"Iyaaaaaannnnn!!" Alina tanpa aba-aba langsung memasuki kamar Iyan dengan membuka pintu begitu saja memanggil adiknya.
"Apaansih?"
Alina terkejut saat malam ini mendapati Iyan duduk di atas karpet kamarnya bersandar ke ranjang sambil membaca buku pelajaran dengan sebuah pena di tangannya, "eh ngapain??"
"Nyedot wc! Emang ga lihat lo kalau gua lagi belajar?" Iyan memutar bola matanya malas sambil melihat Alina yang ikut duduk di dekatnya.
"Tumben? Jarang banget nih Iyan belajar, ada ujian?"
"Mesti ada ujian dulu gua baru boleh belajar?"
Alina makin takjub menatap Iyan, "Iyan seperti terlahir kembali."
"Lebay banget lo, lo tahu sendiri gua udah bikin kesepakatan sama papa. Kalau gua ga bisa buktiin kalau gua ga bodoh, gua ga tahu bakalan gimana lagi, gua bisa di depak dari rumah."
"Pasti bisa kok, aku yakin bahkan kalau kamu serius sedikit saja, kamu jauh lebih baik dariku. Ingat ga dulu kamu waktu SD rangking satu?"
"Ih apaan, udah lama banget, gua cuma juara waktu kelas satu SD, kerjaannya main doang."
Alina tertawa, "seenggaknya kan pernah pinter. Yaudah kalau gitu kamu lanjut belajar deh, takut gangguin."
"Dah lah, liat lo gua udah ga mood lagi belajar."
"Lah kok gitu?"
"Jadi mau ngapain lo kesini?" tanya Iyan meletakkan bukunya dan meraih minuman soda dingin yang sudah ada di meja dekatnya.
Gadis itu memajukan kedua bibirnya sambil nampak berpikir, "nggak ada apa-apa, cuma mau main kesini aja kok."
"Bohong banget, lo kan kesini pasti ada aja mau atau nyusahinnya."
"Ih sembarangan!"
"Yaudah ngomong aja, rimet amat heran."
"Yan, kamu tahu ga kalau Sakya udah punya pacar?"
Iyan langsung mendecak malas, "Sakya lagi Sakya lagi, heran gua sama lo sekarang otaknya Bang Sakya mulu."
"Ih Iyaaan, kenapa sewot sih? Lah emang tadi siapa yang nanya?"
"Ya karena muka lo kelihatan banget lagi pengen curhatnya, mau ngasih masalah ke gua."
Alina merubah posisinya menjadi duduk bersila menatap Iyan, "kemarin aku lihat dia bareng cewek yang katanya sih anak populer dam hits dari sekolah lain. Kabarnya mereka pacaran."
"Lah kenapa ga tanya langsung sama Bang Sakya? Tapi waktu itu lo bilang ke gua udah deket sama Bang Sakya, napa lo malah tanya gua?"
"Ya karena aku udah sedih duluan, kesel sama dia. Mana terakhir aku bicara sama dia, aku marahin dia. Aku kan jadi bingung mau gimana."
"Kenapa lo marah sama Bang Sakya? Berantem?"
"Gara-gara kamu!"
"Lah kok gua?"
"Waktu kamu kabur beberapa hari dari rumah, aku jadi kepikiran dan ga sengaja malah lampiasin emosi ke Sakya. Aku belum minta maaf, tapi dia udah duluan sama cewek lain." jelas Alina dengan wajah sedih.
Iyan menggaruk belakang kepalanya bingung, "apa iya Bang Sakya punya cewek ya?"
"Waktu itu aku lihat langsung. Ceweknya nyampirin Sakya ke sekolahan terus mereka pulang bareng. Sejak itu aku ga ada kontakan lagi sama Sakya." Alina curhat karena rasanya sudah lama tak berhubungan dengan Sakya. Di sekolah mereka jarang bertemu, biasanya dirinya yang menghampiri, tapi kini rasanya sangat canggung.
"Ga kontakan lagi karena lo yang ngejauhin diri?"
"Maksudnya?"
Iyan mengangkat alisnya, "ya kan biasanya lo yang agresif banget mepet Bang Sakya. Kalau lo nya ga gerak, ya gini jadinya."
"Ya tapi kan aku kesel juga, kok waktu bareng aku dia baik banget, eh tapi jadiannya sama yang lain?"
Ucapan Alina membuat Iyan tertawa, "udah gua bilang kan kalau Bang Sakya itu mudah deket dan baik sama orang-orang? Lo nya aja mungkin kelewat baper."
"Iyan kok gitu sih ngomongnya?"
"Lah gua bicara fakta. Lagian lo ada hak apa? Orang udah nikah aja bisa selingkuh dan pisah, nah elo yang entah siapanya Bang Sakya mau ngapain? Tahu sendiri kalau Bang Sakya banyak yang suka kan?"
Ucapan Iyan yang memang benar membuat Alina tertunduk lesu, "nyebelin banget sih Sakya!"
"Kok sebel? Gegara dia ga suka sama lo? Sabar, ada banyak cewek yang udah ngerasain kayak lo sebelumnya, elo sih mendingan bisa lumayan akrab sama Sakya."
"Dari pada jauh dan ga bisa miliki, lebih sakitan deket tapi ga bisa memiliki loh Iyan. Bayangin saat kamu laper banget, di depan kamu udah ada makanan kesukaan kamu, tapi kamu ga bisa memakannya."
"Astaga sedih banget perumpamaannya, kalau gue sih mutusin pergi terus nyari makanan lain biar ga mati kelaparan." Iyan tertawa sambil iseng memainkan rambut Alina yang tergerai.
"Ih Iyan awas!" kesal Alina menjauhkan tangan Iyan dari kepalanya dan itu menjadi awal keributan mereka.
"Wait wait! Handphone lo dering tuh sejak tadi." Iyan menghentikan Alina yang akan menjambaknya dengan menunjuk ponsel Alina yang terus bergetar tanda ada pesan masuk.
"Eh iya, untuk sekarang kamu selamat!" Alina melepaskan tangannya dari rambut Iyan dan bergerak mengambil ponselnya yang ada di atas ranjang Iyan.
Saat melihat pesan itu mata Alina langsung membesar dan mulut menganga yang membuat Iyan juga penasaran.
"Kenapa sih Lin? Chat dari siapa?"
"Sakya!"
"Oh ya? Apaan tuh? Lihat dong!" entah kenapa Iyan ikutan kepo dan dengan cepat duduk ke samping Alina.
"Ya ampun jijique banget nama kontak Bang Sakya, anak alay lo!" ledek Iyan melihat nama kontak Sakya untuk pertama kalinya di ponsel Alina.
"Biariin!"
.
.
Dari: Sakya Ganteng!
Lin?
Kamu di rumah?
Alinaaa??
Kamu sibuk ya?
Yaudah deh
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Kenapa?
.
Dari: Sakya Ganteng!
Kamu lagi sibuk?
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Eum., sepertinya enggak
Kenapa?
.
Dari: Sakya Ganteng!
Aku ada deket rumah kamu
Niatnya tadi mau mampir
Tapi kamu baru bales
.
Kepada: Sakya Ganteng!
Eh serius?
Ngapain?
.
Dari: Sakya Ganteng!
Mendadak ada yang mesen kue dari daerah situ
Apa aku bisa mampir sebentar?
Tapi udah malam sih.
.
.
Alina langsung menatap Iyan, "eh gimana nih Yan?"
"Bukannyo lo lagi kangen? Ya gas lah! Apaan lagi?"
"Ga mungkin kan bawa Sakya masuk? Mama papa bisa marah, kalau aku keluarpun juga ga bakal diijinin."
"Daripada nanti Bang Sakya ketemu papa mama, mendingan lo yang keluar sana."
"Tapi gimana caranya? Sekarang yang jagain gerbang depan ada dua orang, mas yang baru itu setia banget sama papa, ga bisa diajak kompromi."
Iyan tersenyum sambil melipat tangan di d**a, "ini saatnya lo buktiin ke gua ilmu manjat pagar yang gua ajarin waktu itu ke lo?"
Ekspresi wajah Alina langsung berubah kaku, "manjat pagar malam-malam? Takut ah,"
"Ih cemen banget lo, sebagai guru gua jadi sedih dan merasa gagal. Yaudah suruh Bang Sakya balik aja."
"Eh tapiiiiii...." Alina juga tak ingin kalau membiarkan Sakya pergi, ini seperti menolak golden ticket yang berharga.
"Pilihannya cuma suruh Bang Sakya balik, bawa kerumah tapi urusannya bakal ribet sama papa mama, atau lo panjat pagar buat ketemu Bang Sakya." Iyan memberikan opsi yang bisa Alina pilih.
"Yaudah, tapi kamu tolong jagain ya, aku takut sendirian."
"Okey!"
**
Sakya duduk di motornya sambil memperhatikan balasan pesan dari Alina yang menurutnya aneh. Gadis itu menyuruhnya untuk menunggu di belakang rumah.
"Eh ini gimana turunnya? Tinggi Yan!" terdengar suara berbisik-bisik mengagetkan Sakya.
Pria itu melihat ke sekitar bingung hingga akhirnya ia tersadar itu berasal dari arah atas pagar belakang rumah Alina. Gadis itu terlihat kebingungan untuk turun.
"Lompat aja cepetan!" terdengar suara susulan bisikan samar-samar dari arah balik pagar tembok yang lumayan tinggi itu.
"Eh Alina, kamu ngapain?" Sakya langsung berdiri dan mendekat ke arah Alina.
"Ssstttt!" Alina menginstruksikan untuk mengecilkan suara.
"Lompat aja, aku yang jagain kalau jatuh." Sakya bersiap untuk membantu Alina dengan berdiri tepat dibawah Alina.
Alina mengangguk dan sambil menarik napas dalam akhirnya melompat dan syukurnya tidak jatuh karena ada Sakya yang dengan sigap memeganginya. Ia langsung tersenyum lega, begitupun dengan Sakya.
"Udah Yan, makasih ya." ujar Alina memberi tahu Iyan yang entah terdengar oleh adiknya itu entah tidak.
"Iya, nanti lo naik disini lagi. Tangganya gua tinggal." balas Iyan.
"Okey."
Sakya menyimak percakapan itu bingung, "kenapa lewat pagar belakang?"
Alina tersenyum, "ga papa kok, kita boleh ngobrolnya agak jauhan dari sini gak? Banyak nyamuk."
Sakya mengangguk walau bingung, "okey, ayo ke motor."
Sakya dan Alina akhirnya pergi dan memutuskan untuk duduk di depan sebuah minimarket yang tersedia banyak bangku untuk duduk setelah membeli minuman.
"Jadi kenapa kamu inget untuk mampir?" Alina mulai bicara.
Sakya angkat bahu, "karena itu dekat rumahmu dan bukankah belakangan ini kita jarang bertemu?"
"Kamu sibuk banget ya."
Sakya mengerutkan dahinya melihat Alina, gadis itu terlihat tidak senang, "maksudnya?"
Alina tidak menjawab dan masih melihat ke arah lain tak bergeming.
Karena bingung dengan sikap Alina, Sakya menggaruk belakang kepalanya, "apa kamu masih marah padaku?"
"Itu bukan salahmu, aku yang harusnya minta maaf."
"Tapi kamu tidak minta maaf dan terlihat semakin kesal padaku."
"Aku sudah akan minta maaf waktu itu, tapi kamu lagi sibuk sama cewek lain."
"Hah? Maksudnya?"
Alina tidak merasa jantungnya berdetak tak karuan membicarakan ini langsung dengan Sakya, "kamu kenapa pacaran sama cewek lain!?"
"Kamu ngomong apasih Lin?"
"Aku lihat kok waktu cewek dari sekolah lain itu nyamperin kamu di parkiran dan akhirnya kalian pulang bareng. Kata temen kamu cewek itu lagi nembak kamu. Aku sedih banget."
Mendengar cerita Alina membuat Sakya menganga hingga akhirnya terbahak, "emang bener sih, tapi aku ga terima dia kok."
"Tapi habis itu kalian pulang bareng sambil senyum-senyum!" Alina tak terima.
"Lah terus itu artinya kami jadian? Kita sendiri gimana? Sering ngobrol, sering ketemu dan juga beberapa kali jalan bareng, apa itu artinya kita juga pacaran? Enggak kan?"
Untuk sekarang Alina bingung ia mesti senang atau sedih atas kenyataan yang Sakya sampaikan.
"Aku tidak begitu mengenalnya, bagaimana bisa aku pacaran dengannya? Aku nganter dia pulang karena dia bilang ga tahu mau pulang pakai apa, teman yang nganter dia udah balik duluan."
"Ih modus banget!"
"Jadi kamu marah karena itu? Aku minta maaf deh, sekalian sama ucapanku yang bikin kamu marah dan kesal waktu itu." dengan hati lapang Sakya memberikan tangannya terlebih dahulu minta maaf.
Alina menerima permintaan maaf Sakya sambil tersenyum kecil, "tentang yang lalu, aku harusnya yang minta maaf. Aku lagi sensitif banget dan malah lampiasinnya ke kamu."
"Iya ga papa, aku sebenarnya udah mau ngomong sama kamu sebelumnya, tapi aku takut ganggu kamu yang lagi sibuk urus pendaftaran kuliah. Aku dengar dari Iyan kamu dapat ijin daftar kuliah sesuai keinginanmu."
Alina mengiyakan dengan anggukan senang, "semuanya karena Iyan."
"Iya, Iyan udah cerita. Senang dengernya. Semoga nanti diterima dan kamu bisa jalani dengan senang."
"Sakya?" Alina memanggil lagi saat mereka beberapa saat saling diam.
"Ya??"
Alina menggerak-gerakkan kakinya karena gugup ingin bertanya, "banyak ya cewek yang usaha deketin kamu kayak aku?"
"Kok mendadak nanyain itu?" tanya Sakya terkejut dengan pertanyaan Alina.
"Bener ya?"
"Memangnya kenapa?"
Gadis itu menunduk sambil tangannya saling bertautan satu sama lain, "aku baru sadar kalau ada banyak orang sepertiku, bahkan jauh sebelum aku suka sama kamu. Bodoh banget sempat mikir kalau cuma aku yang suka dan deket sama kamu."
"Hei, pembicaraan ini membuatku tidak nyaman." Sakya terkekeh namun tampaknya itu tidak berpengaruh pada ekspresi Alina yang datar cenderung murung.
Melihat itu Sakya menghela napas panjang, "bukankah kita teman sekarang?"
"Iya." jawab Alina pendek dan lesu.
"Aku ga tahu siapa saja yang menyukaiku dan aku ga bisa atur itu. Tapi aku tahu dan bisa atur dengan siapa aku mau dekat dan merasa nyaman."
Alina mengangguk saja tanpa suara dan perubahan ekspresi yang berarti.
"Bukankah sekarang kita dekat? Apa kamu tidak senang dengan itu?"
"Iyan bilang kamu orangnya ramah dan bisa dekat sama siapapun, bahkan cewek membosankan sepertikupun."
Sakya tertawa mendengar jawaban Alina yang terus cemberut, "kamu ga ingat ucapan kamu waktu itu?"
"Apa?"
"Aku ga boleh pacaran dan kalaupun pacaran, pacarnya itu adalah kamu."
Alina terdiam memperhatikan Sakya, "itu hanya ucapan asal."
"Aku udah coba memikirkannya dan aku merasa itu sulit sekali." Sakya merubah posisinya untuk bersandar pada bahu kursi sepenuhnya sambil menatap jauh ke depan.
"Maksudnya??"
"Aku ini orang biasa, sedangkan kamu? Kamu seperti memiliki segalanya bahkan dari keluarga elit, sangat tidak pantas rasanya denganku."
"Sakya! Apa artinya kamu menyukaiku sekarang?" tanya Alina antusias.
Sakya menggeleng sambil tertawa, "siapa bilang? Aku hanya coba memikirkannya. Sekedar memikirkannya saja terasa berat, apalagi sungguhan ya? Bahkan untuk bertemu denganku kamu mesti panjat pagar."
Walaupun seperti candaan tapi kalimat Sakya berhasil membuat Alina merasa diserang dan tak bisa berbuat apa-apa. Ia memperhatikan wajah Sakya yang kini meminum minumannya dengan santai.
"Aku benar-benar jatuh cinta sama Sakya.., aku harus dengannya."