Di kampus, bom waktu meledak.
Sebuah akun gosip kampus anonim mem-posting:
‘Mantan Ketua BEM FEB Aleeya D.B. dulu sempat diskors karena mencetak banner kampanye pakai dana UKM! Apakah dia pantas jadi panitia seminar nasional tahun ini?’
Dengan foto Aleeya. Dan di kolom komentar akun-akun anonim menyerang habis-habisan.
Aleeya melihat itu saat baru keluar dari kelas. Mulutnya terbuka. Hatinya langsung ambyar.
“Mas, ini apa-apaan?” ujarnya saat menelepon Kaivandra dengan suara gemetar.
Di taman belakang...
Aleeya duduk di bangku kayu. Matanya sedikit sembab.
Kaivandra datang membawa dua cup kopi.
“Cappuccino kesukaan kamu. Satu lagi ini— buat tamparan halus ke orang yang nulis gosip itu.”
Aleeya menatap Kaivandra. “Mas, aku nggak nyangka orang bisa setega itu.”
“Nyangka dong,” Kaivandra tersenyum ringan. “Kamu cantik, pintar, dan bar-bar. Kombinasi maut. Wajar bikin orang panas.”
“Tapi aku takut, Mas. Nama aku jelek. Mami-Papi bisa—”
“Kalau kamu mau berhenti jadi panitia, terserah. Tapi kalau kamu berhenti karena tekanan— itu berarti kamu kalah. Dan aku nggak suka liat kamu kalah.”
Aleeya menunduk. Lalu pelan-pelan tersenyum.
“Mas—”
“Hm?”
“Kalau aku menang kamu harus traktir aku sushi?”
Kaivandra menatapnya. “Kalau kamu menang, kamu boleh makan sushi sepuasnya.”
Aleeya langsung mengangguk. “Nando juga diajak kan?”
Kaivandra tertawa kecil. “Iya. Tapi dia nggak boleh masuk ke dalam resto.”
***
Hari ini matahari terasa lebih menyengat. Tapi bukan cuaca yang membuat Aleeya berkeringat. Melainkan tatapan tajam Reina yang sejak tadi mengikutinya seperti drone tanpa izin.
Aleeya baru saja keluar dari ruang panitia seminar, menenteng map penuh proposal, ketika Reina tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia berdiri dengan gaya model iklan pasta gigi lengkap dengan senyum yang sangat menjengkelkan.
"Bisa ngobrol sebentar?" Tanya Reina dengan nada super manis yang mengandung 80% pasif-agresif.
Aleeya, yang sedang sibuk mengatur map di tangannya, menjawab ringan, "Ngobrolnya sambil jalan saja, Mbak. Soalnya aku juga mau ngobrol sama Tuhan lewat salat Zuhur, takut kehabisan jadwal."
Raina langsung melangkah cepat, menyusul langkah Aleeya.
"Aku cuman mau bilang, kamu harus tahu tempatmu. Kamu bukan dunianya Pak Kaivandra.
Aleeya berhenti. Matanya menyipit. “Dunia yang mana nih? Dunia kedokteran, dunia kampus, atau dunia yang Mbak ciptain sendiri di kepala?”
Reina tersenyum miring. “Aku nggak bercanda. Kamu tahu kan, reputasi kamu sekarang lagi buruk? Aku kasihan sama Pak Kaivandra. Kalau kamu terus deket-deket dia, bisa-bisa nama dia juga tercoreng.”
Aleeya menatap Reina dalam-dalam. Hening sesaat. Lalu—
“Waduh, Mbak. Kok Mbak lebih takut reputasi Mas Kaivandra rusak karena aku daripada hatinya rusak karena deket sama orang yang maksa masuk di hidupnya?”
Reina tersentak.
Aleeya melanjutkan, “Aku ribet, iya. Aku bar-bar, betul. Tapi aku nggak pernah paksa siapa pun suka aku. Termasuk Mas Kaivandra. Kalau dia dekat dengan ku— ya itu urusan hatinya. Bukan urusan Mbak.”
Reina tampak kehilangan kata. Tapi sebelum bisa balas, sebuah suara muncul dari belakang.
“Kalian ngapain berdebat di parkiran?”
Kaivandra muncul, berdiri dengan tas ranselnya, tampak bingung melihat dua gadis berdiri seperti sedang syuting sinetron.
Reina langsung tersenyum manis. “Pak, aku cuma ngajak Aleeya ngobrol. Biasa, tentang seminar.”
Aleeya nyengir, “Iya, Mas. Seminar— batin.”
Kaivandra menatap mereka berdua. Lalu menoleh ke Reina.
“Rein, aku pikir kamu udah paham, ya. Urusan seminar, aku serahkan ke panitia. Urusan pribadi— juga bukan tempat kamu ngatur. Terima kasih, tapi jangan terlalu ikut campur.”
Reina mencoba tetap tersenyum, tapi jelas terlihat goyah. “Aku cuma khawatir.”
Kaivandra menatap lurus. “Aku nggak butuh penjaga. Aku butuh orang yang percaya.”
Dan dengan kalimat itu, Reina mundur pelan, lalu pergi. Tumit tingginya mengetuk lantai parkiran seperti tanda akhir dari satu babak.
Aleeya menoleh ke Kaivandra. “Mas, itu barusan dramanya 8,5 dari 10. Sayang nggak ada kamera.”
Kaivandra tersenyum kecil. “Kamu baik-baik saja?”
Aleeya pura-pura nangis. “Nggak, Mas. Aku baru sadar. Ternyata aku ini tokoh utama. Pantes berat banget beban hidupnya!”
Kaivandra tertawa. “Ayo, tokoh utama. Kita makan dulu. Nando juga udah ngambek di rumah karena nggak diajak ke kampus.”
~~~
Dua hari kemudian …
Hari ini aula utama kampus penuh dan sesak.
Spanduk besar terbentang:
“Seminar Nasional: Kolaborasi Ekonomi & Medis Era 5.0”
Aleeya mondar-mandir di belakang panggung dengan headset dan clipboard. Penampilannya rapi dengan blouse putih, celana kulot hitam, dan sepatu flat yang kedodoran sedikit. Tapi tetap keren. Meski gugup, dia terlihat profesional.
“Coffee break jam sebelas! Pembicara sesi dua jangan lupa dicek ya!” katanya ke sesama panitia. Energinya 90% kopi, 10% nekat.
Kaivandra duduk di ruang tunggu pembicara. Jas hitam, kemeja abu-abu, dan dasi yang diikat sendiri— karena katanya, ‘kalau diikat orang lain, nggak ada feel-nya’. Dia membuka catatan, tapi sesekali matanya mencari seseorang—Aleeya.
Sementara itu...
Di sisi lain gedung, Reina melangkah masuk dengan dress formal dan senyum elegan. Di tangannya ada flashdisk. Bukan sembarang flashdisk. Di dalamnya— ada rekaman rapat BEM lama, di mana Aleeya berdebat sengit soal dana, video itu dipotong beberapa bagiannya— terkesan seperti ‘penyelewengan’.
Vira dan Mayang mendekat.
“Kamu yakin mau muter itu, Rein?”
Reina menatap mereka dengan percaya diri. “Di akhir sesi, ada slot open mic untuk video testimoni alumni dan dokumentasi. Aku udah masukin file-nya diam-diam.”
“Kalau ketahuan?” Tanya Mayang.
“Aku nggak akan ketahuan. Dan setelah ini, Aleeya selesai,” jawab Aleeya penuh percaya diri.
Sesi utama dimulai.
Kaivandra naik ke panggung. Sorot lampu menerpa wajah tenangnya. Suaranya mulai mengalun, menjelaskan korelasi penyakit jantung dan beban ekonomi masyarakat. Ilmiah, tapi ringan. Semua terpukau.
Termasuk Aleeya, yang sesekali mencuri pandang dari sisi panggung.
“Kenapa sih, orang seganteng itu bisa se-intim sama kata ‘aterosklerosis’?” gumamnya sambil nyoret-nyoret kertas.
Lalu— saat sesi selesai, MC naik ke panggung.
“Sekarang kita akan memutar video dokumentasi singkat kegiatan organisasi kampus kita yang lalu. Sebagai inspirasi semangat kolaborasi lintas generasi.”
Lampu diredupkan. Video diputar. Musik lembut mengiringi.
Tiba-tiba layar menampilkan potongan video Aleeya sedang marah dalam rapat. Suaranya keras.
‘Kalau kalian nggak setuju, dana UKM bisa aku urus sendiri. Daripada kita nunggu ACC yang nggak jelas!’
Klik.
Wajah panitia mulai resah. Peserta seminar mulai bisik-bisik. MC tampak bingung.
Aleeya membeku. Dadanya bergemuruh. Itu bukan dokumentasi resmi. Itu— jebakan.
Kaivandra berdiri. Tanpa bicara, dia naik ke panggung dan mengambil mic.
“Saya izin bicara sebentar.”
Suasana langsung hening.
“Video tadi bukan bagian dari rundown. Dan itu adalah potongan satu menit dari rapat dua jam. Saya tahu itu, karena saya juga ada di sana. Waktu itu, saya menemui teman sesama dosen yang menjadi pembina organisasi itu. Beliau mengajak saya ikut rapat karena kebetulan sedang tidak ada jadwal mengajar atau praktek di rumah sakit.”
Semua memperhatikan Kaivandra.
“Kalau Anda melihat seseorang marah membela hak mahasiswa dan transparansi anggaran, jangan buru-buru menilai. Mungkin Anda baru saja melihat seseorang yang lebih berani dari orang yang duduk diam dan takut reputasinya rusak.”
Sorak sorai pelan mulai muncul. Aleeya tertegun. Matanya berkaca-kaca.
Reina? Dia sudah melangkah keluar ruangan, wajahnya merah padam.
Setelah seminar ...
Aleeya duduk di tangga belakang aula. Nando si kucing disembunyikan dalam tote bag dengan kepala mengintip keluar.
Kaivandra duduk di sebelahnya. “Hari ini kamu luar biasa.”
Aleeya menatapnya pelan. “Tapi kamu lebih luar biasa. Kamu nyelametin aku di depan semua orang.”
Kaivandra tersenyum. “Nggak kok. Aku cuma bilang yang sebenarnya.”
Hening sesaat.
Aleeya menunduk. “Mas—”
“Hm?”
“Aku takut jatuh cinta sama kamu.”
Kaivandra menoleh. “Kenapa?”
“Soalnya kalau nanti kamu nggak milih aku, aku nggak bisa balik ke fase ‘tetangga ngeselin’ kayak dulu. Aku bakal baper tiap lihat kamu.”
Kaivandra diam. Lalu mengelus kepala Nando pelan.
“Berarti jangan ada fase balik.”
Aleeya menoleh cepat. “Hah?”
Kaivandra menatapnya. Lurus. Jelas.
“Jangan ada fase balik. Kita terus jalan ke depan. Mau?”
Aleeya mendadak bingung. “Maksudnya kita?”
Kaivandra nyengir tipis. “Kamu, aku, dan Nando. Kayaknya kita trio yang lumayan nyentrik, sih.”