23: Efek Kupu-kupu [C]

1011 Words
”Apakah Papa benar… saat dia bilang bahwa aku tidak akan pernah bisa berdiri dengan dua kaki sendiri?” tanyanya dengan tekuk wajah kecewa. Sembari menatap telapak tangan yang kata orang menggambarkan seluruh nasibnya. Ia dirikan tubuh. Ia tolehkan wajah ke kiri dan kanan. Ke atas dan bawah. Ke sepenjuru sudut sudah seperti orang sedang merencanakan aksi pencurian. Tapi, tentu bukan itu yang jadi alasan. Gio hanya ingin memastikan bahwa semua benar-benar berjalan dengan baik di kediaman keluarga Susi. Bahwa berbagai macam hal aneh yang ia alami di kampung Tangga Teparo tak terbawa sampai ke sini. Bahwa semua tetap baik-baik saja. Bukti bahwa memang perkampungan itu dan orang-orang di dalamnya lah yang bermasalah. Bukan dirinya. Bukan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. Siiiiing… Sama sekali tak ada suara yang terdengar di sekitar lokasi Gio berada. Tidak ada sepasang suami istri ribut yang sampai mengganggu tetangganya sepanjang malam. Tidak ada orang-orang aneh yang memakan jeroan mentah masih berlumur cairah merah kehidupan. Tidak ada sekumpulan orang yang memperhatikannya dengan tatapan aneh penuh rasa curiga. Ia tengok ke luar jendela. Langit cukup terang karena hari memang masih sore. Tidak tiba-tiba berubah jadi malam. Tidak ada orang yang melakukan hal mengerikan. Semua benar-benar normal di kediaman keluarga Susi. Membuat Gio merasa akhirnya bisa kembali ke masa lalu. Di mana semua masih baik-baik saja. Merasa bahwa mempertimbangkan untuk menghubungi Gio Sr. Agar bisa kembali ke rumahnya saja sudah cukup melukai harga diri. Kini ganti ia lihat lihat kontak atas nama sang bunda, Aniyah. Senyum cantik wanita itu yang sekarang pasti sudah bahagia bersama dengan keluarga barunya di Italia. Gio tidak ingin merusak kebahagiaan yang akhirnya wanita itu dapatkan. Dengan kabar tentang segala macam hal buruk yang tengah ia alami. Gio hanya menghendaki semua berjalan dengan baik-baik saja setelah ini. Keputusan apa pun yang akan ia ambil nanti. Bruukh. Ia rebahkan tubuh di atas karpet bulu lembut yang empuk. Ia tatap ke langit-langit kamar Susi yang cukup tinggi. Sedikit banyak beberapa ingatan mengerikan tentang yang terjadi hari itu memang kadang terulang kembali. Tapi, untuk saat ini Gio tak ingin mempermasalahkannya lagi. Ia berharap masih bisa percaya jika semua benar-benar akan berakhir. Ia tak perlu mengatakan masalahnya pada siapa pun. Terlebih orang baik seperti Susi yang bersedia memberi ia space untuk menenangkan diri. “Semua akan baik-baik saja, Giorsal Dhika Junior. Kamu tidak lagi perlu berpikir bahwa semua yang kamu alami tidak normal. Tidak biasa. Anggap saja semua orang di dunia juga mengalami hal serupa. Hanya saja… sebagai makhluk sosial kita memang harus lebih banyak diam. “Tidak semua masalah harus diutarakan. Kadang kita punya pilihan untuk membiarkannya dan menguap begitu saja bersama ingatan. “Selamat malam, Giorsal.” Gio pun memejamkan kedua mata. Dengan tubuh tergeletak tanpa daya di atas karpet. Berharap perubahan terjadi kala sedang seperti itu. * Sekitar satu setengah jam kemudian. Susi yang habis dari minimarket (ditambah rumah teman dan tempat tongkrongan karena tidak sengaja bertemu teman lama saat sedang mengantri jajanan) sampai di rumah. Rumah masih sepi. Garasi mobil orang tuanya pun masih kosong. Langit di luar jendela mulai tampak gelap. Ia penasaran apa yang Gio lakukan di dalam kamar. ”Sapu yang aku taruh di depan pintu belum berubah sama sekali posisinya. Karena sepatunya masih ada di depan pintu. Berarti dia nggak keluar sama sekali, ya,” pikir Susi sesampai di depan kamar. Cklek. Ia pun masuk. Benar saja. Karena tidak terdengar suara apa pun dari luar. Sudah ia kira Gio pasti sedag tidur. Menemukan teman kuliahnya sedang tidak sadarkan diri dalam posisi yang benar-benar defenseless (tanpa perlawanan). ”Begitu menggugah hati…” ucap Susi sambal mengoleskan ujung ibu jari di bibir dengan wajah terangsang, ”…seperti minta dikerjai…” Ia pun mengambil gincu, bedak tabur, mascara, eyeshadow, dan beragam peralatan make up lain yang tidak ia ketahui apa namanya dari kamar dandan Sang Ibu. Kembali ke kamarnya sendiri. Melihat wajah Gio yang cukup bersih tanpa jerawat atau noda mengganggu. Bagai tengah berhadapan dengan sebuah kanvas kosong. Sreet sreet sreet. “Nah, kalau begini aku jadi merasa beauty vlogger kelas atas. Wk wk wk,” komentar Susi puas. Saat sedang memoleskan suatu cairan kental berwarna cokelat muda. Entah itu apa. Ke wajah teman baiknya. Beberapa saat kemudian… ”Eh? Orang ini masih hidup tidak, sih? Kok aku toel-toel dari tadi tidak berkutik sama sekali,” tanya Susi seraya mendekatkan telinga ke d**a Gio. Untuk memastikan jantungnya masih berdetak saja. Hmm hmm hmm. ”Kau sedang apa, anjing?” tanya Gio tiba-tiba terbangun. Melihat Susi yang kepalanya menempel di dadanya dengan tatapan super… jijay. Susi kembali menegakkan tubuh. Bukannya sukses mengerjai malah ia sendiri jadi canggung. ”Aku kira kamu sudah mati. Habis disentuh sejak tadi diam saja.” Gio semakin panik. Ia tutupi bagian tubuh intimnya dengan kedua tangan. “Disentuh? Bagian mana dari tubuhku yang habis seenaknya kamu sentuh-sentuh, Sus? Kamu ini masih normal, ‘kan? Walau jomblo sepanjang masa aku masih suka wanita, lho,” tanyanya takut. Khawatir. Cemas. Semua bercampur jadi satu memikirkan masa depan keperawanan. Uhuk. Maksudnya keperjakaan. “Ditantang” seperti itu. Susi yang aslinya hanya menyentuh-nyentuh wajah Gio jadi tertantang untuk lebih. Ia pun berdiri dan menubruk pemuda di depannya. Ia kelitiki habis-habisan seluruh bagian tubuh Gio yang bisa terjamah. Kebetulan walau sedikit lebih tinggi. Gio itu lebih kurus timbang dirinya. Karena sangat kutu buku dan terlalu rajin belajar (agar bisa selalu mengerjakan tugas orang lain). Ia juga pasti tidak pernah olahraga. Membuat cengkraman tangan saja kekuatannya nyaris tidak terasa. “HA HA HA!!!” “GWA KHA HAHAHA!!!” “HWAHAHAHA!!!” Cklek. Tanpa mengetuk tiba-tiba pintu terbuka dari luar. Muncul satu orang pria paruh baya berpenampilan khas seorang eksekutif perusahaan multinasional dengan stelan berwarna biru gelap. Menatap kedua bujang yang sedang asyik ”bergelut” di lantai dengan tatapan aneh. ”Kamu ini lagi ngapain, Susilo?” tanya pria itu terperangah tak percaya, “Siapa dia? Jangan-jangan kamu sudah… Ya Lord... saat kami berdua sibuk bekerja siang malam mencari nafkah untuk masa depanmu… kamu malah…” Susi langsung tampak canggung. Eh, situasi macam apa sih ini? Memang hidupku drama komedi romantis remaja apa? Tidaaakkk!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD