Pintu kamar kembali tertutup setelah Dr. Edwin pergi. Keheningan mengambil alih. Laras berbaring, memandangi langit-langit yang pucat, membiarkan kata-kata dokter tadi terus berputar di kepalanya.
‘Trimester pertama… kemungkinan besar.’
Hamil. Kata itu terasa berat, terlalu besar untuk diucapkan lantang. Ia belum siap, bahkan untuk membisikkan pada dirinya sendiri.
Tangannya meremas ujung selimut. Pikirannya langsung melompat ke kontrak yang ia tandatangani dengan Adrian. Hitam di atas putih, aturan-aturan dingin yang tak memberi ruang untuk hal-hal seperti ini.
Kalau benar ia hamil… apa itu akan mengubah posisinya? Atau justru membuat Adrian ingin memutus semua lebih cepat?
Entah mengapa, jawaban yang muncul di benaknya bukanlah kelegaan, melainkan ketakutan.
Saat itu, pintu kamar terbuka pelan. Mbak Rini masuk membawa nampan kecil berisi air mineral dan obat, wajahnya terlihat serius namun penuh perhatian.
“Nyonya…” suaranya lembut, “Dokter Edwin tadi bilang, kondisi Nyonya harus benar-benar dijaga. Dia menyarankan agar Nyonya segera ke dokter kandungan untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
Laras menatap Mbak Rini, dadanya terasa semakin berat. “Kalau begitu, Pak Adrian sudah tahu?”
Mbak Rini menggeleng pelan. “Belum, Nyonya. Mbak cuma menyampaikan pesan dokter. Saya juga belum berani bilang kalau Nyonya mungkin… hamil.”
Laras mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. “Terima kasih, Mbak. Tolong kabari kalau Pak Adrian pulang, ya.”
Mbak Rini tersenyum hangat. “Tentu, Nyonya. Saya akan jaga Nyonya sebaik mungkin.”
Meski ketakutan masih menghantui, Laras merasa sedikit lebih lega ada Mbak Rini di sisinya, menjaga dan siap membantu kapan pun ia butuh.
Di luar kamar, langkah cepat Mbak Rini terdengar menuju ruang kerja kecil di lantai bawah. Ia menarik napas dalam sebelum menekan nomor yang sudah hafal di kepalanya.
“Pak Adrian, ini saya, Rini,” suaranya ditahan agar tidak panik. “Tadi Dr. Edwin sudah periksa Nyonya. Beliau bilang… ada kemungkinan besar Nyonya sedang hamil, Pak. Dan beliau menyarankan supaya secepatnya dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.”
Di seberang, ada jeda sunyi. Lalu suara berat itu terdengar, sedikit lebih pelan dari biasanya.
“…a-apa?”
Nada terkejutnya bukan ledakan marah, tapi seperti seseorang yang baru saja mendengar sesuatu yang tak pernah masuk di rencananya.
“Maksud kamu… hamil? Trimester pertama?”
“Iya, Pak. Beliau tadi tidak mau memastikan tanpa tes lanjutan, tapi—”
“I got it,” potongnya cepat, lalu jeda sebentar. Ada helaan napas, dalam, seolah menahan sesuatu. “Pastikan dia istirahat. Jangan stres, jangan banyak bergerak. Saya akan pulang lebih awal.”
“Baik, Pak.”
Sebelum telepon ditutup, Mbak Rini sempat mendengar suara pelan yang seolah bukan untuknya, lebih seperti gumaman ke diri sendiri.
“…Pregnant? Seriously…?”
Bukan kaget yang meledak, melainkan kaget yang tenang tapi memancarkan aura aneh, di wajah yang pasti akan terlihat tegas, rahang mengeras, alis sedikit bertaut, tapi mata… entah mengapa membentuk sorot yang nyaris lembut.
Sore hari, suara pintu depan dan derap sepatu kulit terdengar dari arah ruang tamu. Laras langsung tahu pasti Mbak Rini pasti sudah mengabarkan soal pemeriksaan tadi pagi. Adrian bukan tipe orang yang membiarkan kabar seperti itu tanpa ditindak.
Setelah menyelesaikan pemeriksaan terakhir di rumah sakit, Adrian menutup berkas di tangannya dengan gerakan rapi. Ia menarik nafas dalam-dalam, melepas kacamata, lalu berdiri dari meja kerja. Waktu sudah larut, tapi pikirannya tetap fokus.
Dengan langkah tenang dan pasti, ia keluar dari ruang pemeriksaan. Mobil sudah menunggu di depan rumah sakit, dan sopir membuka pintu saat Adrian tiba. Sepanjang perjalanan pulang, wajahnya tetap serius, tanpa ekspresi yang mudah ditebak.
Begitu sampai di apartemen, Adrian masuk tanpa banyak suara. Pintu kamar terbuka. Adrian masuk tenang, tanpa suara berlebihan. Ia melepas jasnya, menggantung di belakang pintu, lalu perlahan membuka kancing lengan kemejanya. Setelah itu, ia menarik kursi di dekat ranjang dan duduk.
Hening sejenak.
Tatapannya langsung mengarah ke Laras. Tidak keras, tapi cukup lama untuk membuat Laras ingin berpaling.
“Kamu sudah makan?” suaranya rendah dan datar.
Laras menelan ludah sebelum menjawab. “Sudah, Pak.”
“How do you feel now?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih pelan.
“Masih agak pusing… tapi sudah mendingan,” jawab Laras singkat.
Adrian mengangguk tipis, ekspresinya tetap tenang. “Besok pagi kita ke dokter kandungan. I’ve set the appointment.” Tatapannya tidak lepas dari wajah Laras, seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan.
Laras menunduk, mengalihkan pandang dari tatapan Adrian. Jemari tangannya saling meremas di atas selimut, seolah ingin memeras kecemasan yang terus menumpuk di dadanya. “Baik, Pak…” suaranya lirih, hampir tenggelam dalam keheningan kamar.
Adrian tidak menambahkan penjelasan apa pun soal kemungkinan hamil itu. Tidak ada jeda untuk bertanya apakah Laras ingin bicara, atau sekadar memastikan perasaannya. Ia justru bergeser, seperti sengaja mengunci rapat pintu pembicaraan itu, suaranya tetap datar namun terukur.
“Kamu sudah minum obat yang Dr. Edwin kasih?” tanyanya, matanya sekilas melirik ke arah gelas di nakas.
“Sudah.” Laras mengangguk pelan, tanpa menatapnya.
“Jangan keluar kamar dulu,” lanjut Adrian, menegakkan punggung sambil melipat tangannya di depan d**a. “Istirahat yang cukup. Kalau butuh apa-apa, panggil Mbak Rini.”
“Baik, Pak.”
Hanya itu. Satu demi satu instruksi mengalir dari bibir Adrian, seperti butiran perintah yang sudah diatur urutannya. Dingin, kaku, tapi ada sesuatu yang samar dengan nada tipis yang mengisyaratkan kepedulian yang ia sendiri enggan menampakkan terlalu jelas. Matanya bergerak singkat, memeriksa wajah Laras sebelum ia berbalik, namun segera ia menghalau tatapan itu, kembali ke sikap tak tersentuh yang menjadi perisai pribadinya.
Setelah Adrian keluar, Laras sempat memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, suara samar dari luar membuatnya kembali waspada. Dari celah pintu yang tak sepenuhnya tertutup, ia bisa menangkap suara Adrian yang terdengar lebih rendah, seolah menjaga kerahasiaan.
“…schedule… confidentiality… no media leak,” ucap Adrian tegas di ujung telepon.
“Make sure the documents are secured. No one outside the board should know,” lanjutnya, nada suaranya dingin dan terkontrol.
Tiga potong kata pertama saja sudah cukup membuat Laras bertanya-tanya. Apakah ini ada kaitannya dengan dirinya? Atau hanya urusan bisnis yang tidak ia mengerti?
Ia ingin tahu, tapi tidak punya keberanian untuk mendekat. Jadi ia hanya berbaring lagi, telinganya tetap berusaha menangkap setiap kata yang lolos dari pintu yang nyaris tertutup itu.
***
Menjelang malam, Laras masih terjaga. Lampu kamar sudah redup. Ia berbaring miring, menatap gelap, satu tangannya menyentuh perutnya sendiri. Masih datar. Masih tanpa tanda. Tapi hatinya seperti diaduk.
Pintu kamar terdengar berderit pelan. Langkah kaki mendekat, lalu bayangan Adrian muncul di ambang pintu.
“Kamu belum tidur?” suaranya rendah, dalam, tapi ada sedikit nada mengintai.
Laras buru-buru membalikkan badan, seakan baru sadar. “Belum… susah tidur.”
Adrian berjalan mendekat, posturnya tegap dengan kemeja lengan panjang yang sudah digulung. Ia duduk di pinggir ranjang, memandangnya tajam. “You’ve been restless since dinner. What’s wrong?”
Laras menggeleng pelan. “Nggak ada.”
“Kamu pikir saya nggak notice?” Adrian mencondongkan tubuh. “Your eyes… they’re hiding something.”
Laras menelan ludah. “Cuma kepikiran aja.”
“About what?” Nada suaranya tegas, tapi tak meninggi.
Laras ragu. “Omongan orang…”
Adrian mengerutkan kening. “Siapa?”
“Dua perempuan waktu di toilet… kayaknya mereka ngomongin aku.”
Adrian menarik napas pelan, matanya menatap lurus. “Listen to me, Laras. I don’t care what anyone says about you. You’re here because I want you here. Not them. Not their approval.”
Laras mencoba tersenyum tipis. “Tapi kalau mereka tahu aku hamil…?”
Adrian menatapnya lebih dalam, nadanya turun menjadi lebih personal. “Biarkan mereka tahu kamu mengandung anak saya. Dan itu bukan urusan mereka.” Ia mengusap pelan punggung tangannya di pipi Laras. “Jangan biarkan kata-kata mereka tertanam di pikiran kamu.”
Setelah Adrian keluar, Laras kembali menatap gelap. Kata-kata dua perempuan itu tetap terngiang, seperti racun yang menetes perlahan. Tatapan merendahkan mereka, tawa kecil yang seakan tahu segalanya. Dan di dalam hati, ketakutan itu tumbuh lagi dan bagaimana kalau benar mereka tahu rahasia ini?
Sebuah rasa asing, campuran antara takut dan terlindungi, tiba-tiba membuat d**a Laras sesak. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya dirasakannya, sebuah perasaan yang bertentangan, tapi nyata menghuni setiap tarikan napasnya.
Jarum jam sudah hampir menunjuk tengah malam ketika pintu kamar kembali terbuka pelan. Langkah kaki terdengar ringan namun pasti mendekat. Laras segera menutup matanya, berusaha berpura-pura tidur agar tidak memancing perhatian.
Napasku berdetak kencang, pikirnya. Aku tidak ingin dia tahu aku terjaga.
Ia mendengar napas berat dan teratur—Adrian berdiri di sisi ranjang. Keheningan menyelimuti ruangan selama beberapa detik yang terasa seperti menit, seakan waktu membeku, menunggu sesuatu yang tak terucap.
Lalu, sesuatu yang sangat jarang ia rasakan terjadi. Punggung tangan Adrian menyentuh pipinya dengan lembut. Gerakan itu pelan, nyaris ragu, tapi penuh kehangatan yang aneh bagi seorang pria sekeras dirinya. Sentuhan itu seolah menyampaikan pesan tanpa kata: meski sikapnya dingin, ada perhatian yang tersembunyi di balik tembok itu.
Laras tetap memejamkan mata, membiarkan hangat itu meresap ke dalam. Tapi sebelum sempat tenggelam dalam rasa itu, Adrian menarik tangannya pelan, tanpa sepatah kata, lalu melangkah menjauh dan masuk ke kamar mandi.
Suasana kembali hening. Namun, tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, dan Adrian kembali ke sisi ranjang. Kali ini ia duduk, sikapnya masih dingin dan terjaga seperti biasanya, tapi ada getar halus yang berbeda.
Tanpa permisi, tangannya menyentuh perut Laras, perlahan dan penuh arti, seolah berbicara dengan kehidupan kecil yang ada di sana.
“Hei, jangan terlalu merepotkan ibumu,” ucap Adrian lirih, nyaris bergumam namun kata-katanya tajam dan jelas di telinga Laras. “We’ll figure this out. Just… be good, okay?”
Laras membuka matanya perlahan, menatap sosok lelaki itu yang, walau keras di luar, menunjukkan sisi lembut yang jarang ia tunjukkan.
Adrian menunduk sebentar, lalu menambahkan dengan nada yang tetap terkontrol, “Kamu dengar saya? Kita bersama-sama dalam hal ini, meskipun saya tidak mengatakannya.”