Bab 8. Menghadapi Bibit Pelakor

1244 Words
Aku menarik napas dalam untuk menetralkan perasaan emosi menghadapi perempuan di depanku. Tidak, aku tidak boleh marah-marah di depan semuanya, sepertinya dia ingin membuatku terlihat jelek di depan keluarga suamiku. Ok, kita lihat siapa yang menang. "Mbak Clara, aku memang baru datang di kehidupan suamiku. Tapi, mbak Clara juga harus ingat aku berhak penuh atas Mas Dewa. Ok, aku membolehkan kalian pergi seperti kalian lakukan dulu, tapi aku juga ikut. Suami istri itu sudah sepaket tidak boleh senang sendiri-sendiri," balasku dengan suara selembut mungkin. Aku juga sengaja berpura-pura bijak untuk mendapat nilai plus di depan kedua mertuaku. Wajah Clara kembali memerah, tentu saja dia tidak terima dengan ucapanku. Enak saja dia mau bersenang-senang dengan suami orang. Tidak ada seorang istri yang rela membiarkan suaminya jalan, nonton berdua dengan wanita lain apa lagi wanita itu terang-terangan mencintai suaminya. "Clara, apa yang dikatakan Kirana benar. Aku sudah menjadi seorang suami, Kirana berhak atas diri ini. Maaf, Clara kalau aku tidak mengetahui perasaanmu selama ini. Aku menganggap kamu hanya sebagai adikku tidak lebih," ucap Dewa menatap wajah teman kecilnya. Clara terperanjat kaget, seketika tubuhnya bersender lemas di kursi. Dia sepertinya belum bisa menerima kenyataan ini. Semoga Clara tidak terguncang mentalnya. Mami mertua berusaha menenangkan Clara, gadis itu menangis tergugu. Dion yang tadi membela Clara memilih beranjak dari tempat duduknya masuk ke dalam kamar. "Clara, sebaiknya kamu istirahat pasti capek," ajak mami mertuaku membujuk Clara. "Kenapa semuanya jahat meninggalkanku, aku salah apa? Orang yang aku sayang tega meninggalkanku." Clara menangis dalam pelukan Mami Dewi. "Clara, kami tidak meninggalkan kamu. Kami akan tetap menjadi keluarga kamu," ucap mami. "Kalau kalian menyayangiku sebagai keluarga, tidak akan membuatku terluka seperti ini. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini lebih baik aku menyusul mama saja." Clara menangis histeris sambil mengancam bunuh diri. Mami Dewi memeluk erat tubuh Clara yang berontak. "Lepas, Tan. Lebih baik aku menyusul mama, aku tidak sanggup Dewa meninggalkanku," teriaknya histeris. Suasana di ruangan semakin mencekam ketika tangan Clara menjangkau pisau buah di atas meja. Dewa dengan sigap membantu Mami karena sudah kehabisan tenaga menahan Clara agar tidak nekat. Aku juga ikut panik karena pisau dengan ujung runcing itu dekat dengan tubuh Mami yang masih berusaha menenangkan Clara. Papi mertua juga berusaha mengambil pisau di tangan Clara. Aku ikut mendekati Clara, membantu Papi mengambil pisau dari tangan Clara yang masih memberontak dengan keras. Sreeet! Seketika aku diam di tempat, melihat tanganku berlumuran darah. Dewa, Papi, dan Mami mertua terbelalak melihatku. Pandanganku tiba-tiba buram, melihat banyak darah. Hampir saja aku pingsan, beruntung Dewa sigap memeluk tubuhku agar tidak terjatuh. "Kirana," Dewa menepuk pipiku dan terus memanggil namaku. Aku masih belum mencerna situasi ini, siapa yang terluka, karena aku fobia melihat darah, membuat kepala tiba-tiba pusing, tubuhku lemas. "Aaaargh, darah!" pekik Mami mertua. "Kirana, tangan kamu terluka. Dewa, cepat bawa Kirana ke rumah sakit!" terdengar suara Papi mertua panik. Jadi, yang terluka ternyata aku sendiri. Tapi, kenapa tidak terasa sakit? Aku merasakan tubuhku melayang, Dewa membopongku. Sebenarnya, aku masih sadar, tidak pingsan sepenuhnya, hanya tubuh ini begitu lemas seperti tidak bertulang. Dewa menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Mami yang ikut bersama kami menangis. "Sus, tolong!" teriak Papi. Kuedarkan pandangan dengan mata sayu, melihat sekeliling semuanya serba putih, lalu semuanya gelap. "Kirana." Aku mendengar seseorang memanggil namaku, perlahan kubuka mata ini. "Alhamdulillah, akhirnya Kirana sudah sadar," ucap Mami. Dewa tepat di sampingku tersenyum lega. "Aku di mana?" tanyaku bingung. "Kamu di rumah sakit," jawab Dewa sembari mengelus lembut rambutku. "Memangnya apa yang terjadi?" "Clara tidak sengaja melukai tangan kamu, Dokter bilang lukanya dalam," jelas Dewa. Ya, aku baru ingat. Ketika aku berusaha mengambil pisau dari tangan Clara sebuah senyum terukir dari bibir Clara lalu dia menggoreskan pisau itu ke tanganku. Kulirik pergelangan tanganku yang sudah di perban. "Kirana, maafkan Clara. Dia sudah menyesal tidak sengaja melukai kamu, sejak tadi Clara menangis menyesali perbuatannya," ucap mami. Aku yakin Clara sengaja ingin melukaiku, jelas sekali dia tersenyum licik sebelum melukaiku. Sepertinya aku harus hati-hati dengannya. "Iya, Mi. Mana mungkin Clara sengaja melukaiku, aku sudah memaafkan Clara." "Alhamdulillah, kamu memang menantu mami terbaik." "Kirana, maaf. Clara seperti ini karena aku," ucap Dewa dengan wajah merasa bersalah. "Kamu tidak salah, aku bahagia kamu membela aku," balasku. "Terima kasih, Sayang," ucap Dewa, lalu sebuah kecupan mendarat di kening ini. Melihat adegan romantis anaknya mami tersenyum simpul. "Dewa, rencana ke Villa kita gagalkan saja. Kasihan Kirana tangannya masih sakit." "Jangan dibatalkan, Mi. Hanya luka kecil," sahutku menolak usulan mami. Mami dan Dewa saling memandang, aku mengangguk mantap. "Rana, kamu yakin besok pagi kita berangkat ke Villa? Kamu itu luka parah, sampai kamu tidak sadarkan diri," ucap Dewa. "Sebenarnya, aku tidak pingsan, Mi. Tapi karena aku punya fobia melihat darah. Luka seperti ini hanya luka kecil, dulu aku sering mengalami luka lebih parah dari ini," terangku. "Ya Allah, Kirana... Mami tidak tahu hidup kamu begitu menderita," ucap Mami mertuaku sambil menangis. Terdengar suara pintu terbuka, tak lama muncul Clara dengan papi mertua. Matanya sembab dengan wajah pucat. Papi membimbing Clara mendekati ranjangku, Dewa sengaja berdiri untuk memberikan tempat untuk Clara mendekatiku. "Kirana, aku sungguh menyesal. Aku tidak sengaja melukai kamu, maafkan aku," ucap Clara sambil terisak. Dia lalu menundukkan wajahnya, rambut yang tergerai hampir menutupi wajahnya. Bahunya terguncang hebat, namun aku bisa melihat sebuah senyum menyeringai yang ditunjukkannya ke arahku. Mami, Papi mertua, dan Dewa tidak akan melihat senyum licik Clara karena tertutup rambut. Oh, dia mau bermain-main denganku. Bagus juga aktingnya. Kita lihat saja, aku juga akan berakting seperti kamu, Clara. "Aku sudah memaafkan kamu, Clara. Sudah, jangan menyesali yang sudah terjadi," sahutku. "Terima kasih, Kirana. Kamu memang sangat baik, pantas saja Dewa memilih kamu menjadi istrinya," ucap Clara sembari mengusap air matanya. Gadis itu kembali tersenyum bahagia. "Sama-sama, Clara." "Kirana sedang sakit, berarti besok pagi kalian tidak jadi ke villa, ya?" tanya Clara begitu bersemangat. Oh, ternyata itu rencana kamu, Clara, membuatku terluka agar aku dan Dewa tidak jadi bulan madu. "Jadi, kok, kalau hanya luka segini mah tidak ada apa-apanya. Besok pagi, pulang dari rumah sakit, aku dan Dewa langsung ke Puncak," jawabku santai. Wajah Clara langsung berubah mendengar jawabanku. Aneh, ya, kenapa hati ini bahagia setiap melihat ekspresi Clara yang sering berubah-ubah seperti bunglon yang suka berkamuflase. "Rana, apa kamu yakin besok kita ke Villa?" tanya Dewa sekali lagi. "Jadi dong suamiku, Sayang. Kasihan mami, papi pengen cepat-cepat punya cucu dari kita." "Ya sudah, mami setuju. Tapi ingat disana kalian pelan-pelan saja, Dewa mami pesan jangan kasar sama Kirana." Aku dan Dewa membulatkan netra bersamaan mencerna maksud perkataan mami. Pelan-pelan, jangan kasar. Apa maksudnya? Suara decakan kesal terdengar dari bibir Clara, pasti saat ini hati Clara sedang panas karena cemburu. "Siaap, Mi. Akan aku ingat pesan mami," sahut Dewa. Mami dan Papi hanya bisa tersenyum melihat kelakuan anak sulungnya, pasti mereka membayangkan malam pertama kami. "Clara sekarang sudah malam, kita pulang biar Dewa yang menjaga Kirana. Kamu pasti capek," ajak mami. "Tan, aku disini saja ikut menjaga Kirana sebagai menembus kesalahan karena sudah melukai Kirana," tolak Clara. "Clara, aku tidak apa-apa. Aku tidak mau merepotkan kamu, di sini sudah ada suster dan Dewa. Toh, besok pagi juga aku pulang," kataku. "Clara apa dikatakan Kirana benar, sebaiknya kamu pulang ikut mami sama papi. Biar aku yang menjaga Kirana," ucap Dewa. Di tempat duduknya terdengar suara hentakkan kaki, bibirnya mengerucut. "Ya sudah, kalau kalian tidak butuh bantuanku. Aku pulang," ketusnya lalu dia berdiri dari duduknya. Clara pejuang tangguh juga, dan pantang menyerah. Aku harus hati-hati menghadapi Clara, sudah terlihat wanita itu akan menjadi bibit pelakor pengganggu rumah tanggaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD