15: Datang

1358 Words
”HAAHK!!!” pemuda itu tersentak bangkit dari ketidaksadaran. Hoossh hoossh hoossh. Nafasnya sesak tidak karuan. Sesuatu seperti tengah menghambat jalan udara di tenggorokan. Ia buka kedua mata di kepala yang menempel pada senderan. Tatapannya seperti tengah menghadapi sesuatu yang sangat mengerikan. Ia tak bisa menutup mata. “Mas, apa kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki yang duduk di sisinya. Gio kembali berteriak, “HAAAAKKHH!!! PERGI! PERGI! PERGI! MENJAUH DARIKU!!!” pekiknya seperti orang sedang kesetanan. Pemuda berwajah lugu itu mengerutkan alis tidak mengerti. Mengamati orang lain di sekitar sana. Sekadar memastikan barangkali ia tidak bisa menyaksikan sesuatu yang tengah mereka semua saksikan. Namun, tidak ada satu pun penumpang lain yang memberi respon serupa. “Itu temannya kenapa, Mas?” tanya seorang ibu-ibu yang mengenakan hijab dan duduk tepat di depan mereka berdua. Pemuda itu langsung menggelengkan kepala seraya mengayun-ayunkan telapak tangan di depan wajah. ”Tidak, tidak, tidak, Bu. Saya sama sekali tidak kenal dia. Kami bukan teman.” Gio. Yang mulai menyadari keanehan baru saja (kembali) terjadi dalam hidupnya. Mendudukkan tubuh tak bertenaga seraya menutup kepala dengan kupluk. Ia harus bisa lebih baik lagi dalam menjaga sikap. Tak boleh membiarkan sisi khayalan juga kenyataan bergabung menembus segala batasan. Membuat kewarasannya sendiri jadi diragukan. ”Tolong maafkan saya, Mas,” pohon Gio pada pemuda biasa yang duduk di sampingnya. Pemuda itu tampak mulai ketakutan dan tidak nyaman dengannya. Sampai ia menjorokkan tubuh memepeti sisi kanan yang berbatasan dengan jalan. ”Saya baru saja mengalami mimpi buruk,” lanjutnya dengan raut tidak enak. Mungkin setelah ini ia akan mentraktir pemuda itu makan pagi di warung dekat terminal. Sebagai permohonan maaf. Untung pemuda asing itu tampak baik-baik saja. Ia kembali ke posisi duduk awal dan menatap Gio dengan raut prihatin. ”Saya juga minta maaf atas respon saya jika kurang menyenangkan, Mas. Masnya mau merantau, ya?” tanya pemuda itu. Kedua bola mata Gio terbelalak. Percakapan ini…? “Iya, Mas.” Ia membalas, “Kalau Masnya sendiri pasti orang asli sini yang habis merantau dari kota lain, ya.” Pemuda itu tampak terkejut. ”Wah, kok tau, sih? Masnya ini peramal apa bagaimana? Ha ha ha,” tawanya santai. Menghilangan sikap kagok juga kaku di antara mereka. Gio tersenyum tipis. Menjawab, “Bukan meramal. Saya hanya memperkirakan dari cara berpakaian juga barang bawaan Mas,” dustanya. ”Wah, luar biasa,” puji pemuda itu dengan tatapan berbinar. ”Kalau Mas memang sehebat itu… apa tau di mana saya akan turun setelah ini?” tanyanya menantang. Sejenak Gio berpura-pura berpikir. Lalu, menjawab, ”Di dekat terminal, tapi bukan di terminalnya.” Pemuda itu kembali tampak sangat kagum akan kemampuan ”deduktif” pemuda freak di sampingnya. ”Lagi-lagi Anda benar. Sebenarnya saya akan turun di perempatan dekat terminal. Tapi, karena sepertinya Mas orang baik. Jadi, saya ingin mengajak makan pagi dulu di warung langganan dekat sana. Mau tidak? Dijamin enak, deh,” tawarnya ramah. Gio tersenyum, lalu menganggukkan kepala pelan. Niat baiknya malah berakhir jadi niat makan tuan. * Sekitar empat puluh lima menit kemudian. Akhirnya kendaraan dengan dua pasang roda itu tiba di terminal tujuan. Terminal Jaysandaru. Pemuda asing yang duduk di samping Gio selama perjalanan memang seharusnya turun di perempatan sebelum sampai di sana. Tapi, karena sudah berjanji akan mentraktir teman barunya itu sarapan. Maka ia pun rela meluangkan waktu untuk turun di tempat yang sama dengan mayoritas penumpang lain yaitu di terminal Seluruh penumpang turun dari kendaraan dengan tidak saling memperdulikan. Melainkan fokus pada urusan masing-masing. Ada yang sibuk dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Ada yang sibuk dengan barang bawaan yang banyak. Ada juga yang sibuk mencari penjemput atau kendaraan yang bisa disewa untuk sampai ke tujuan akhir. Pemuda bernama Tarto itu sedikit terperangah melihat hanya satu tas ransel saja yang Gio bawa di punggungnya. Ia pun berkomentar, ”Kamu cuma bawa itu aja?” tanyanya. “Iya, Mas. Barang-barang yang lain akan dikirim dari rumah saya yang ada di kota sebelah,” jawab Gio. ”Wah, pengalaman rantau pertama nih, ya,” komentar Tarto seraya melangkah ke sebuah warung nasi yang berada tepat di sisi pintu masuk gerbang terminal tersebut. Gio mengikuti langkah pemuda yang ternyata beberapa tahun lebih tua darinya itu. ”Iya, Mas. Sebenarnya saya sudah ingin keluar dari rumah sejak jadi anak SMA. Tapi, saat itu belum diberi restu oleh orang tua,” ceritanya. ”Kelihatannya kamu cukup dimanja ya sama orang tua. Anak orang kaya, ya?” tanya Tarto seraya tersenyum jahil. Gio tersipu malu. Walau dalam hati sebenarnya ia sangat dongkol. Anak manja? Anak orang kaya? Orang ini cukup asal bicara juga, ya. Ah, apa akunya saja yang terlalu terbawa perasaan? Menyebalkan sekali. Aku tidak suka berbohong, tapi aku juga tidak ingin mengatakan pada orang yang baru kukenal kalau Gio Sr. itu memang kaya raya. Harus merespon apa, ya… “Dek Gio, ini warungnya,” tunjuk Tarto ke sebuah warung makan sederhana yang apa adanya. Bahkan tidak memiliki pencahayaan memadai alias cukup gelap di bagian dalam. Tapi, terlihat juga ada banyak orang, mayoritas laki-laki, yang tengah asyik menikmati sajian di sana. Para abang ojek online yang tengah berburu rupiah pun mengantri di meja kasir juga pemesanan. Masuklah mereka berdua. “Di sini tidak ada daftar menu yang di kertas begitu, ya. Kamu pesan saja apa yang kamu mau di lauk yang berjejer ini. Semuanya dijamin enak,” beritahu Tarto. Ia sendiri segera memesan sepiring nasi dengan sayur nangka, tempe dan tahu bacem, juga kerupuk. Gio pun memesan makanan sama dengan orang yang mentraktirnya. Akan terasa tidak sopan sekali jika sampai memesan menu lain. Ia khawatir harganya lebih mahal. * Usai makan pagi Tarto dan Gio berjalan keluar dari komplek terminal. Gio lebih banyak diam. Begitu juga dengan Tarto. Gio kagum mengamati suasana di sekitar sana. Memang bukan daerah super pinggiran yang dikelilingi keindahan alam super murni. Tapi, menyadari bahwa saat ini ia tengah berada di tempat baru yang belum pernah didatangi saja. Rasanya sudah memuaskan. Ia berharap keputusan yang ia ambil kali ini benar. Keputusan dari sebuah mimpi panjang. Suatu hal yang tak akan bisa ditarik lagi sekali melangkahkan kaki. ”Setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Tarto ramah. “Saya mau mencari mobil sewaan untuk mengantar ke daerah tujuan saja. Bagaimana dengan Masnya sendiri? Menunggu jemputan?” tanya Gio balik. Tarto menggelengkan kepala perlahan. ”Saya mau mampir ke rumah teman dulu di dekat sini. Ingin temu kangen. Setelah itu baru kembali ke rumah asli. Masih di sekitaran sini saja, kok.” Gio tidak menjawab. Hanya menganggukkan kepala. ”Tempat tinggal kamu nanti ada di kampung mana?” tanya Tarto. ”Nama daerahnya… Tangga Teparo, Mas Tarto,” jawab Gio. Ia balik tanya, “Kalau Mas sendiri rumahnya di daerah mana?” “Oh, kampung Tangga Teparo yang ke arah selatan dari terminal, ya. Kalau saya ke arah utara. Namanya kampung Pepadhane Pati. Tidak jauh sebenarnya dari Tangga Teparo. Hanya jalannya memang cukup berliku saja,” jawab Tarto. Tiba-tiba Gio melihat sebuah mobil sewaan berhenti tidak jauh dari tempat ia berdiri. Sepertinya baru saja kembali dari mengantar penumpang lain. Ia pun pamit pada kenalan yang membuka pengalaman ”baik” di tanah rantauan, ”Kalau begitu saya duluan ya, Mas Tarto. Kebetulan sedang ada mobil kosong.” “Oh, iya,” balas Tarto seraya mengangkat satu telapak tangan. Ia melanjutkan, ”Nanti kamu kalau ada waktu luang main saja ke kampung Pepadhane Pati. Di sana tanya di mana rumah keluarga Samsotho. Maklum namanya orang kampung semua pada saling kenal,” beritahunya ramah. Dari dalam mobil Gio membalas seraya balik tersenyum, “Tentu saja, Mas Tarto. Nanti kalau ada kesempatan saya pasti akan main ke rumah njenengan.” Tarto hanya balas dengan senyuman tipis. Gio naikkan kembali kaca mobil. Ia lihat si supir dan menyerahkan secarik kertas lusuh, “Ke alamat ini, Pak.” ”Baik, Mas,” sahut si supir. Bruuum. Tarto sendiri melihat mobil sewaan yang membawa Gio telah menjauh. Mengeluarkan gawai dari saku celana dan menghubungi seseorang. “Selamat siang, Mas Tono. Ada apa?” tanya orang di seberang sambungan. Sesekali melirik ke arah mobil sewaan berwarna deep green yang semakin tidak terlihat, Tarto menjawab, “Saya mau memberitahu saja kalau… hmm...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD