Papi, Skripsi, dan Satu Ember Curhat

1206 Words
Rintik hujan mulai jatuh perlahan saat Aleeya masuk ke ruang keluarga dengan wajah seperti habis gagal audisi sinetron. Rambutnya yang biasanya dikuncir kini dilepas, menjuntai kusut, dan hoodie kelabu kebesarannya membuatnya terlihat seperti bola kapas yang kecemplung got. Papi Dimas sedang duduk di sofa, membaca koran digital lewat Ipad sambil menyeruput kopi hitam. Aroma robusta dan wangi hujan membuat suasana rumah jadi seperti lukisan vintage yang tenang. Namun ketenangan itu runtuh saat Aleeya menjatuhkan diri di sampingnya dengan suara dramatis. Plop! “Papiiii—” rengeknya, memeluk lengan Papi Dimas dengan gaya koala putus cinta. Papi Dimas mengerjapkan mata, melihat putrinya yang menempel seperti perangko. “Ada apa lagi, Leeya? Kalau ini soal Kaivan, langsung Papi blok aja nomornya sekarang.” Aleeya cemberut. “Bukan soal Mas Kaivan— kali ini beneran tentang skripsi.” Papi Dimas menatap langit-langit. “Alhamdulillah.” “Belum tentu Papi bilang alhamdulillah,” sahut Aleeya cepat. “Skripsi aku kacau.” Papi Dimas meletakkan tabletnya, memutar badannya agar menghadap ke putrinya. “Ceritain. Tapi jangan kayak sinetron jam lima sore, to the point aja.” Aleeya menghela napas panjang. “Jadi dospem aku yang lama melahirkan prematur, akhirnya diganti. Sekarang dosennya Pak Kevin.” “Kevin siapa?” “Kevin Danny Aciel. Dosen muda, lulusan luar negeri, pinter, ganteng, CEO juga— pokoknya kayak tokoh utama drama Korea yang dijual pake bonus stiker.” Papi Dimas mengangguk-angguk. “Lanjut.” “Nah, dia tuh— terlalu perfeksionis, Pi. Aku udah kasih lima judul, ditolak semua. Katanya, ‘kurang menantang’. Terus waktu aku kasih konsep baru, dia cuma bilang ‘kalau kamu bisa pertahankan ini, baru kita lanjut ke bab dua’. Terus ditinggal pergi karena dia mau meeting sama investor!” Papi Dimas mencoba menahan senyum. “Terus kamu?” “Aku makan roti isi sarden di taman sambil nangis pelan-pelan.” Papi Dimas nggak bisa nahan tawa kali ini. “Kamu tuh selalu dramatis ya.” “Aku tuh berusaha, Pi. Tapi kayaknya Pak Kevin tuh nggak percaya sama aku. Atau dia sengaja— atau dia pikir aku cuma mahasiswa yang nggak serius.” Papi Dimas mengelus kepala putrinya. “Kamu inget nggak, waktu kamu belajar naik sepeda dan Papi lepas rodanya?” Aleeya mendongak, bingung. “Inget sih. Terus aku jatuh nyungsep ke semak-semak.” “Nah, Papi lepasin roda bukan karena kamu sudah siap. Tapi karena kamu harus siap. Sama kayak Kevin. Mungkin dia nggak terlalu banyak bantu karena dia percaya kamu bisa melewati sendiri. Kadang, kepercayaan itu bentuk bantu yang paling menyebalkan.” Aleeya terdiam, menggigit bibir. “Tapi kenapa caranya harus begitu bikin stres?” “Karena kamu belum sadar, kamu itu lebih hebat dari yang kamu kira.” Hening sejenak. Lalu Aleeya merapat lagi ke Papi-nya, memeluk lebih erat. “Papi, boleh nggak kalau aku gagal lulus tepat waktu?” Papi Dimas tertawa sambil mengusap puncak kepala putrinya. “Boleh. Asal kamu nggak gagal jadi manusia baik dan waras.” Aleeya senyum, matanya berkaca-kaca. “Papi tau nggak kenapa aku selalu pulang tiap sore walau bisa nongkrong lebih lama?” “Kenapa?” “Soalnya rumah tuh kayak charger. Dan Papi itu colokan 100 watt aku.” Papi Dimas tertawa terpingkal. “Astagfirullah. Anak siapa nih, bener-bener—” “Anak Papi, dong!” sahut Aleeya bangga, lalu langsung menyeruduk pelukan ayahnya seperti anak kecil. Hujan makin deras di luar. Tapi di dalam ruang keluarga itu, hangat menyelimuti mereka. Di balik semua keluhan skripsi dan drama kampus, Aleeya tahu—di rumah ini, dia selalu bisa pulang dan mengisi ulang tenaganya. Untuk menghadapi Kevin, Kaivandra, atau siapa pun yang bikin kepalanya mendidih. *** Jam menunjukkan pukul 22.47, dan Aleeya baru saja keluar ke balkon kamarnya dengan hoodie kebanggaannya—yang warnanya sudah mulai pudar karena terlalu sering dipakai buat begadang. Dia membawa sepiring semangka potong dan sebotol kecil air mineral, matanya masih berat karena seharian duduk menatap layar laptop demi menyusun ulang proposal skripsi yang baru. Dari seberang balkon, tampak seseorang juga sedang berdiri sambil bersandar di pagar besi. Kaivandra Ryuga Argantara. Dosen sekaligus tetangga, korban utama kebarbaran hidup Aleeya, dan kini laki-laki yang paling sering dipikirkan diam-diam, walau kalau ditanya dia akan tetap bilang: “Biasa aja sih.” “Mas Kaivandra!” bisik Aleeya cukup keras, mengeraskan suaranya dari balik semangka. “Kamu belum tidur juga?” Kaivandra menoleh, lalu mengangkat satu alis. “Mau tidur. Tapi ada suara-suara misterius dari balkon sebelah, jadi agak terganggu.” Aleeya meringis. “Itu suara hati aku, sih. Lagi resah.” Kaivandra menghela napas sambil menoleh ke langit. “Tanda-tanda malam ini tidak akan damai.” “Mau curhat nggak?” tanya Aleeya, duduk di kursi rotan kecil. “Tenang, nggak akan aku suruh bales email mahasiswa.” Kaivandra memutar badannya, menyandarkan siku di pagar balkon. “Kamu duluan. Sepertinya kamu yang butuh ruang bercerita.” Aleeya menatap langit gelap, lalu beralih pada semangkanya. “Kamu tahu, aku udah kasih tujuh judul ke Pak Kevin. Dan tujuh-tujuhnya ditolak.” “Kevin dosen barumu?” “Ya. Yang lulusan luar negeri, CEO, pinter, ganteng, ya pokoknya kalo dia punya toko roti, aku udah jadi pelanggan tetap.” Kaivandra terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Dan kamu masih bisa bercanda. Hebat.” “Tapi jujur,” lanjut Aleeya, suaranya sedikit melembut. “Aku capek. Ngerasa kayak nggak ada yang percaya aku bisa. Pak Kevin nyuruh aku mikir lebih kritis, bikin riset yang 'punya tantangan'. Padahal aku baru aja bisa bedain antara significance dan implication.” Kaivandra mencondongkan tubuhnya sedikit. “Dan kamu masih nggak sadar?” Aleeya berhenti mengunyah. “Sadar apa?” “Kalau kamu sebenarnya sudah jauh berkembang.” Mata Aleeya membulat. “Hah?” “Kamu yang dulu—yang salah ambil sandal setiap salat berjamaah, yang hobi masuk parit depan kampus, dan yang bikin kopi kayak air got—sekarang udah bisa bahas framework teori sambil tetap ketawa.” Aleeya tertawa, tapi ada air yang mengendap di matanya. “Kamu tahu nggak,” ucapnya lirih, “Aku takut. Takut gagal. Takut bikin kecewa Mami Papi. Takut kamu lihat aku sebagai anak kecil yang belum siap apa-apa.” Suasana mendadak hening. Kaivandra menatap Aleeya dari seberang, wajahnya melembut. “Leeya, semua orang punya ketakutannya. Aku juga. Tapi kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke aku. Kamu cukup buktiin ke dirimu sendiri kalau kamu layak untuk mimpi yang kamu kejar.” Aleeya terdiam, matanya berkaca-kaca. “Dan satu lagi,” lanjut Kaivandra sambil tersenyum kecil, “Kalau kamu terus makan semangka malam-malam gitu, jangan salahin aku kalau besok kamu masuk angin.” Aleeya mendengus, lalu melempar sepotong kulit semangka ke arahnya—tentu saja gagal dan jatuh di pagar. “Udah manis, tiba-tiba rese. Ini kenapa sih hati aku kayak lampu disko tiap liat kamu ngomong serius.” Kaivandra mengedip pelan. “Karena kamu lagi jatuh cinta.” “Siapa? Aku?” Aleeya langsung bangkit. “Nggak tuh! Aku cuma kekurangan vitamin D. Makanya, emosional.” “Vitamin D dari balkon tengah malam?” tanya Kaivandra. “Bisa jadi,” jawab Aleeya cepat. Mereka tertawa bersamaan. Dan malam Kamis itu, di antara langit gelap dan bintang yang malu-malu, ada dua hati yang saling bicara—tanpa kata cinta, tapi terasa cukup dekat untuk saling mengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD