Gadis," Brook menyentuh bahuku. "Anda bisa mengurus pasien yang lain, Dok. Sebelumnya terima kasih." Ucap Brook. "Saya turut berduka atas teman anda, Tuan." Ucap dokter tersebut. Terdengar suara derap langkah sepatu. Semakin lama suara itu semakin samar. Hingga suara tersebut hilang tak berbekas. Brook berlutut di hadapanku. Ia memegang kedua tanganku yang masih penuh darah. Brook mengusap lembut punggung tanganku. Seolah ingin mengalirkan energi positif lewat sentuhannya. "Kita sudah berusaha." Katanya parau. Brook menangis. Ia lalu memutuskan duduk di lantai yang retak bersamaku. "Aku tahu ini sulit. Tapi kita tidak boleh terus menerus seperti ini. Kita harus segera menyampaikan wasiat Syie pada keluarganya." Aku menggeleng. "Gadis,," Brook memelukku dari samping. "Pergilah. Aku