19: Lingkungan Baru

2004 Words
”HAKH!” Gio tersentak bangkit dari keadaan tidak sadarkan diri. Membelalakkan kedua mata tanpa benar-benar memahami. Apa yang sesungguhnya telah atau habis atau tengah… terjadi. Ia lihat tubuhnya yang hanya mengenakan kaus singlet putih tanpa lengan juga celana boxer berwarna biru kehitaman. Ia sedang duduk di atas kasur lipat tipis yang entah sengaja atau tidak memang ada di sana sejak ia tiba. Mungkin satu paket disewakan dengan rumahnya. Entahlah. Untuk saat ini bisa dibilang ia tidak cukup yakin untuk mempercayai apa pun juga. Bahkan hela nafasnya sendiri. Semua… bisa jadi hanya mimpi. Bodoh sekali! ”Semua… masih normal, ’kan?” tanyanya dengan intonasi datar. Seraya mengintip ke arah ruang tamu dari pintu kamar yang terbuka. Huuuffftt… Ia hembuskan nafas lega. Bahagia sekali rasanya saat menyadari bahwa apa yang baru saja ia alami ”sungguh” hanya mimpi. Senyuman tipis tak berjejak pun terukir di wajah. Gio mendirikan tubuh ingin mandi (lagi) karena merasa mandi (yang tadi pagi) itu tidak sungguhan terjadi. Jbur jbur jbur. Sabun sabun sabun. Jbur jbur jbur lagi. Singkat saja ala mandi kodok anak laki-laki. Selesai mandi ia kenakan pakaian pergi yang ada dalam tas ransel. Menyemprotkan salah satu jenis minyak wangi ”sederhana”. Yang bisa ia temukan di antara sekitar selusin koleksi wewangian ”murahnya”: Creed Green Irish Tweed. ”Ahh, sempurna sudah kegantenganmu luar dalam, wahai Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Junior,” pujinya pada diri sendiri seraya sok menaik-naikkan kedua alis. Merasa jadi lelaki paling tampan di dunia. Yang bisa dengan mudah mempesona wanita mana saja ia jumpa. Makaila… Makaila… Makaila… Wanita yang eksistensinya buat gila saja. DEG. Detak jantung aneh tiba-tiba melunturkan seluruh antusiasme. Makaila. Nama itu. Sudah pasti hanya nama yang ia dengar di dalam mimpi, bukan? Pasti bukan… Pasti bukan… Pasti tidak ada hubungannya dengan kenyataan. ”Hahh?” Gio hanya bisa (kembali) ternganga tanpa mampu mengeluarkan kata. Kala melihat kaus yang ia pakai kemarin dan kolor pelindung b***************n kebanggaan tengah tergantung di atas jemuran. Ia sentuh. Masih sedikit basah. Itu berarti aku benar-benar mengalami… dan pertemuan dengan wanita berpakaian suster itu… juga keanehan pagi di mana waktu tidak bergerak dan tidak ada satu orang pun terlihat. Apakah semua nyata? Drap drap drap. Ia segera bergegas kembali masuk ke dalam rumah super sederhana yang ia sewa. Tidak terlalu besar meski akan jadi sangat kecil jika dibandingkan dengan kediaman Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Hal ini bisa mempersempit lingkup pencarian. “Itu dia…” ucapnya “bahagia”. Kala berhasil menemukan benda itu. Namun, apakah itu? ”Jam tanganku…” Saat ia lihat waktunya kembali menunjukkan waktu saat itu. Sekitar pukul sepuluh pagi. Rasa lapar melilit perut yang ”tadi pagi” begitu membuatnya menderita sudah tidak lagi terasa. Sebagai ganti hanya bulu kuduk meremang yang kini buat ia merasa tidak nyaman. Sungguh keterlaluan! Gio tidak lagi mau terjebak dalam semua bayangan. Akan kengerian yang tengah mengikuti hari-hari idaman. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan akan keberhasilan yang telah ia dapatkan. Maka ia akan menganggap bahwa tidak ada hal aneh telah terjadi. Bahwa tidak ada kejadian mengerikan. Tidak ada nafas yang terasa sesak akibat kesendirian di suatu lingkungan. Dan yang paling penting… paling, paling, paling penting… tidak ada lagi perempuan ”itu”. Entah Mikaila. Entah Makaila. Mereka semua pasti hanya produk dari imajinasi otaknya yang sedang kelelahan saja. Sama sekali tidak lebih dari itu. Ia tatap siluet wajah yang kaku di depan pintu, ”Semua pasti akan jadi baik-baik saja… Giorsal.” * ”Bagaimana? Sudah lengkap semua pesanan saya?” tanya Gio pada mas-mas penjual jajanan tradisional di pasar dekat kampung Tangga Teparo. Mungkin di sana juga ada pasar tersendiri. Tapi, karena ia baru pindah dan belum menelusuri setiap bagian kampung. Gio memilih mengunjungi pasar induk di jalan yang mudah terlihat saja. Mas-mas yang mengenakan kaus seadanya dan celana panjang cingkrang itu menjawab dengan bibir berkomat-kamit kembali memastikan pesanan sang pelanggan, ”Sudah pas semua, Mas.” Ia pun menyodorkan tiga bungkus plastik cukup besar di atas etalase kaca pada pemuda di depannya. ”Total berapa?” tanya Gio mengeluarkan dompet Saddleback Leather Co dari saku belakang celana jeans. Mas-mas yang terlihat lebih tua dari Gio itu menjawab sambil mencontek hasil hitungan kalkulator, “Tiga ratus sembilan puluh lima ribu rupiah untuk jajanan asinnya. Dan dua ratus tiga puluh dua ribu rupiah untuk minum dan jajanan yang manis. Ditotal jadi enam ratus dua puluh tujuh rupiah.” Hmm. Gio memegang dagu. Kala menyadari bahwa ia tak mendapati jumlah uang cash sebanyak itu di dalam dompet elit tersebut. Wah, mahal juga ternyata, ya. Mana duit cash-ku cuma lima ratus ribu lagi. “Bisa gesek tidak di sini?” tanyanya seraya menunjukkan kartu debit Emerald World Master Card di tangan. Si Mas-mas langsung menjawab, ”Wah, kartu apa itu, Mas? Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa. Cash saja, ya. Ini hanya warung di kota kecil,” tolaknya secara halus. Toko jajanan itu sendiri memang sangat sederhana dan tidak memiliki alat pembayaran favorit para kaum penggemar sek gesek. Gio pun menarik kembali tangannya. Tersenyum meminta izin, ”Kalau begitu saya tarik dulu di ATM ya, Mas.” Mas-mas itu hanya menganggukkan kepala dengan raut wajah sedikit kesal. Sudah senang ia tiba-tiba datang pelanggan yang memborong hampir semua dagangan. Malah terkendala masalah pembayaran. Gio pun menuju tepi jalan raya dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Biasanya di tempat yang ramai seperti itu akan terdapat bangunan kecil berisi ATM. Ah, itu dia, syukurnya seraya melangkah menuju titik yang dimaksud. Di dalam masih ada seorang bapak-bapak berjaket kulit hitam dengan bawahan celana bahan yang mengenakan sepatu pantofel berwarna kusam. Ia pun mengantri dengan tertib. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Eh. Tapi, reaksi tidak biasa ia dapatkan dari bapak-bapak dengan ”aksesoris” kumis tebal di wajah seperti Pak Raden itu. Kenapa dia melihati aku dengan tatapan seperti itu, sih, tanya Gio gusar dalam hati. Berlanjut tidak peduli. Segera ia masuki ruangan kecil sejuk dan mengambil uang sebanyak dua setengah juta rupiah. Jujur Gio bukan tipe orang yang suka memegang banyak uang tunai. Tapi, karena ia khawatir akan ada banyak pengeluaran tidak terduga. Dan ATM ini, yang tampaknya paling dekat dari tempat ia tinggal, cukup jauh. Jadi, jaga-jaga saja. Ia pun kembali ke toko jajanan tradisional tadi dengan mengantungi uang sebanyak dua setengah juta di saku celana. Penampilannya sederhana. Tidak akan ada yang tau juga berapa jumlah uang yang saat itu sedang ia punya. Tapi… Kenapa aku merasa dilihati dengan tatapan tidak enak oleh beberapa orang, ya, batinnya saat dengan sengaja menolehkan kepala. Orang yang ia curigai sedang mengamatinya benar-benar langsung membuang muka. Buat tambah curiga saja. ”Ini Mas uangnya,” ucap Gio seraya menyerahkan delapan lembar uang bergambar dua proklamator besar Indonesia: Ir. Soekarno dan Moehammad Hatta. Mas-mas itu langsung mengembalikan kelebihan seratus ribu ke tangan si pelanggan. ”Kelebihan uangnya, Mas.” Segera ia tolak. ”Kembaliannya untuk Mas saja. Semoga jadi penglaris,” ucap Gio sekaligus mendoakan. Pemuda itu pun menerima wujud kemurahatian sang pelanggan dengan perasaan penuh syukur. Ia mendoakan balik, ”Semoga Tuhan membalas kebaikan Masnya.” Gio tersenyum. Menjawab, ”Terima kasih banyak ya atas doanya.” Ia berkata lagi, ”Oh iya, Mas. Kira-kira kalau saya minta belanjaan ini diantar ke rumah bisa tidak?” tanyanya. Mas-mas itu tersenyum lebar. Dengan semangat menjawab, “Tentu saja bisa, Mas. Kalau begitu saya tutup toko dulu, ya. Mau diantar ke mana?” tanyanya. Gio sangat bersyukur. Dengan enteng menjawab, “Kampung Tangga Teparo.” Glekh. Pemuda itu langsung menghentikan gerakan tubuh yang tadi sangat gesit juga semangat. Seperti habis mendengar suatu kabar buruk yang berbanding terbalik. Dengan rezeki yang baru saja ia terima hari ini. ”Kenapa, Mas?” tanya Gio. Perasaannya jsadi tidak enak. “Wa, Wah, maaf nih, Mas. Kalau ke sana sepertinya saya tidak bisa,” jawab Mas-mas penjual jajanan tradisional. Wajah penuh syukur Gio segera berubah menjadi penyesalan. Ia bertanya, “Memang kenapa?” Setelah terdiam sejenak. Si Mas-mas penjual jajanan menjawab, “Hmm… mantan istri saya tinggal di sana, Mas. Saya minta maaf sekali, nih. Saya tidak ingin bertemu dengan dia lagi,” ucapnya seraya menundukkan wajah tidak enak. Huufft. Gio memaksakan diri untuk mengerti. Sekalipun alasan yang pedagang itu gunakan cukup ”tidak” masuk akal. Tidak profesional. Ia pun menitipkan barang belanjaannya sementara ia mencari becak di sekitar sana. Orang itu bohong, batin Gio. * “Terima kasih banyak, Pak,” ucap Gio seraya beranjak turun dari becak yang mengangkutnya dari pasar. Ia bawa turun satu demi satu bungkusan plastik belanjaan. Setelah usai kembali ke pengemudi becak dan siap membayar. ”Kamu orang baru di kampung ini?” tanya Pak Tukang Becak tersebut. Pandangannya tampak serius mengamati daerah sekitar yang terdapat beberapa rumah mewah berukuran besar. Setelah itu melihat ke arah rumah penumpangnya yang sangat sederhana cukup lama. Mungkin karena pendidikan orang ini rendah. Jadi, dia tidak begitu paham soal sopan santun dan etika, batin Gio berusaha mensabarkan diri. Bagaimanapun juga ia pernah lama hidup di antara para kalangan menengah ke bawah. Jadi, ialah yang memang harus lebih banyak memberi toleransi. Ia menjawab, ”Benar, Pak. Saya baru saja pindah belum lama ini.” ”Hati-hati, ya,” pesannya sambil kembali menggenjot becak ke arah sebaliknya. Meninggalkan si pemuda di sana. Dengan satu juta tanya juga rasa tidak nyaman berkecamuk di d**a. Ia paksakan senyumannya. Berkata pada diri sendiri, ”Semua akan baik-baik saja, Giorsal. Jangan biarkan pikiran buruk dari orang yang bahkan tidak mengenalmu… ”beri pengaruh dalam hidupmu.” Cklek. * Setelah sepanjang siang Gio seorang diri menyusun jenis demi jenis makanan di dalam kotak kertas putih. Sekitar pukul tiga sore ia sudah melihat beberapa buah ”gedung” terbuat dari kotak berkat berdiri di hadapannya. Ia ingin istirahat dulu paling tidak setengah jam. Sebelum mulai berkeliling dan memberi salam perkenalan pada para warga kampung yang sudah lebih dulu tinggal di sana. ”Aaahh, kalau punya hal yang dilakukan pikiranku jadi terasa jauh lebih mendingan. Tidak ada keanehan. Tidak ada hal tidak normal. Semuanya hanya biasa saja. Giorsal Junior di rumah sewaan sdan lingkungan barunya. ”YEEEYY!!!” ia melonjak bahagia. Dan ia pun ketiduran. * Gio baru bangun sekitar pukul lima sore. Ia langsung panik berpikir rencananya mengunjungi kediaman para tetangga bisa jadi tertunda. Maka ia pun segera bergegas saja dengan membawa paling tidak satu buah plastik besar berisi lima kotak berkat di setiap tangan. Harus cepat, harus cepat, harus cepat, batinnya semangat, sebelum gelap. Untung saja sore ini tidak ada hal aneh yang terjadi dengan lingkungan tempat ia tinggal. Terlihat beberapa anak kecil yang asyik bermain bola di jalan yang sepi. Ada beberapa orang dewasa tengah asyik bercengkrama di warung kopi. Juga terlihat beberapa anak remaja muda yang mengobrol sambil main catur di sebuah bale-bale tepi jalan. Semua tampak begitu normal juga menyenangkan. Gio siap membentuk relasi yang baik dengan semua orang itu di masa depan nanti. Tidak seperti komplek perumahan elit tempat kediaman Gio Sr. berada. Yang warganya pada sok eksklusif semua dan jarang keluar. Tidak pernah ada acara ramah-ramah tetangga. Buat malas saja. Sepertinya di sini semua orang walau berasal dari kalangan atas, tapi benar-benar saling menghargai antara satu dengan yang lain. Tempat ini benar-benar ideal, ia melengkungkan senyum optimis. Tanpa Gio sadari. Saat ia tengah berjalan menuju rumah demi rumah para tetangga baru. Lima orang anak kecil yang tadi ayik bermain bola. Empat orang pria yang tadi asyik bercengkrama dengan secangkir kopi di hadapan mereka. Juga tiga orang anak remaja yang tadi asyik mengobrol sambil asyik serius bermain catur. Mengikutkan pandangan mereka pada keberadaannya. Bagai para binatang buas yang tengah mengincar seekor domba buruan yang terlepas dari kawanan. Seekor domba yang hilang… haruslah segera dikembalikan. Satu ekor domba yang sempat tersesat di padang rumput asing… harus segera dimasukkan dalam kandang. Diberi penjagaan berlipat. Seekor domba hilang harus segera dipulangkan ke "tuan". Ssstt! “PERMISIII, SALAM KENAL. SAYA GIORSAL YANG MULAI HARININI AKAN MENJADI TETANGGA BARU ANDA,” teriak Gio di depan sebuah kediaman seorang tetangganya. Semoga saja dia merupakan tetangga yang baik. Dan mereka bisa menjalin hubungan pertetanggaan yang ideal. Semoga saja, oke?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD