16: Bersitegang [B]

1202 Words
* Kembali ke ruangan di mana si pemuda nestapa tengah berada. Kini ”Si Jr.” sudah tidak berteriak tanpa henti seperti saat ia tinggal barusan. Tapi, itu tidak juga serta merta menjadi pertanda baik. Bisa jadi ia telah tidak sadarkan diri dalam artian pingsan. Namun, yang paling ekstrim seperti tidak sadarkan diri karena kena serangan jantung pun mungkin saja terjadi. Tidak ada yang tidak mungkin. Dan batasan dari kekuatan penglihatan manusia biasanya benar-benar menyebalkan di saat seperti ini. Cklek. Ia tekan kenop pintu perlahan. Tidak ingin tiba-tiba masuk dan membuat pemuda itu jadi terkejut. Kriieet. Ia dorong daun pintu perlahan. Akhirnya menyaksikan apa yang membuat Gio Jr. tidak lagi bersuara gaduh seperti barusan. Sosok mengerikan yang sudah ”menghantuinya” sejak ia bangun itu tidak lagi menempel di langit-langit. Melainkan mendekap tubuhnya langsung di atas tempat tidur. Menghalangi pergerakan pemuda itu yang sudah terbatas karena dikekang oleh rantai. Tap tap tap. Romo Bartolomeus melangkah perlahan mendekati Gio Jr. Kedua kelopak matanya terbuka dan kedua iris terangkat seolah tengah dikatrol agar melihat angkasa. Ia sentuh tubuh anak muda itu. Cukup dingin juga pucat, namun ia masih bernafas. Cairan merah kehidupan mengalir dan jantungnya masih berdetak walau lemah. Masih hidup sekalipun seperti tidak lagi. Glekh. * Drap drap drap!!! Romo Bartolomeus segera melangkahkan kaki dengan cepat. Untuk kembali ke ruangan tempat Gio Sr. tengah berada. Hal ini sudah sulit ditoleransi. Seluruh pembiaran. Sikap pengabaian. Semua yang pria itu, Gio Sr. lakukan pada putranya sendiri, sama sekali tidak akan berakhir baik. Sesuatu yang akan ia… ”Dikunci?” tanya Romo Bartolomeus saat menyadari ia tak bisa membuka ruangan tempat ”orang itu” berada. Dokdokdokdokdokdokdok!!! Ia ketuk berkali-kali dengan siku jari. Tak jua menuai respon pasti. DOR DOR DOR DOR DOR DOR DOR!!! Sampai berkali-kali ia gedor dengan kepalan tangan. “Gio, Gio, Gio, Mr Gio! Hoc facere non potes. Mox puer vitam amittere potuit. Aut etiam ipse in calamitatem tum calamitatem vertet. Visne id fieri? Gio, Gio, Gio!!! (Gio, Gio, Gio, Tuan Gio! Kamu tidak bisa terus melakukan hal ini. Anak itu bisa segera kehilangan nyawa. Atau bahkan malah dia yang akan berubah menjadi musib*h juga malapet*ka itu sendiri. Apa kamu menghendaki hal itu sampai terjadi? Gio, Gio, Gio!!!)” Siiing… Sama sekali tak terdengar respon dari bagian dalam. Padahal ada interkom di sisi pintu. Jadi, pria itu pasti mendengar seluruh keluh kesah yang terlontar dari mulut rentanya. Jauh lebih baik dari siapa pun di rumah itu. Lampu interkom tiba-tiba menyala. Wajah Romo Bartolomeus yang tadi sudah super putus asa kembali menatap penuh harap dengan mata berkaca-kaca. Dari bagian dalam kamar Gio Sr. menjawab, ”Si Si Junior vertit in aliquid simile sollicitus sis. Tunc ego ipse delebo puerum illum huius terrae faciem. Nihil solliciti est, Gili (Kalau Si Junior sampai berubah menjadi sesuatu seperti yang kamu khawatirkan. Maka akan aku sendirilah yang melenyapkan anak itu dari muka bumi ini. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, Gili).” Perasaan tenang serta sikap teduh yang selalu pria itu pegang teguh. Selama menjabat sebagai seorang romo. Kini semua runtuh seolah dibasuh peluh. Walau situasi juga hawa udara di dalam kediaman itu sanggup membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tidak begitu dengan dirinya. Ia seperti tengah merasakan hawa panas dari dasar neraka. “Eris ex mente tua, Gio. Omnia, quae pugnasti in hoc tempore, destruentur, si quid tale fiet. De hoc bene debes cogitare (Kamu pasti sudah tidak waras, Gio. Semua yang telah kamu perjuangkan selama ini akan hancur lebur jika sampai membiarkan hal seperti itu terjadi. Kamu harus memikirkannya dengan baik)!” pinta Romo Bartolomeus. Cklek. Jess. Kunci pintu elektronik ruangan terbuka. Pintu terdorong secara otomatis ke bagian dalam. Pertanda jika keberadaannya telah diterima oleh sang tuan rumah. Romo Bartolomeus melangkah masuk. Berpikir (berharap) Gio Sr. telah menyambut baik sudut pandang yang ia bawakan dengan penuh kedamaian. ”Nunc te ipsum scis? Vidisti oculis tuis, recte? Quam imbecillis et miserandus puer est. Quam inconveniens est duobus pedibus stare posse. Quomodo semper me indigebit ad perlustrandum et solvendum problemata, quae causat (Kini kamu tau sendiri, ’kan? Sudah melihat dengan sepasang mata kepalamu sendiri, ’kan? Betapa lemah dan menyedihkan anak itu. Betapa tidak bisa diandalkannya ia untuk sanggup berdiri dengan dua kaki sendiri. Bagaimana ia akan selalu membutuhkan aku untuk mengawasi juga menyelesaikan masalah yang ia timbulkan). ”Quid exspectas ab hoc mundo, si solvam illum? (Apa yang akan kamu harapkan dari dunia ini jika sampai aku lepas pengekangnya?)” tanya Gio Sr. menyambut kemunculan Romo Bartolomeus di ruangan itu. Mendengar pertanyaan tersebut malah membuat Romo Bartolomeus memikirkan lagi sesuatu yang di awal merupakan keyakinannya sendiri. Apakah keputusan yang diambil oleh pria itu memang benar? Tidak mengapa membiarkan Gio Jr. merasakan penderitaan sampai tidak tertahankan. Bahkan jika sampai membuat ia jadi malapetaka juga musibah itu sendiri. Semua akan baik-baik saja… Toh, yang dikorbankan hanya satu orang. Itu sangat ”worth” jika pembandingnya banyak ornag di luar sana. IYA, ’KAN? “Hoc modo… (Untuk kali ini saja…)” ucap Romo Bartolomeus lagi. Rupanya belum menyerah. ”Audite me. Liber Iunior. Valde doleo te valde dolere , si eum in eo statu detineas (Dengarkanlah aku. Bebaskan Si Junior. Aku punya firasat bahwa kau akan sangat menyesal jika tetap membuat ia berada dalam keadaan seperti itu),” pohonnya. Gio Sr. merespon dengan raut tidak peduli, “Si sentirem me valde dolerem si puerum dimisero (Kalau aku punya firasat bahwa akan sangat menyesal jika sampai membiarkan dia lepas).” Romo Bartolomeus menatap wajah pria di pembaringan tidak percaya. Gio Jr. itu adalah putramu sendiri, lho. “…” “Potestis intelligere me? (Bisakah kau memahami aku?)” tanya Gio Sr. tenang. * Katedral Santa Maria Pengayom Diangkat ke Surga. Diakon Avi mengerjapkan kedua mata. Berusaha mengumpulkan tenaga untuk menarik nyawa kembali ke dunia. “Diakon Avi, apa yang terjadi?” “Diakon Avi, ada apa dengan Anda?” “Diakon Avi, mengapa Anda seperti ini?” Hah. Akhirnya ia berhasil membuka mata. Reflek langsung ia dirikan tubuh mengamati sekeliling. Di mana terdapat para pengurus gereja katedral yang lain. Tengah mengerubungi dirinya seolah ia telah melayang ke surga. ”Akhirnya Anda sadar juga.” ”Apa Anda baik-baik saja?” ”Bagaimana keadaan Anda?” "Apa gerangan yang terjadi pada Anda?" ”Se, Sebentar,” pinta Diakon Avi. Isi kepalanya sendiri sedikit tercampur aduk. Mengakibatkan rasa pening yang cukup muluk. ”Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mengapa saya bisa berada di sini?” tanyanya dengan dahi mengkerut. Ditambah ingatan carut marut. ”Kami menemukan tubuh Anda tengah tidak sadarkan diri dalam Ruang Pengakuan. Apa yang telah terjadi pada Anda?” tanya seorang pastor diikuti anggukan setuju beberapa orang koster di belakangnya. Diakon Avi mencengkram dahi yang terasa berdenyut-denyut tidak karuan. ”Tidak mungkin… karena aku baru saja menemani Romo Bartolomeus di…” Semua orang di sana. Yang terdiri dari beberapa orang sesama diakon, pastor, koster, romo, juga biarawati menggelengkan kepala mereka. Menyangkal pernyataan yang baru saja meluncur keluar dari mulut pria itu. ”Tidak, Diakon Avi. Satu harian ini Anda sama sekali tidak meninggalkan katedral.” Dadanya saat itu bagai tengah ditekan oleh sebuah beban berat tidak terlihat. Tidak mampu diraba. Tidak bisa disentuh atau ditangkap oleh indera. Hanya sesuatu yang seperti keyakinan. Ada, namun disangka tidak pernah ada. Apa namanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD