Raila - 8

2059 Words
Sumpah berani dikutuk jadi kaya raya, kontrak gila Dani sungguh keterlaluan! Apa? Sampe dia jatuh cinta lagi? Yang benar saja, masa sampe dia aki-aki belum kawin gue masih harus jadi pacar bohongannya sih? Ntar yang ada gue juga berubah jadi perawan tua yang haus cinta, alamak! Gak mau gue! Gelisah, cuma bisa guling sana-sini di atas kasur. Apa gue terima Satria aja ya? Jaga-jaga barangkali Dani ninggalin gue. Tapi kok ya gue berasa jahat banget banget ya? Masa cowok baik  kayak Satria jadi cadangan? Ya Tuhan, gue gak sejahat itu kok, cuma takut lolos gelar perawan tua, udah gitu aja. Vira, kali aja dia punya pencerahan. Biasanya otak anak itu agak bersinar masalah ginian. Dan tanpa pertimbangan lagi, gue langsung menghubungi sobat karib gue satu-satunya. Deringan kedua, Vira langsung angkat. "Apa?" "Tumben telat angkat. Semedi di mana lo?" "Busyet, gue bukan semedi! Habis netekin anak gue, ditambah bapaknya ikut minta jatah." "Anjir! Sensor woy !! Gue masih perawan, masa iya cerita dapet kayak ginian!" "Haha, makanya kawin, Neng! Biar tahu rasanya." "Nikah dulu ijah! Baru bisa kawin!" "Ya, apapun lah, pokoknya lo cepet-cepet tarik tuh Dani ke KUA!" Aish, seperti baru nyadar, yaitu Vira adalah orang pertama yang jadi objek pura-puranya Dani, lalu menceritakan masalah ini ke dia tuh sama aja bohong. Lebih parah lagi, Vira tahu kalo Dani belum bisa lupain dia, ujung-ujungnya gue bisa kehilangan pekerjaan ini. Miris! "Ntarlah, masih penjajakan dulu, siapa tahu dia punya kebiasaan buruk." "Kebiasaan buruk apanya?" "Kan kita gak tahu, kali aja dia punya hobi ngupil saat makan. Atau kentut saat tidur. Siapa yang tahu kan?" "Ck, alesan lo! Eh gue kasih tahu ya, kalo ada cowok baik datang ke lo, terima aja, gue jamin, yang bikin bahagia di rumah tangga tuh bukan ganteng atau kaya, tapi lebih pada saat pemilihannya." Gue termenung. Benarkah? Seketika ingatan gue melayang pada Satria. Dia pria baik kan? Sangat baik malah. Anaknya juga suka suka macam-macam kayak ngobat, minum, bahkan merokok tidak. "Napa lo? Masih bangun kan?" "Iya, emang gue pelor? Nempel langsung molor?" "Haha, kan kan biasanya berisik. Kok diem? Inget Dani ya? Makanya cepet sahkan kenapa sih, apa susahnya?" "Ya gak segampang itu juga kali, Vir. Lo inget waktu gue ikut ke pesta lo?" "Iya, kenapa emang?" "Lo lihat kan, gue pake baju kurang bahan plus sepatu yang bikin keseleo?" "Haha, kenapa? Lo cantik waktu itu padahal. Gue aja sampe pangling." "Pangling apanya? Yang ada gue masuk angin, tambah kaki gue sakit." "Makanya biasain kek, biar lebih mirip cewek." "Bodo ah, mau nikah sama orang yang nerima gue apa adanya. Gak usah berubah jadi orang lain." "Iya juga sih. Eh ngomong-ngomong lo ngapain bikin kerusuhan malam-malam begini? Ganggu orang pacaran aja!" Gue tadinya mau cerita si Dani, tapi gak jadi ding! "Itu ... ada cowok yang nembak gue, Vir." "Siapa? Kan lo pacaran sama Dani? Hayo loh, mau selingkuh?" Aish, salah lagi. Mati gue! Lupa kadang kumat gak pada tempatnya, gue kan pacarnya Si Bos, itu yang Vira tahu. "Ah, bukan gitu. Maksud gue, Si Bos sering ngungkapin perasaannya, gitu." "Ya bagus, berarti dia beneran sayang sama lo. Apa artinya?" "Gue ... cuma ... itu, malu kali!" Bodo ah, gue kehabisan kata-kata. "Haha, deuh, co cweet, unyu banget sih kalian, malu-malu meong semuanya. Padahal dua-duanya juga kucing garong!" "Sialan lo, Vir! Gue gak pernah nyuri ikan asin! Dibilang kucing garong!" "Terus mau dibilang apa? Kucing hutan? Eh, udah dulu ya? Anak gue nangis kayaknya." "Ya udah, disana kelonin anak sama bapaknya juga sekalian!" "Pastinya dong, bapaknya paling favorit sebagai gantinya." "Terus aja racuni otak gue, ama guyonan jorok lo!" "Haha, udah ah, gue tutup ya, La?" "Iya, udah sana!" Klik. Gue tutup duluan. Ck, gini nih, rasanya ditinggal kawin sama sobat sendiri. Dulu aja, kita susah seneng bareng-bareng, kesana-kemari kayak gula dan semut. Beda kalo udah nikah mah. Punya dunia sendiri dia. Tinggal gue yang nelangsa sendirian. Mau cerita masalah Dani juga gak bisa. Ah, tapi Si Vira bilang kalau cowok baik datang kan harus diterima. Ya gak? Dan ... Satria kayaknya cowok baik. Moga aja Seiring waktu hati gue bisa klik sama dia. *** Senin pagi ini adalah waktu yang paling sibuk bagi gue. Kamar kontrakan udah kayak kapal pecah. Bejibun dengan baju bersih yang belum disetrika. Ya, Biasanya gue nyiapin baju kerja pas hari minggu. Tapi akibat hasil karya Neneknya Dani yang meminta salon gratisan sama gue, jadinya baju kerja gue tersentuh sama sekali. Dengan gerakan super cepat, gue buru-buru keluar menuju motor butut kesayangan. Udah mau telat kayaknya. Bayangan Dani mulai bermunculan di otak gue. Bodo ah, kalo dia marah, dengerin aja, terus kentutin biar plong. Gak usah masukin hati, yang penting masih bisa kerja lagi gak kena balasan. Otak gue muter nyari alasan yang pas biar bisa bela diri saat kena semprotnya Dani. Sial, kapan sih nih macet berhenti? Selalu begini. Macet, macet dan macet. Bikin sumpek hati. Dan dengan keringat yang mengucur di pelipis, akhirnya gue sampe ke gedung tempat gue mencari sesuap nasi. Fiuh, akhirnya. Saat gue masuk ruangan yang memang satu dinding dengan ruangan Dani, gue lihat dia udah duduk manis di kursi kebesarannya. Gue bisa melihat sebab ruangan kita dipisah dengan kaca. Gue tahu, sejak gue datang, Dani melirik jam lalu lalu melihat ke arah gue. Tahu sih, gue kesiangan lagi. Dengan takut-takut, gue menoleh ke arah Dani, lalu memberanikan diri mengangguk sopan memberi hormat. Reaksinya? Dia malah mengacungkan telunjuk yang lalu mengisyaratkan biar masuk ke dalam ruangannya. Hah, ini dia. Gue pasti kena marah lagi. Wajah senyum gue berubah jadi bete. Diundang, masuk ke ruangannya. Berdiri di luar tanpa melihat sedikit pun. "Oke, kamu tahu apa salah kamu?" "Telat." "Berapa menit?" "Setengah jam." "Apa yang harus kamu lakukan kalo berbuat salah?" "Iya, gue eh aku minta maaf. Tapi kan ini juga bukan hanya salah saya, Bos!" "Lalu?" "Salahkan Nenek yang nyuruh saya buat maskerin wajahnya sambil mijit." "Lho apa yang hubungannya?" "Tentu saja ada! Gara-gara kemarin saya disuruh mijit wajah Nenek, saya gak keburu baju nyertika!" "Kan kamu bisa nyetrika malamnya?" "Lho, kan abis dari Nenek saya ikut Bos buat jadi pacar bohongan-" Eh, Dani langsung berdiri dan membekap mulut gue. Tangan kanannya menutup mulut gue dan tangan lain memegang pinggang gue yang pas di pelukannya. Lho kenapa dia? Mata kami bertemu. Anjir! Apa dia punya gardu listrik di tubuhnya? Kok jantung gue blingsatan kayak orang kesetrum sih? Perlahan Dani melepaskan bekapannya dari mulut gue. Matanya seolah sedang menyidak wajah gugup gue di depannya. "Ke-kenapa, Bos?" Sial! Gugup kan jadinya? Fiks, gue kesetrum gardu listrik di tubuhnya! "Jangan teriakin hubungan palsu kita! Ntar ada orang denger kan bisa berabe!" Ucapnya di depan gue tanpa melepas kedekatan kami. Bahkan aroma mint dari mulutnya tercium menodai hidung gue yang masih suci dari bau lelaki. "Iya, tapi berhasil lepas dong! Gak usah pake nempel-nempel gini!" Dani menyeringai. Lah kenapa lagi dia? "Hitung-hitung latihan kan? Masa sama pacar aja kaku gini?" Mulai gak nyaman. Iya, tapi ini pertama kali buat gue, bodoh! "Bisakah pake latihan yang lain aja, Bos?" "Kenapa? Kamu takut terpesona sama aku, ya?" Busyet! Kalo ngomong suka bener nih anak! Tepat saat Dani melihat gitu, tiba-tiba pintu ada yang buka. Secepat kilat mendorong Dani pergi, namun sialnya dia malah merekatkan pelukannya lagi. "Mau kemana?" Tanya Dani sambil mengangkat satu alisnya. Menyebalkan! Kayaknya dia tahu gue nyaman dan mulai tersihir. "Dani ?! Ah, maaf, Ibu ganggu kalian!" Mata gue sukses melotot ke Arah pintu. Tada ...! Bu Aisha alias mamahnya Dani kembali lagi. Dani juga kayaknya kaget, dia langsung melepas gue. "Bu! Tunggu," ucap Dani sambil pergi. Wanita itu tersenyum ramah. Adem banget, sumpah! Kayaknya Si Bos punya senyuman menawan dari emaknya deh. "Kalian udah selesai?" Malu! Waduh ada lobang gak sih? Pengen nyungsep gue! Kalo aja bisa taro bentar nih wajah, biar gak terlalu malu. Gimana enggak coba? Gue kepergok Bu Bos lagi pelukan sama anaknya. Kemungkinan terburuk adalah gue dipecat dan melarat lagi. Mampus! "Udah kok, Bu. Ibu duduk dulu aja. La, tolong bikinin minum buat ibu!" "Baik, Bos!" Eh, tangan gue kok dipegang? Lembut banget! "Tunggu, Nak! Kemarilah, biar yang lain yang bikin minum buat saya. Kamu duduk dulu." Bingung, gue menatap Dani, dan dia mengangguk. Duduk sama emaknya Dani tuh kayak duduk sama ketua hakim saat lo jadi terdakwa kasus pembunuhan. Horor, sumpah! "Nama kamu siapa?" "Raila, Bu. Senang bertemu dengan, Anda!" "Oh jadi ini? Oma sering cerita tentang kamu." "Apa? Oh iya, nenek memang sering manggil aku ke rumah." "Nenek?" Tanya Bu Aisha sambil tersenyum geli. Dani juga sama. Dia bahkan menahan tawa. "Iya, Neneknya Bos Dani kan?" "Kamu manggil Oma dengan sebutan Nenek?" "Iya, apa aku salah, Bu?" "Haha, tentu saja tidak. Bahkan aku kagum sama kamu. Selama ini, ibu mertua saya paling tidak mau dipanggil Nenek. Katanya takut ketuaan." "Oh gitu ya? Hehe. Tapi dia gak keberatan kok." "Iya, saya bisa melihat cara dia bicarain kamu sama saya. Apa saja yang dia katakan sama kamu, jangan diambil hati ya? "Oh, Bos juga bilang gitu, Bu." "Wah, kalo sudah begini, gimana kalo kalian melaju ke depan?" "Apa ?!" Gue sama Dani menjawab bersamaan. Maksud Bu Bos ini apa coba? "Kok kamu kaget, harusnya senang. Ibu cuma pengen kamu jangan terlalu lama berhubungan tanpa ada kejelasan." Mata gue melotot ke Arah Dani. Kok Bu Bos tahu juga sih? Wah, kasus nih! Masa gue Harus akting also Depan emak bapaknya Dani sih? Dani malah garuk kepala. Awas aja! Gue bakal kasih pelajaran sama dia! Nambah pekerjaan kok gak bilang-bilang sih? Iya, nambah pekerjaan akting depan bonyoknya Dani. Harusnya masuk perhitungan tuh! Kali aja gue bisa cepet pindah dari kontrakan mini yang gue tempatin kan? "Itu .. anu .. Bu, saya bukannya gak mau, Raila kan jauh sama orangtuanya. Jadi dia agak kesulitan buat ngasih tahu hubungan kita. Iya, gitu." "Lho, emang di mana?" "Di ... Batam," jawab gue pelan. Duh, mereka kan kaya raya, Batam bagi mereka tuh gak masuk hitungan jarak jauh. "Lho, Batam kan gak jauh, Nak? Gampang, biar nanti Ibu sama Ayah aja yang suruh orang buat antar jemput orang tua kamu. Jadi kamu bisakah bisa tunangan dulu kan?" "Ah, gini lho, Bu. Jadi mamanya Raila tuh sakit keras. Jadi harus bedrest gitu, selama waktu yang tak ditentukan." "Ya ampun, jadi mama kamu lagi sakit?" Anjay! Si Bos ngatain emak gue sakit! Tapi apa daya, sesuatu yang diawali dengan kebohongan, maka dapat dipastikan kebohongan lain bermunculan. Dan dengan berat hati, gue mengangguk pelan. "Iya, Bu," tapi sakitnya bukan di badan. Sakit kerasnya di bagian isi dompet, lanjut gue dalam hati. "Ah, begitu rupanya. Sudah. Semoga mama kamu cepet sembuh ya?" "Aamiin," ya, aminin aja, biar emak gue sembuh sakit dompetnya dan cepet kaya raya. "Ngomong-ngomong, Ibu ada apa, kok tumben datang sendiri gak sama ayah?" Tanya Dani. "Ya ibu cuma pengen lihat calon dong dong, kata Oma kamu, orangnya cantik dan lucu. Dan ternyata memang benar. Moga aja kalian berjodoh." Kali ini gue gak berani ngaminin. Soalnya otak gue lagi mikir buat nerima Satria. "Aamiin," lah, kok Si Bos yang ngaminin sih? "Ya udah, ibu tinggal dulu ya? Ayah kamu suka pulang pas makan siang gini." "Baik, Bu. Hati-hati!" Setelah bersalaman, biarkan Dani meninggalkan kami di ruangan. Dani berdiri lalu mengangkat tangan kanannya. "Ngapain, Bos?" "Angkat tangan kamu!" "Apaan? Mau nembak saya? Salah saya apa?" "Ck, angkat aja!" Ucapnya sambil mengangkat tangan kanan gue. "Bersulang! Akting kamu keren banget tadi!" "Ha?" "Iya, ibu aku percaya sama kita." "Eh, Bos. Apa kita gak berdosa bohongin orang tua kayak gitu?" "Kalo takut dosa, tinggal banting stir jadi beneran, kan gampang?" "Dih, ogah! Lagi pula aku udah punya calon!" "Apa ?! Calon apaan?" "Santai aja, Bos! Gak usah ngegas dong!" Dani menarik nafas, "oke, kamu punya calon?" "Begitulah, rencananya aku mau nerima dia. Jadi aku harap Bos mengerti. Kita kan cuma bohongan aja. Sampe Bos jatuh cinta lagi, kan? Nah selama itu, aku gak mau bareng-bareng mendapat gelar gak laku sampe tua. Jadi aku mau." .. " "Iya, aku udah denger berkali-kali. Kamu mau nerima dia kan? Sana aja pergi sama dia! Gak apa-apa, kok. SAYA juga kalo niat, masih banyak gadis cantik yang memuja aku. Pergilah!" "Bos lagi dapet ya?" "Enggak." "Atau salah minum obat?" "Enggak." "Bos kalah lotre?" "Enggak, kamu kenapa sih?" Jutek amat sih! "Aku mau ngasih tahu, celana Bos kesempitan sampe bentuk segitiganya kelihatan!" "Apa? Mana?" Sementara Dani sedang membaca celananya, gue lari keluar ruangan. Dan ... teriakan Si Bos pun terdengar. "RAILA !! KAMU NGERJAIN SAYA YA ??!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD