”HAAKH!” pekik Gio kala ia dapatkan kembali kesadarannya. Tubuhnya saat itu tengah terbaring rapi di atas tempat tidur. Batang peluncuran roketnya berdiri tegak setegak tiang bendera saat upacara tujuh belasan atau upacara Senin pagi di setiap SD sampai SMA. Sekujur tubuhnya meremang hebat. Seolah tengah berada sendirian di tengah kuburan saat tengah malam.
Pasalnya ia ingat dengan baik bagaimana tubuhnya habis terjatuh. Bukan habis terbaring di atas ranjang. Ia bahkan masih bisa merasakan sensasi nyeri dari kulit yang menghantam lantai.
”Kenapa aku bisa ada di atas sini?” tanyanya pada diri sendiri. Kala menoleh ke arah pintu. Kayu pengunci yang baru saja ia pasang masih ada di tempatnya tidak bergeser sedikit pun.
Lalu, siapa? Bagaimana? Apa yang telah terjadi sebenarnya?
Pertanyaan terus timbul tenggelam dalam d**a. Akan tetapi tak bisa ia temukan jawabannya. Ketika ia hendak turun dari atas tempat tidur untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar. Tiba-tiba…
”HEKH!”
Gio merasa batang tenggorokannya tengah dicengkram kuat oleh sesuatu. Bagai sebuah perasaan yang membawa nostalgia. Entah pada apa.
”Eeeeeeeeekkhh… eeeeeeeeeeeeekkkhh… eeeeeeekkhh… eeeeeeekkhh… eeeeeeekkhh…” ia terus berusaha melepaskan diri dari cengkraman yang tak mampu ia saksikan wujudnya. Apakah itu merupakan kenyataan. Atau malah hanya bayangan. Ia tidak tau. Yang ia inginkan hanyalah agar bisa segera…
“Thooo… hhooong… thooo… hhooong… thooo… hhooong…” berkali-kali sudah ia berusaha meminta pertolongan seraya memandang ke arah pintu yang kadung telah ia kunci.
Bodoh! jika seperti itu maka tidak akan ada yang bisa masuk, umpatnya pada diri sendiri dalam hati. Menyesali keputusan yang baru ia ambil. Sikap yang sangat naif. Sok berpikir meski sendiri ia pasti bisa menghadapi segala masalah.
Kenyataannya Gio Jr. tidaklah setangguh itu! Belum keluar dari rumah saja ia seperti sudah tidak bisa...
Haruskah... aku menyerah...?
Ketika harapan telah terputus. Pemuda nestapa itu kembali menatap ke langit-langit kamar. Saat itulah ia melihat rupa dari pelaku yang tengah berusaha merenggut kehidupannya. Sesosok makhluk dengan tubuh tinggi besar. Badannya sangat ramping. Seperti gambaran slenderman yang banyak ia temukan di internet. Namun, wajahnya begitu... tidak jelas. Tidak berwujud. Dengan aroma anyir darah menyeruak kuat. Mengisi seluruh celah udara ruangan itu.
”HOOOEEKK!” Gio sampai memuntahkan nyaris seluruh isi lambung. Tak kuasa ia menahan aroma tidak enak yang begitu pekat mengisi udara. Alhasil muntahannya tumpah ruah mengotori sebagian besar wajah dan pakaian.
Menyedihkan.
Makhluk itu membuka mulut yang berisi deretan gigi tajam serta memutar membentuk spiral di hadapan wajah Gio, “HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAASSSHHH!!!”
Pemuda itu yang sekujur wajah juga tubuhnya telah pucat pasi lagi mati rasa. Tak kuasa melakukan perlawanan apa pun. Kecuali memejamkan mata. Dengan anggapan bahwa ini semua hanya mimpi pendek belaka. Dan ia akan terbangun saat semua sudah baik-baik saja.
Eeeeeekkkkhhh…!!!
Namun, sikap tanpa perlawanan sekalipun tak membuat semua jadi lebih baik. Semakin kencang ia remas bed cover. Terasa semakin keras pula cengkraman tangan makhluk misterius itu.
Apa yang sebenarnya telah ter… jadi?
*
Gio Sr. berjalan perlahan memasuki ruangan minim pencahayaan itu. Terdapat lorong yang cukup berliku untuk menuju ruangan yang ia tuju. Bahkan lorong itu tidak akan berlebihan jika disebut labirin.
Zreekk… zreekk… zreekk… Satu... dua... tiga, bukan hanya satu, dua, atau tiga, tapi sangat banyak dinding bergerak sendiri dengan ajaib bagai salah satu scene film petualangan Harry Potter usai ia lewati. Membuat jalan yang telah ia lalui jadi seratus persen berubah jika dibanding sebelumnya. Semua itu bertujuan untuk mencegah siapa pun selain ia. Mengetahui rahasia yang terdapat di balik dinding kegelapan.
Situasi di luar kediaman itu sama sekali belum membaik. Halaman dengan luas tanah hektaran seperti sedang diterjang oleh badai ”lokal”. Untung saja ia telah menyiapkan sebuah obice. Atau sekat yang akan menghalangi ”kesadaran” orang yang berada di luar pagar tembok kediaman tersebut.
Serbuan kegelapan yang tengah rumah keluarga Giorsal Dhika Sr. alami. Hanya akan menjadi masalah mereka sendiri. Dan akan pria itu selesaikan sendiri.
Akhirnya ia tiba di ruangan yang berukuran cukup luas. Terdapat sebuah altar di bagian tengah. Gio Sr. mengenakan jubah hitam besar yang terbuat dari kain satin. Ia angkat kedua tangan ke udara. Ia dangakkan kepala menatap sebuah artefak yang tergantung di langit-langit temaram.
”O CAELUM QUI VISUM EST SUPER. O TERRA HOMINES TRACTATUR ET HISTORIA POPULI PRIORIS CONTINET. SUM GIORSAL MAHA SAPUTRA ISWARI DHIKA PATER QUI SATIS DEDITIONEM FACIT. DEDICATIONES IN SALUTEM AB ILLUSTRIBUS TESTIUM MULIERUM. POTESTAS, QUAE INTENDIT DESTRUCTIONE...!!!”
Belum usai merampungkan “mantra” yang "terdengar" datang dari belahan dunia lain itu. Deru angin kencang yang entah berasal dari mana di dalam ruangan tanpa lubang ventilasi. Huuush huush huuush. Berhembus dari segala arah dan mulai saling bertabrakan. Membuat pria itu sulit mempertahankan kedudukan. Membentuk huruf x di depan kepala. Ia berusaha tetap teguh berdiri sekalipun tidak tegak.
WUUSSHH WUUSSHHH WUSSHH WUUUSSSHHH!!!
Angin yang awalnya berhembus cukup tenang serta senyap. Kini mulai memunculkan suara kegaduhan yang sulit dinalar logika. Di dalam ruangan yang tidak begitu banyak terdapat barang. Seolah angin yang ”berseliweran” merupakan hunusan pedang. Membuatnya terus bersitegang. Beradu padu tanpa dipandu dengan deretan dinding batu. Dengan lantai yang hanya terlapisi oleh semen berwarna kelabu.
Drrtt… drrtt… drrtt…
Sol sepatu pria tersebut pun harus berusaha keras untuk tetap mempertahankan posisi di mana ia berdiri. Salah langkah sedikit saja terasa mampu buat sekujur tubuhnya terpental membentur dinding. Menghancurkan tulang. Bahkan mencerai beraikan beberapa bagian tubuh dan organ dalam.
Hmm, cukup ekstrim, bukan?
Aku harus bisa. Aku harus memiliki kekuatan untuk mempertahankan keuntuhan seluruh kediaman. Keluarga Giorsal Dhika Senior, batinnya penuh harap. Meski akal sehat malah mengatakan yang sebaliknya. Sebuah ”wadah” yang telah dijaga dengan ketat dalam waktu yang lama. Tiba-tiba tersusupi oleh hal asing yang membombardir tanpa ampun.
Apakah Giorsal Dhika Sr. telah menyiapkan rencana untuk menghadapi semua kemungkinan itu? Atau malah ia terlalu lama berada dalam zona nyaman. Hingga lalai akan “noda” yang tersisa sepanjang perjalanan hidupnya telah berjalan.
Jejak nasib suram yang tidak pernah memiliki kaki untuk melangkah. Namun, begitu saja sampai di suatu tujuan yang tak berarah.
”Mengapa… Mengapa… Mengapa setelah sekian lama… semua ini harus KEMBALI terjadi?!!” tanya pria itu lirih. Situasi di luar rumah pasti masih sangat kacau balau. Kalau di ”sana” saja masih begitu tak bisa dikontrol.
Bagaimanapun juga tidak boleh sampai terjadi!