Usai mandi, ia duduk di tepi ranjang dengan rambut basah yang masih meneteskan air. Pakaian rumah yang dipakainya terasa longgar, tetapi perut yang mulai menonjol jelas terlihat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar yang berdiri di pojok kamar. Wajahnya sembab, kulitnya pucat, dan matanya bengkak. “Ini aku?” bisiknya lirih. Bayangan itu seperti sosok asing, wanita rapuh yang kehilangan pijakan. Seorang istri yang tidak diinginkan, seorang perempuan yang kehadirannya dianggap sekadar bagian dari permainan keluarga. Kata-kata Adrian semalam kembali menggema. Sungguh, Laras ingin percaya bahwa yang dimaksud adalah Safira. Tetapi, bayangan yang muncul di kepalanya berbeda. Ia teringat pada hari pernikahan mereka, hari yang berlangsung tanpa cinta, hanya ada kesepakatan keluarga dan e

