Sebelas

1591 Words
Setelah selesai makan malam dan bantu merapikannya, Alina hendak bergerak menuju kamarnya lagi bersama dengan Iyan. "Alina, tunggu sebentar." mama mereka memanggil lagi saat mereka melewati ruang tengah. Alina dan Iyan otomatis berhenti dan mendekat, Iyan walaupun tidak dipanggil tapi juga ikutan menyimak karena penasaran. "Kenapa ma?" tanya Alina. "Udah kamu siapin berkas-berkasnya?" Alina terdiam menyadari kemana arah pembicaraan sang mama, apalagi kalau bukan masalah kuliah? "Udah? Semakin cepat semakin baik. Kita tidak perlu ribet nantinya." Iyan yang menyadari konteks pembicaraan ini melihat Alina khawatir karena terakhir kali Alina masih bicara kalau ia tidak mau tapi masih belum memiliki cara untuk menyampaikannya. Alina terlihat menarik napas dalam dan tangannya meremas sudut bajunya, jantungnya berdebar tak karuan. Ia sudah memikirkannya lagi beberapa hari ini, terlebih setelah ia bicara dengan Sakya waktu itu, semakin memikirkannya semakin ia merasa ketidak inginannya mengikuti permintaan orang tuanya. "Alina udah mutusin untuk nggak ke luar negeri ma." akhirnya Alina bersuara setelah menemukan sedikit keberanian. Mamanya tampak terkejut, "apa!? Mama udah minta kamu pikirkan ini bukan?" "Iya, aku udah memikirkannya dan ini hasil pemikiranku ma. Aku ga mau." "Alina!!" "Aku mau tetap disini dan kuliah jurusan hukum ma." entah darimana ia mendapatkan keberanian untuk menyampaikan keinginannya, padahal sebelum ini ia belum berani menyampaikan secara langsung ia ingin kuliah apa. Mata mama Alina melebar, "kamu bicara apa hah!? Lalu untuk apa semua prestasi kamu sebelumnya? Itu tidak akan berguna banyak demi perusahaan kita nanti! Kamu ini bagaimana sih!? Kamu tidak pikirkan itu?" "Aku ga mau urus perusahaan ma." "Apa kamu bilang!? Ada apa denganmu? Sadarlah!!" "Aku udah capek dari awal terus diatur ini itu ma, aku mau jalani hidup aku yang sebenarnya, sesuai keinginanku." "Tahu apa kamu tentang kehidupan yang sebenarnya? Kamu sudah menjalankan semuanya dari awal dengan baik, tapi kenapa sekarang mendadak kamu mengacaukannya?" kesal mama Alina sudah geram melihat sikap sulungnya itu sekarang yang biasanya selalu menurut apapun kata orang tua. "Aku hanya bicara tentang keinginanku, apa itu salah? Aku hanya tak ingin menyesal nantinya." "Dengan begini kamu sudah pasti menyesal nantinya! Mama nggak mau tahu, kamu harus tetap kuliah ke luar negeri, mama yang akan urus. Apa kata orang nanti saat tahu kamu kuliah biasa saja?" "Mama ga mikirin kebaikan aku kan? Mama cuma mikirin gengsi di depan rekan bisnis dan teman-teman mama. Aku udah bilang kalau aku gak mau, Ma!" Alina menegaskan lagi dengan suara bergetar. "Apa kamu bilang? Sejak kapan kapan kamu bisa bicara kurang ajar begitu hah!?" mama Alina tampak sangat marah. "Ada apa ini?" tiba-tiba suara lain datang menginterupsi keributan. Papa dari Alina dan Iyan datang dengan wajah tegang mendengar pertengkaran dari ruang kerjanya. "Lihat, semua anakmu sudah bisa melawan sekarang." mama Alina memberi tahu sambil mendecak membuang pandangannya masih emosi. Papa Alina mengerutkan dahinya melihat kedua anaknya itu bergantian coba menebak apa masalahnya, "apa ini? Alina tengah membela Giandra yang kembali membuat ulah?" "Alina tidak ingin lanjut kuliah ke Amerika dan sudah bisa melawan ucapan orang tua." sang mama memberi tahu. Pria yang berumur lima puluh tahunan itu kaget dan menatap sulungnya itu tak percaya, "benar itu Alina?" Alina tertunduk takut namun coba untuk tetap menguatkan diri, ia harus tetap mempertahankan keinginannya. Namun apa daya, ia mungkin bisa berusa bicara pada mamanya, tapi saat berhadapan dengan sang papa, keberaniannya lari entah kemana. "Alina!?" "Kalau Alina ga mau kenapa harus dipaksa sih? Toh dia yang bakal jalani nanti, kita harusnya bisa hargai kemauan dia." Iyan yang sedari tadi diam memutuskan bersuara karena menyadari Alina pasti sedang kesulitan sekarang. "Papa bertanya pada Alina, kamu tidak perlu ikut campur." "Aku hanya coba membantu karena Alina pasti merasa tertekan dan disudutkan sekarang." "Kamu bicara apa? Menghargai? Kamu memiliki kosakata itu ternyata, kenapa kamu tidak pernah mempraktekkannya pada orang tua dan kakakmu?" Iyan mengepalkan tangannya kesal, setiap kali ia bicara dengan papanya pasti selalu berujung pada keributan, "karena kalian juga tidak memperlihatkannya sehingga aku tidak bisa belajar apa itu menghargai. Kenapa kalian selalu memaksakan kehendak dan tak mendengarkan apa yang sebenarnya kami mau? Apa orang tua yang baik adalah orang tua yang memaksakan kehendak dan selaku berpikir mereka yang terbaik? Egois sekali." "Giandra! Kamu terlalu banyak omong kosong. Kamu masih kecil dan tidak tahu apapun, apa yang kamu tahu selain melawan dan membuat masalah hah!?" "Aku tumbuh dengan buruk juga karena kalian." "Benar-benar anak kurang ajar!" papa yang sudah luar biasa kesal sudah siap untuk bergerak memukul Iyan. Begitupun Iyan yang sudah bersiap menerima dengan memejamkan mata karena ini bukan pertama kalinya ia bertengkar dengan papanya, ini sudah seperti makanan sehari-hari. "Berhenti! Kenapa papa malah marah pada Iyan? Ini masalahku, aku yang tidak mau untuk mengikuti kemauan papa dan mama." Alina dengan cepat menghentikan keributan Iyan dan papa, ia tidak mau membuat Iyan menjadi korban atasnya. "Kamu pasti sudah pandai melawan karena pengaruh adikmu ini. Kamu melihat dia selalu berbuat diluar alur dan mencari masalah." Alina menggeleng, "ini murni keputusanku, Pa. Aku ga mau kuliah negeri, aku ga mau kuliah bisnis dan..." Alina terdiam sejenak dan menarik napas dalam, "aku tidak ingin meneruskan mengurus perusahaan nanti. Aku punya keinginan lain." Papa Alina tampak coba menahan kemarahan sebisa mungkin, "ada apa denganmu? Kita sudah pernah bicarakan ini dan waktu itu kamu setuju, kamu ingin menghancurkan semuanya?" "Maafin aku, Pa. Tapi aku ga bisa, aku udah memikirkannya dan aku ga mau bikin masalah nantinya." "Lalu siapa yang akan meneruskan ini semua? Apa kamu tidak mau berterima kasih? Kalian tumbuh dan dibesarkan serba berkecukupan dari perusahaan ini!" Alina terdiam namun diam-diam melirik Iyan yang tampak masih kesal dengan papa mereka itu dan kembali melihat papa dan mamanya secara bergantian, "lagipula perusahaan itu bukan hakku kan? Aku memang anak sulung, tapi papa dan mama memiliki anak laki-laki yang lebih berhak atas semuanya." Iyan terkejut dan menatap Alina kaget atas ucapan kakaknya itu, "Lin, lo ngomong apaan?" Alina tak menggubris Iyan dan memberanikan diri menatap kedua orang tuanya, "kenapa papa dan mama selalu bertindak seolah hanya ada aku? Kalian ga pernah bicarakan ini dengan Iyan kan? Padahal Iyan yang paling berhak disini, bukan aku terlepas dari faktor apapun itu." Ucapan Alina berhasil membuat semuanya diam tak bisa memberikan jawaban apapun. "Aku bener kan? Memangnya siapa yang jamin kalau aku akan lebih baik nantinya dibanding Iyan? Aku hanya lebih rajin dalam hal belajar, tapi dalam realitanya apa nanti aku akan lebih baik? Semuanya itu tidak hanya berpatok pada kepintaran akademik saja kan? Aku tahu batasanku." "Oke kalau memang begitu, tapi kamu coba tanya adik kesayanganmu itu, apa dia mau? Dia bahkan tidak pernah peduli pada apapun." balas sang papa pada Alina seolah menantang. Alina tertegun sejenak dan melirik Iyan yang berdiri disebelahnya, wajah Iyan menunjukkan ekspresi yang sulit untuk ditafsirkan, tidak ada yang bisa mengartikannya dengan tepat. "Yan?" tanya Alina pelan dan entah kenapa merasa takut. Iyan balas menatap Alina kesal, "kenapa malah jadi gua sih?" Alina langsung membeku mendapati wajah tak senang Iyan yang padahal sejak tadi hanya dia saja yang berada dipihaknya. "Argh!" Iyan mendecak kesal dan pergi begitu saja dari sana untuk ke kamarnya meninggalkan semuanya. Melihat itu tentu Alina merasa sangat bersalah dan bingung, sedangkan papanya tersenyum miring. "Lihat kan seperti apa adikmu itu?" Alina tanpa sadar menjatuhkan sebulir air mata dari sudut matanya, "kenapa sih papa dan mama nggak bisa perlakuin Iyan dengan lebih baik?" "Dia benar-benar anak yang tidak bisa diatur. Apa tidak bisa kamu tetap menjadi anak yang bisa kami andalkan? Kamu tahu sendiri gimana Iyan kan? Hanya kamu harapan kami." "Aku ga suka sikap mama dan papa yang ga adil!" Alina melupkan kekesalannya dan ikut berlari ke kamarnya. * Alina kini berdiri di depan pintu kamar Iyan yang tertutup rapat, saat Alina coba buka pintu itu terkunci, padahal Iyan jarang sekali mengunci pintu kamarnya. Gadis itu kembali mengetuk pintu kamar Iyan entah sudah untuk ke berapa kalinya, namun tak ada respon apapun dari si pemilik kamar. "Yan?? Iyaaan!!? Please bukain pintu, kamu marah padaku ya? Aku mau minta maaf." Alina menghela napas panjang dengan wajah sedih, ia terus usaha mengetuk pintu, "Iyan ayo ngomong bentar." Tiba-tiba pintu terbuka yang membuat Alina tidak sabar untuk melihat adiknya itu, namun ia kaget melihat Iyan menyandang tas seolah akan pergi. "Yan? Kamu mau kemana?" Iyan tidak menjawab dan menutup pintu kamar dengan wajah datar sambil melewati Alina begitu saja. "Iyan tunggu!" Alina menahan Iyan dengan memegang erat tangan adiknya itu agar tak kemana-mana. "Awas." "Jawab dulu, kamu mau kemana!?" "Gua capek di rumah ini." "Aku tahu kamu mau nenangin diri di luar, tapi ini ga akan lama kan?" Alina memastikan karena Iyan memang sering pergi nginap di luar rumah untuk menghibur diri dari masalah di rumah, tapi untuk kali ini Alina merasa Iyan agak berbeda, bahkan dia membawa tas yang biasanya tidak membawa apapun kalau pergi. "Gua ga tahu, kalau bisa gua ga mau balik lagi kesini." Alina menggeleng dengan wajah takut, "nggak! Kamu ga boleh pergi, kamu mau ninggalin aku? Aku ga mau sendirian Yaan." "Lepasin gua!" "Yan, aku tahu kamu marah padaku. Tapi aku minta maaf, aku ga maksud ngelepasin beban ke kamu, aku hanya mau perjuangin hak kamu. Perusahaan papa itu semua hak kamu, bukan aku. Aku ga mau ini berjalan timpang dan tak adil." "Ga ada yang percaya sama gua di rumah ini Lin, percuma. Lagian gua ga berharap apapun dari bokap dan nyokap. Bahkan masih dianggap anak aja gua ga mau berharap." "Aku percaya sama kamu Yan, sangat percaya dan yakin. Bahkan aku ga bisa apa-apa tanpa kamu. Please tetap disini, jangan tinggalin aku." Iyan menarik tangannya paksa dari Alina, "gua pergi." "Iyan aku mohon." Iyan tak peduli dan pergi begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD