu, dia berhasil dan sangat kaya sekarang di masa tuanya,” jawab Lukman. Camilia hanya bisa manggut-manggut, lalu kembali menikmati makan malamnya. Tak lama kemudian, Davendra kembali bergabung dengan raut wajahnya yang lesu. “Kak Dave, makanannya sudah tersedia,” ujar Camilia menunjukkan perhatiannya. Davendra tidak menanggapinya, malah meneguk jus melon hingga tandas. Lalu memanggil salah satu waiters yang standby di ruangan untuk membungkus makanannya. “Loh, kok malah dibungkus Kak? Bukannya tadi katanya lapar? “ tanya Camilia heran. “Aku makan di kamar saja, Camilia. Aku baru ingat ada pekerjaan kantor yang belum diselesaikan,” balas Davendra datar seraya memberikan blackcard pada waiters yang ia panggil untuk membayar bill. “Iish, memangnya pekerjaannya tidak bisa ditunda. Kita lagi makan malam sama ibu dan ayahku, loh,” rengek Camilia, ia menarik perhatian Davendra untuk menghargai kedua orang tuanya. Pria itu tersenyum getir. “Kamu ingin aku menghargai orang tuamu. Tapi kamu tidak bisa menghargai perasaan orang tuaku,” ujar Davendra pelan, lalu menggiring pandangannya pada Farida dan Lukman yang masih sibuk menguyah. “Loh, kok, Kak Dave malah berkata seperti itu. Aku ini sangat menghargai dan hormat sekali sama kedua orang tua Kak Dave. Apa aku masih kurang hormat pada mama Meyra? Apa perlu aku berdiri dan memberikan salam hormatku seperti upacara di hari senin? Biar Kak Dave bisa melihat jelas,” cecar Camilia agak sewot, rambutnya ia sibakkan ke belakang saking hawa tubuhnya terasa gerah, menahan kekesalannya. Davendra terkekeh pelan. “Mamaku tidak tergila-gila untuk dihormati, Camilia,” tanggapnya. Ia lantas menarik napas panjang. “Apakah aku sudah tepat memilih Camilla sebagai calon istriku? Sementara hatiku ingin sekali mencari wanita itu? Tapi untuk apa mencarinya?” Pikiran Davendra kembali runyam karena ucapan Meyda mampu menggoyahkan pendiriannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD