Bab 1

1026 Words
“M-maaf, Mi... aku tahu ini mendadak. Tapi aku nggak punya pilihan lain.” Suara Laras nyaris tenggelam di antara dentuman musik yang samar dari luar ruangan. Ruang belakang kelab malam itu pengap, dan aroma parfum mahal bercampur asap rokok memenuhi udara. Mami Risa, wanita paruh baya dengan riasan tebal dan gaun merah menyala, menyandarkan punggung di kursi empuknya sambil menatap Laras tajam. “Kamu mau pinjam uang?” tanyanya sinis, alisnya terangkat. Laras mengangguk pelan. “Untuk bayar koas. Beasiswaku nggak nutup…” Mami menghela napas, lalu menyeringai. “Sayang… aku bisa bantu. Tapi bukan pinjaman.” Ia menyilangkan kaki dan menyodorkan ponselnya ke arah Laras. “Klien VIP malam ini butuh teman. Satu malam, dua miliar. Kalau kamu setuju, aku transfer lima ratus juta sekarang.” Laras menegang. “Teman… seperti...?” Mami tak menjawab. Matanya menjelaskan segalanya. Laras menunduk, tangan mengepal di pangkuan. Pikirannya benar-benar kosong, apakah ia harus menerima tawaran itu untuk mendapatkan uang? “Kalau kamu nggak mau, Mami kasih ke anak lain. Kesempatan nggak datang dua kali, Sayang.” Laras masih belum menjawab. Sungguh bukan ini maksudnya. Jari-jarinya saling mencengkram di atas paha. Napasnya pendek, bola matanya mengendar, seperti melihat sekeliling ruangan. Bukan begini seharusnya caranya bertahan. Bayangan ayahnya muncul di benaknya, duduk di kursi bambu depan rumah, batuk-batuk yang sudah semakin sering seraya menatap sawah yang mulai mengering. Laras menggigit bibirnya kuat-kuat, ia tidak mungkin menyusahkan orang tuanya dalam keadaan sepertt ini. “…A-aku… setuju.” Mami tersenyum puas. Tak butuh waktu lama, notifikasi masuk ke ponsel Laras. Transfer: Rp500.000.000. Tangannya gemetar, sulit percaya uang sebesar itu benar-benar masuk ke rekeningnya. “Nih. Hotel Marquina Grand Tower, dan ini kunci kamar 2201. Jam sepuluh malam, jangan telat.” Sesampainya di hotel, Laras bergegas menaiki lift untuk menuju kamar yang sudah dikatakan oleh Mami. Laras berdiri di depan pintu. Tangannya memegang kartu akses, tapi ternyata pintu itu tidak tertutup rapat. Laras memberanikan diri untuk masuk. Ia menahan napas, lalu membuka pintu perlahan. Kamar itu mewah dan sunyi. Di dalam, lampu temaram menyinari tubuh seorang pria bertelanjang d a da yang duduk di tepi ranjang. Punggungnya lebar, napasnya berat. Seperti pria yang habis meminum beberapa botol minuman, dan mabuk. Jas dan kemejanya juga tergeletak di lantai. Laras terdiam. Ia menarik napas panjang. “Selamat malam... saya…” Belum selesai ucapannya, pria itu mengangkat kepalanya dan menatap Laras dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu berdiri dan mendekat ke arah Laras. Laras mengalihkan pandangannya, “S-saya… adalah wanita yang dikirim Mami untuk…” Tangan pria itu tiba-tiba menarik pergelangan tangannya. Laras nyaris menjerit, tapi tertahan oleh rasa takut dan panik yang menumpuk. Dalam sekejap, tubuhnya terhempas ke atas ranjang. Jari-jari pria itu dingin dan kasar saat menyentuh kulitnya. Gerakan tangannya tidak lembut, bahkan nyaris tak peduli. “Ahh…” Desahan kecil lolos dari bibir Laras. Di bawah kendalinya, Laras merangkul leher pria itu. Sedangkan pria di atasnya masih sibuk mencumbu tulang selangkanya, seperti pria yang haus akan sentuhan. Srakkk! Suara kain robek membuat Laras membeku. Baju itu, satu-satunya pelindungnya malam ini terkoyak tanpa ampun. Tatapan pria itu turun, terpaku pada lekuk lembut yang kini tidak tertutupi apapun, sepasang bukit mungil yang naik-turun mengikuti napas Laras yang gemetar. Pria itu menyentuhnya dengan kasar, lalu mencumbui setiap incinya. “AKH!” Laras menjerit ketika pria itu mengigit kecil pinggiran dadanya. Laras pun tanpa sengaja menyakar punggung lebar pria di atasnya. Cumbuannya semakin kasar, hingga sesuatu mulai menggesek di bagian keintimannya. Laras menahan napas merasakan benda keras itu. Tanpa ia kira sebelumnya, tangan yang semula mengalung di leher pria itu, kini berubah menjadi sebuah dekapan, karena sang pria memaksa masuk kejantanannya, merobek harta yang selama ini Laras jaga. Air matanya luruh, namun ini sudah menjadi keputusannya, ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya kesulitan di masa depan. ** Matahari pagi menyusup masuk dari celah tirai. Laras terbangun dengan tubuh pegal, tertutup selimut tebal. Kamar itu sunyi. Hanya suara pintu yang baru saja ditutup yang tersisa di telinganya. Lalu ia pun menoleh. Pria itu sudah pergi. Laras menggigit bibir. Tubuhnya terasa asing, seolah bukan miliknya sendiri. Dengan langkah gontai, ia masuk ke kamar mandi. Lampu menyala otomatis, menyorot wajahnya yang kusut di cermin. Ia menatap pantulan itu lama. “Ayah… Ibu… maafkan Laras...” bisiknya lirih. Air matanya jatuh tanpa suara, entah karena sedih, marah, atau justru hampa. Shower dinyalakan. Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, namun perasaan dingin di dalam tubuhnya tak juga pergi. Ketika membersihkan bagian tubuh yang paling dalam, rasa perih menyalak tajam. “Akh… sakit…” Laras menyandar ke dinding, mengerang pelan. Tangisnya pecah. Ia menyeka air mata dengan punggung tangan, sia-sia. “Aku… bahkan nggak tahu dia siapa…” Tubuhnya gemetar, terduduk di lantai. Di bawah aliran air, ia hanya bisa memeluk lututnya sendiri. Seolah air bisa membersihkan yang telah rusak. Laras keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Meski tubuhnya sudah rapi, bayangan di cermin tadi tak pergi dari pikirannya. Rambutnya basah tergerai, wajah tanpa riasan, hanya mata sembab yang menjadi saksi malam panjang yang baru ia lewati. Ia mengambil tas kecilnya yang tergeletak di atas sofa. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sebuah kartu nama di atas meja. Hitam. Elegan. Ia memungutnya dengan ragu. Adrian Mahendra Direktur Utama – Mahendra Medika Group Nama itu asing. Ia hanya tahu, pria itu bukan orang biasa. Tanpa banyak pikir, ia selipkan kartu itu ke dalam tas. Lalu berdiri mematung di depan pintu kamar, sebuah pesan dari Mami masuk dan ternyata ia sudah menunggu di lobi hotel. Tangannya meraih gagang pintu dan bergegas keluar Sesampainya di lobi hotel, Laras belum bisa berjalan dengan sempurna akibat nyeri di pusat tubuhnya. Namun sebelum ia bisa melangkah menghampiri, tiba-tiba saja Mami menghampirinya lebih dulu, wajahnya penuh dengan amarah. Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya, membuat Laras tersungkur ke lantai. “Kamu kemana aja?! Klien nunggu di kamar semalaman! Kamu nggak pernah datang! Kamu mau dipecat?!” Laras membeku seraya memegang pipinya yang panas. Matanya melebar, ia mencoba memutar ulang kejadian tadi malam, kamar… 2201? 2102? “T-tapi tadi malam aku…” Laras membuka suara. Mami menyeringai getir. “Balikin uangnya. Sekarang. Kamu tidur sama orang yang bahkan bukan klienku.” Dia telah menyerahkan segalanya pada pria yang salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD