Bab 1. Mengungkap Perasaan
Happy Reading
"Sil, gue nggak bisa kayak gini terus. Gue mau ungkapin perasaan gue," suara Juna terdengar dalam dan mantap.
Silvia yang sedang menggigit apel langsung terhenti, matanya menatap Juna penuh tanda tanya. "Maksudnya, Jun?" tanyanya hati-hati, meski nada suaranya bergetar.
Juna maju selangkah, membuat jarak mereka semakin dekat. Kini hanya beberapa senti yang memisahkan. Silvia bisa merasakan aura hangat pria itu, dan entah kenapa detak jantungnya semakin kacau.
"Gue suka sama lu, Silvia. Nggak cuma suka… gue jatuh cinta sama lu. Dari beberapa bulan lalu gue udah coba nutupin, tapi makin gue tahan, makin gue sadar hati gue bukan ke siapa-siapa, selain ke lu."
Kata-kata itu menghantam Silvia seperti gelombang. Ia menghela napas dalam, mencoba terlihat tenang. "Jun… lo sadar nggak apa yang lo omongin? Sebulan lagi lo nikah sama Vanessa. Gue juga udah ada calon. Jangan bikin semuanya jadi rumit," ucapnya, suaranya terdengar tegas, meski di dalam hati, ia sendiri bergetar hebat.
Juna menatapnya tanpa goyah. "Justru karena semua udah makin rumit, gue nggak bisa diem lagi. Gue nggak mau seumur hidup gue nyesel karena nggak pernah ngomong sama lo."
Silvia berpaling, menatap jendela apartemennya yang menampilkan lampu-lampu kota di kejauhan. Ia berusaha keras menahan gejolak hatinya. Selama ini, ia memang menyimpan perasaan itu rapat-rapat. Tak ada seorang pun yang tahu, bahkan Juna sendiri. Dan sekarang, pria itu justru mengucapkannya duluan.
"Jun, lo telat," katanya pelan, namun tegas. "Lo telat ngomong ini semua."
Juna mendekat lagi, kini menunduk hingga wajah mereka sejajar. Tangannya menyentuh pipi Silvia, lembut, membuat gadis itu tak bisa mundur. "Kalau memang telat, kenapa mata lo nggak bisa bohong?"
Silvia terdiam. Ia ingin menyangkal, ingin membantah, tapi tubuhnya terlalu jujur. Nafasnya yang memburu, sorot matanya yang bergetar, semua mengkhianati kata-kata yang ingin ia ucapkan.
Juna semakin mendekat, dan detik berikutnya, bibirnya menyentuh bibir Silvia. Hangat, ragu di awal, tapi semakin dalam. Silvia sempat terdiam kaku, tangannya mengepal di pangkuan. Tapi perlahan, pertahanannya runtuh. Ia membalas ciuman itu, meski tahu ia seharusnya menolak.
Hatinya berteriak bahwa ia lemah di hadapan Juna. Bukan karena ia tidak tegar, tapi karena lelaki ini adalah satu-satunya kelemahannya sejak awal.
Ciuman itu terlepas perlahan, keduanya terengah-engah, tapi tetap saling menatap begitu dekat.
"Jun… kita nggak boleh," kata Silvia akhirnya, suaranya bergetar meski wajahnya tetap tegar.
Juna menatapnya dalam-dalam, matanya penuh keyakinan. "Mungkin kita nggak boleh, Sil. Tapi gue juga nggak bisa pura-pura lagi."
Silvia menggertakkan giginya, mencoba menguatkan diri. Namun dalam hatinya, ia tahu—pertahanan yang selama ini ia bangun, malam itu sudah runtuh.
Setelah ciuman itu, keheningan menyelimuti ruang tamu. Juna masih menatap Silvia, sementara Silvia berusaha keras menahan gejolak di dadanya. Tapi keduanya tahu, batas yang selama ini mereka jaga sudah retak.
Juna menyentuh pipi Silvia, jemarinya gemetar tapi hangat. "Sil… gue serius sama perasaan ini. Gue nggak pernah ngerasain kayak gini sama siapa pun," ucapnya lirih.
Silvia menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan diri. "Jun, jangan bikin gue lemah…" katanya pelan, tapi justru tubuhnya semakin condong ke arah Juna.
Malam itu, tanpa kata-kata panjang, Juna merengkuh tubuh Silvia ke dalam pelukannya. Pelukan itu berbeda—erat, penuh rasa memiliki. Silvia tidak melawan, ia membiarkan dirinya larut, meski hatinya tahu ada resiko besar di balik semua ini.
Ciuman mereka berlanjut, lebih dalam, lebih intens. Juna mengusap rambut Silvia dengan penuh kelembutan, seakan ingin memastikan gadis itu tahu betapa berharganya dirinya. Saat tangan Juna menggenggam jemarinya erat, Silvia bisa merasakan betapa tulusnya pria itu.
Mereka bergeser ke sofa, dan dalam keintiman itu, Silvia menyerahkan dirinya untuk pertama kali. Semua terasa canggung namun penuh perasaan. Juna sempat terdiam sejenak, menatap Silvia dengan mata membelalak kaget ketika menyadari sesuatu.
"Sil…," bisiknya, suaranya serak dan penuh emosi. "Lo… masih suci?"
Wajah Silvia memerah, ia hanya menunduk, tidak menjawab. Tapi diamnya sudah cukup menjadi jawaban.
Juna meraih wajahnya, mengecup keningnya penuh rasa hormat. "Gue makin yakin… makin mantap sama perasaan gue ke lo. Gue janji, gue nggak akan pernah anggap remeh momen ini."
Silvia menatapnya, kali ini matanya berkilat lembut, tak lagi menahan diri. Ia tidak mengucapkan cinta dengan kata-kata, tapi malam itu ia menunjukkannya dengan sepenuh hati.
Malam itu, mereka bercinta bukan hanya dengan raga, tapi dengan hati yang sudah lama terikat diam-diam. Tidak ada penyesalan, hanya rasa lega bercampur bahagia yang sulit dijelaskan.
Ketika semuanya usai, Silvia berbaring di d**a Juna, mendengar detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Juna membelai rambutnya, menatap langit-langit dengan napas berat.
"Sil… mulai malam ini, gue nggak peduli lagi sama status atau rencana orang. Yang gue tau, hati gue milik lo," ucapnya pelan.
Silvia memejamkan mata, mencoba tetap tegar, meski ia tahu keputusannya malam ini akan merubah segalanya. Namun satu hal pasti—ia tidak lagi bisa membohongi hatinya sendiri.
***
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai putih apartemen Silvia. Udara masih terasa sejuk, dan aroma kopi hangat memenuhi ruang tamu. Silvia keluar dari kamar dengan rambut yang masih sedikit berantakan, mengenakan kemeja Juna yang tadi malam entah sejak kapan membungkus tubuhnya.
Ia tersenyum kecil saat melihat Juna sudah berada di dapur, sibuk menyiapkan sarapan sederhana. Telur orak-arik, roti panggang, dan dua cangkir kopi hitam. Suasana itu terasa begitu asing, tapi juga menenangkan.
"Lo bisa juga masak ternyata," ucap Silvia sambil bersandar di meja dapur, matanya menatap Juna dengan penuh arti.
Juna menoleh, senyumnya mengembang hangat. "Buat lo, gue bisa apa aja," jawabnya ringan, tapi nadanya jujur.
Silvia tertawa kecil, wajahnya merona. Ia duduk di kursi, memperhatikan Juna yang tampak begitu berbeda pagi ini—lebih lembut, lebih tulus. Ada cahaya di matanya yang tidak pernah Silvia lihat sebelumnya.
Saat akhirnya mereka duduk bersama, menikmati sarapan, suasana terasa nyaman. Mereka berbincang ringan, membicarakan hal-hal sederhana: pekerjaan Silvia, kebiasaan kecil Juna yang suka lupa naro kunci, bahkan sampai rencana liburan impian mereka.
"Gue baru sadar… duduk sama lo gini aja, rasanya udah lebih dari cukup," kata Juna, menatap Silvia dengan tatapan yang membuat gadis itu terdiam.
Silvia menunduk, senyumnya merekah. "Jun, jangan bikin gue terlalu bahagia. Gue takut nanti gue nggak bisa ngelepasin lo."
Juna meraih tangannya di atas meja, menggenggam erat. "Justru gue yang nggak mau lepasin lo, Sil. Gue udah yakin. Gue nggak bisa lagi pura-pura sama Vanessa. Gue mau jujur."
Kalimat itu membuat d**a Silvia hangat. Ia bahagia, sangat bahagia. Seakan semua luka lama yang ia pendam sirna begitu saja. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dipilih, bukan hanya menjadi pelarian.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan beberapa menit.
Tiba-tiba ponsel Juna yang tergeletak di meja berdering. Getaran itu terasa begitu mengganggu, memotong momen indah mereka. Nama yang muncul di layar membuat d**a Silvia langsung tercekat.
Vanessa.
Suasana langsung berubah hening. Juna menatap layar ponselnya dengan wajah kaku, sementara Silvia menarik tangannya perlahan dari genggaman Juna.
"Angkat, Jun… itu calon istri lo," ucap Silvia pelan, meski suaranya terdengar tegar. Ia berusaha menahan gejolak di dalam dadanya.
Juna menggeleng cepat. "Nggak. Gue nggak mau ngomong sama dia sekarang. Gue cuma mau sama lo."
Silvia menatapnya lama. Senyum yang tadi hangat kini berubah getir. "Jun, lo pikir gampang? Lo pikir semuanya bisa selesai cuma karena lo ngomong suka sama gue? Di luar sana ada orang yang nunggu lo, ada keluarga yang percaya sama lo. Dan gue… gue juga punya Andra."
Juna menatap Silvia dalam-dalam, seakan ingin menolak kenyataan itu. "Silvia, gue serius sama lo. Gue bakal cari cara biar kita bisa bareng. Percaya sama gue."
Silvia menarik napas panjang, menahan sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya. "Bahagia sama lo itu gampang, Jun. Tapi mempertahankan kebahagiaan ini… itu yang susah."
Ponsel Juna masih terus berdering, nama Vanessa berkedip di layar. Dan di momen itu, Silvia sadar—hubungan yang baru saja membuatnya bahagia, juga akan menjadi rumit dan penuh luka.
Namun, dalam hati kecilnya, ia tidak bisa memungkiri satu hal: meski rumit, ia tetap menginginkan Juna.
Bersambung