PART 2

685 Words
Semua orang pasti akan meninggal dunia. Itu yang semua orang di seluruh dunia ini ketahui. Semua orang juga mengetahui dengan jelas bahwa tidak ada yang dapat memprediksikan kematian seseorang. Tidak ada yang tahu. Namun, Kyra pernah menanyakan satu hal pada dirinya sendiri; terpidana mati, kematiannya seolah ditentukan. Bagaimana dengan itu? Seseorang yang dibunuh, bagaimana juga dengan itu? Apa manusia sudah mampu memprediksi kematian? Kyra tidak pernah menanyakan hal itu kepada siapapun, bahkan sekadar mencaritahu di internet. Tidak pernah, karena sejujurnya Kyra mengerti manusia itu seperti apa. Kehilangan. Kyra pernah merasakannya. Kehilangan terberat yang dialaminya adalah kehilangan untuk selama-lamanya. Itu terjadi pada orangtua yang sudah mengasuhnya sejak kecil. Orangtua angkat. Sejujurnya sejak berusia 10 tahun, Kyra hidup di panti asuhan, tanpa mengingat bagaimana rupa orangtua kandungnya. Hingga pada usianya yang ke-16, Kyra mendapatkan sebuah dokumen yang bertuliskan alamat ibu kandungnya beserta namanya. Helena Anastasia. Awalnya Kyra tidak berniat mencaritahu, tapi setelah ia dewasa dan begitu penasaran, Kyra berniat untuk sekadar melihat. "Ky, temanin Arka di kamarnya." Kyra menoleh, menatap Kenzo yang baru kembali dari kamar Arka. Kyra menghela napas, lalu berdiri dan berjalan menaiki anak tangga rumah Arka menuju kamarnya yang ada di ujung sayap kanan lantai dua. Saat tiba di depan pintu, Kyra mengetuknya dengan pelan dan izin masuk. Begitu mendapatkan suara Arka yang mengizinkannya, Kyra masuk dan melihat punggung Arka yang berdiri di hadapan bingkai foto yang menampakkan Arka dengan ibunya. Kyra berjalan perlahan, lalu memeluk Arka dengan lembut dari belakang. "Ky..." "Hm?" "Kamu janji nggak akan ninggalin aku?" Kyra terdiam. "Ky..." "Promise," jawab Kyra dengan tulus. Arka segera membalikkan tubuhnya, dan membalas pelukan Kyra. "Cukup Mama yang ninggalin aku, kamu jangan," ujar Arka dengan suara sendunya. "Aku berjanji," ucap Kyra sekali lagi, berusaha membuat Arka percaya.  "First time gue lihat Arka selemah itu." Kyra merespon pernyataan Kenzo dengan melihat Arka yang menangis di pelukan kakak perempuannya setelah membaca pesan terakhir dari sang ibu. Benak Kyra mulai bertanya; bagaimana perasaan seseorang yang sudah mengetahui ajalnya? Kyra terlalu serius. Ia mempertanyakan hal yang seharusnya tidak ia pertanyakan saat ini. Kyra menahan napas. Sejujurnya ia tidak tahan melihat seseorang menangis, apalagi itu adalah Arka. "Kalau lo di posisi Arka, apa lo nggak akan kaya dia?" "Maksud gue bukan itu." Kyra menoleh menatap Kenzo. "Gue cuma nanya." "Pertanyaan lo nggak bisa gue jawab, kecuali gue ngalamin itu." Kyra segera mengabaikan Kenzo. Kyra langsung menghela napas, selalu saja percakapannya dengan Kenzo tidak seirama. "Tapi gue tahu rasanya ngelihat orang yang kita sayangi nangis sekeras-kerasnya karena ditinggal selamanya." Kyra segera memandangi Kenzo, mencari dengan jelas apa maksud Kenzo berkata seperti itu kepadanya. "Seperti yang lo tahu, gue belum pernah ngerasain kehilangan sampai ada di titik dimana gue nggak bisa untuk nahan diri lagi. Gue nggak tau itu bakalan gue alamin atau nggak, tapi kalau misalnya ada saat gue ngalamin itu, gue pengi punya seseorang yang bisa nahan gue. Mau itu Lian atau yang lainnya." Kyra mendadak diam. Mencerna segala perkataan Kenzo yang seolah dikatakannya dengan sangat tulus. Kyra mengerti dengan maksud Kenzo, bahkan jika itu terjadi kepada dirinya, Kyra akan mengharapkan hal yang sama. "Ky..." Kyra menoleh, melihat Lian yang baru saja selesai berbicara dengan adik Arka yang juga adalah teman Lian saat di kampus. "Mending lo temanin Arka. Kak Arin mau ngurus tamu." Kyra mengangguk, mengabaikan apa yang ada di benaknya sebelumnya, kemudian berjalan ke arah Arka yang berada di sofa bawah tangga. Kyra segera duduk dan melingkarkan tangannya pada Arka. "Mama kasih kamu sesuatu." Kyra langsung melihat sebuah kotak kecil bewarna hitam dengan pita putih. Kyra pun membukanya dan melihat sebuah kalung dengan surat kecil yang bertuliskan, 'Tolong, jaga Arka.' Kyra membaca pesan itu, perasaan kepergian ibu Arka untuk selama-lamanya membuat ibu Arka meninggalkannya sebuah tanggungjawab. Kyra merasa saat ini ia memiliki tanggungjawab yang besar. Mungkin Kyra sudah berjanji, tapi ia juga tidak bisa menyangkal kehidupan yang bisa saja terjadi. Karena kadang apa yang seseorang inginkan, tidak benar-benar terjadi. "Aku merindukannya," ujar Kyra, ketika mengingat kembali momen kebersamaannya dengan ibu Arka. Disaat mengatakan itu, Kyra menoleh kepada Arka, lalu memeluknya kembali dengan erat dan berkata, "jangan nangis, Tante nggak akan suka."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD