Bandara kecil Kertalaya pagi itu lebih sibuk dari biasanya. Matahari baru saja naik sepenggalah, menyinari dinding putih bangunan yang sudah mulai kusam dimakan waktu. Meski sederhana, suasana di dalamnya terasa padat, hiruk pikuk khas keberangkatan terdengar di setiap sudut. Suara koper yang diseret memenuhi lantai keramik, panggilan petugas bersahut-sahutan dari pengeras suara, bercampur dengan aroma kopi yang mengepul dari kedai kecil di pojok ruang tunggu. Para penumpang berlalu-lalang, sebagian terburu-buru, sebagian lagi duduk menunggu dengan wajah lelah. Di tengah keramaian itu, Adrian berjalan cepat, tubuh tegapnya dibalut kemeja biru tua yang ditutupi jaket tipis. Sebuah koper kecil ia genggam di tangan kanan, sementara tangan kirinya dibiarkan kosong, sedikit mengepal, seolah me

