13: Parable of the Lost Sheep [C]

1257 Words
* Pria itu, yang memiliki nama Avimelech Hadar Edzhar Nasution, kembali rasakan bias cahaya di balik kegelapan pelupuk mata yang tertutup. Seperti kesadaran telah kembali ke tubuh fana yang menjejak bumi. Apakah ia belum mati? Atau… kini ia telah berada di tanah rerumputan (tanah surgawi)? ”Siapa kamu?!” tanya seorang wanita berpakaian seragam pelayan seraya menodongkan senapan laras panjang. Tidak jauh dari peraduan ia tengah membaringkan badan. Kesadaran Diakon Avi belum seutuhnya kembali. Pikirannya masih berada di antara batas antara kenyataan. Dan pikiran yang tak lebih dari sekadar keyakinan belaka. Namun, ia usahakan untuk menjawab guna mempersingkat waktu. Ia belum tau bagaimana kondisi Romo Bartolomeus sejak ledakan itu. ”Nama saya adalah… Avimelech Hadar Edzhar Nasution. Diakon dari Katedral Santa Maria Pengayom Diangkat ke Surga. Keuskupan tempat Romo Bartolomeus memberi pelayanan di kota sebelah,” jelasnya. Berusaha tetap tenang agar tak terlihat mencurigakan. Pelayan bernama Hanin itu belum menurunkan kewaspadaan. Sama sekali tak ia pindahkan kekeran senapan dari wajah pria di hadapan. ”Nona, apa bisa Anda turunkan moncong senjata itu untuk sejenak saja,” pinta (sekaligus tanya) Diakon Avi. Sekujur tubuhnya tengah merasakan suatu rasa sakit yang tiada dua. Ia merasa terus diperlakukan seperti seorang pesakitan. Hanya akan semakin membuat buruk keadaan. Untung saja si pelayan Hanin pun menuruti keinginan Diakon Avi. Ia turunkan ujung senjata dari hadapan pria itu. ”Karena keadaan Anda telah menjadi demikian parah akibat berusaha melawan makhluk jejadian yang ada di ruang tamu depan. Saya akan coba percaya bahwa Anda bukan entitas musuh kediaman ini seperti yang Romo Bartolomeus katakan.” Kedua pupil mata Diakon Avi semakin besar kala mendengar nama itu. ”Romo, Romo Bartolomeus, bagaimana dengan keadaan Beliau sendiri saat ini?” ia bertanya semangat. Seolah telah lupakan segala rasa sakit tak terperi. Yang sejak tadi ia rasa menembus sampai ulu hati. ”Ini adalah kejadian yang sangat berat untuk kami semua. Orang yang begitu taat dan meneduhkan seperti Romo Bartolomeus saja sampai kewalahan,” ucap si pelayan Hanin. Tak langsung memberi jawaban. Wanita itu memilih untuk berkata, ”Kalau keteguhan dalam hati Anda sama besar dengan apa yang Anda ucapkan. Saya minta Anda untuk bangkitlah dan ikuti saya!” ajaknya. Rasa sakit serta ngilu di sekujur tubuh yang tengah mendera pria itu. Terasa bagai aliran listrik yang membawa kawat berduri di setiap voltase. Akal sehat juga hati nurani menekannya untuk tidak memaksakan diri. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi tidak selalu bisa menyesuaikan dengan semua itu. Mungkin raga memang sangat terluka. Namun, ada hal yang lebih penting timbang kenyamanan dan rasa aman. Itu adalah sesuatu yang membawa langkahnya ke tempat ini. Sesuatu yang membuat ia yang belum pernah terlibat secara langsung dengan proses pengusiran setan. Bersedia dihajar sampai babak belur nyaris hancur lebur. Oleh mereka para makhluk yang dikutuk oleh Tuhan. * “CAELO QUI LUX AMITTERET IN TENEBRIS. MISER PERGIT INTELLIGERE SIGNUM FUTURI. NAM RECTA LINEA QUOD CAELUM ET MARI SEPARATUR. REMOVEAT AVARITIAM!” teriak Romo Bartolomeus merapal “mantra” guna menghadapi sesosok… manusia? Iblis? Iblis berwujud manusia? Makhluk apa? Tepatnya iblis yang tengah merasuk ke dalam diri manusia. Nyonya Adisti Febriani Melati. Istri (kedua) Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Yang saat ini sendiri tubuhnya tengah bergerak di luar kesadaran serta kehendak sendiri. Wanita berkulit gelap yang tadi tampil cantik menawan serta rupawan itu. Kini tampil tak ada beda dengan penampakan setan yang biasa divisualisasikan dalam tayangan bertema pengusiran setan. Hanya saja yang ini jauh lebih mengerikan. Karena nyata di depan mata kepala. Saat mendengar lantunan mantra dari seorang romo di hadapannya. Hal itu sama sekali tidak memberi banyak pengaruh. Ia masih leluasa mengendalikan Gio Sr. untuk mewakili serangan balik terhadap si romo ”karbitan”. ”Diakon Avi, mengapa Anda bisa berada di sini?” tanya Romo Bartolomeus membelalakkan kedua mata tak percaya. Seketika kegalauan juga kekhawatiran merasuk hendak ”mengkontaminasi” jiwa. Sebuah kepanikan yang tak kuasa temukan muara. Hingga mulai mengacak-acak jiwa nestapa. Ba, Bagaimana bisa ini semua… “Tolong maafkan saya yang penuh dosa serta kesalahan ini, Romo Bartolomeus. Perasaan saya sangat tidak tentram sejak Anda memutuskan menjawab panggilan itu. Jadi, saya berinisiatif untuk datang ke sini seorang diri,” jawab Diakon Avi. ”Berharap” tindakan ”heroiknya” mampu membuat pria itu melontarkan paling tidak… yaahh, memberi satu atau dua patah kata apresiasi. Namun, bukan memberi apa yang pria itu kehendaki. Romo Bartolomeus malah memicingkan kedua mata melihat Diakon Avi. Aku merasakan kegelapan yang hampa dan dipenuhi keputusasaan bagai tengah menguap dari permukaan kulitnya. Apa dia telah ternodai oleh para iblis terlaknat di tempat ini? Yang jelas aku tak akan memberi apa yang “ia” kehendaki, batin Romo Bartolomeus percaya diri. Tapi, kemunculan orang “lain” hanya akan menjadi batu penghalang. Untuknya dalam menyelesaikan masalah ini. Apabila telah “sampai” di puncak acara nanti… Sembari Romo Bartolomeus memikirkan cara terbaik mengalahkan makhluk astral yang tengah merasuki diri Sang Nyonya Rumah. Juga menyelamatkan Sang Tuan Rumah tanpa melukai pria itu sendiri. Diakon Avi bergerak sendiri tanpa menerima komando dari Sang Romo. Ia pikir itu akan membuat ia lebih dikagumi… tanpa disadari membuka gerbang untuk masuknya parade yang tengah menyanyikan deret nada beraroma kegelapan sejati. Hhsshh… Pria paruh baya itu menyaksikan dengan dua mata kepala sendiri. Bagaimana Pastor Avi yang sekujur tubuh sudah tampak tidak karu-karuan lagi. Berjuang keras demi sebuah pembuktian diri. Puluhan hingga ratusan kata dari mantra yang ia lontarkan sepenuh hati. Bahkan belum mampu membuat ia pantas disebut tengah menghadapi. Satu makhluk yang dipenuhi oleh rasa dengki. Juga satu lagi makhluk yang tak mampu mengendalikan tubuh serta jiwanya sendiri. Diakon Avi terlihat hanya sedang dipermainkan saja oleh wanita yang wajahnya tampak seperti patung lilin yang habis terbakar itu. Meleleh tidak jelas bagaimana bentuknya. Romo Bartolomeus membatin, ahh, untuk apa orang itu datang ke sini? Aku tidak ingin kembali dengan membawa mayat. Dan lagi aku belum ada rencana menguak ”topeng” ini di hadapan para anggota katedral yang lain. Benar-benar tidak ada gunanya… Dari pandangan meneduhkan serta menenangkan seorang pria paruh baya yang mampu menentramkan siapa pun yang melihatnya. Sepasang mata pria itu kini menjadi tampak sinis, tajam, sarkastis, juga dipenuhi ”kekejaman”. Hanya dari bagaimana kedua netra itu memandang. Membuat siapa pun yang melihat tau. Itu sudah bukan lagi satu persona yang sama. Begitu juga dengan Diakon Avi. Yang telah super babak belur, tapi belum menyerah melancarkan perlawanan. Merasakan keanehan pada diri Sang Romo. ”Romo Barto…” Romo Bartolomeus mendekati pria itu dan menyentuh batok kepalanya. Kedua bola mata Diakon Avi terbelalak tak percaya. Kala menyaksikan bagaimana segumpal asap hitam pekat. Merembes keluar dari pori-pori telapak tangan Sang Romo. Asap yang tadi terpencar tanpa bentuk. Seolah saling menarik dan memadat menyerupai sebuah tombak yang tidak begitu panjang. Tombak itu bergerak sendiri dan memasuki rongga mulut Diakon Avi yang tak kuasa dikatupkan. Saking betapa rasa terkejut tengah mengguncang perasaan. Romo Bartolomeus mendekatkan sepasang bibirnya yang kini berwarna gelap ke tepi daun telinga Sang Pastor Muda, ”Tenebrae Deus est. Tenebrae trahente serpente ducuntur ad ruinam. Adam c*m stupro Serpentis tradidit Deum. Serpens est qui regat virtutis fructum scientiae. Noli recusare. Mutationem non arbitror. Miseri homines submersi sunt ob tenebrarum proditionem. Angelus, qui portabat serpentem in alis suis, omnem tristitiam amisit… ”Perde proditorem... Perde proditorem... Perde proditorem...!!!” ”HYAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKHHHHHH!!!!!!!!!!!!!” pekik Diakon Avi. Merasa seperti sesuatu tengah berusaha masuk ke dalam diri. Mengambil alih kendali. Tak mampu ia kuasai. Saat itu ia menyaksikan dengan dua mata kepala sendiri. Bagaimana wajah sosok pria yang begitu ia kagumi. Begitu ia hormati. Berubah jadi tampak seperti… Apakah sesuatu yang mampu ia hadapi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD