Raila - 3

1241 Words
"Bos! Tungguin, dong! Bos! Jalannya cepet amat sih?" Si Bos cepet amat sih? Woi! Gue ngos-ngosan nih! Kalo aja bukan atasan, udah gue toyor kepalanya dari tadi. Lo tahu kenapa? Sebab gue kesel banget sama dia! Nyesel gue udah mikir si Dani baik, nyatanya gue mesti bayar makan kami di restoran tadi dengan memotong gaji pertama gue! Dasar sableng! Otak pengeretan mah ya gitu, gak ada niat baek buat sodakoh kali-kali. Kesal, gue membuka salah satu sepatu merepotkan ini dan dengan sengaja gue lempar ke samping Dani yang sedang khusyu jalan di depan. Dan yes, berhasil! Dani berhenti lalu menoleh ke belakang. Gue pura-pura melihat ke atas barangkali ada cicak lagi makan nyamuk, sambil berjalan ke arahnya. "Hei! Apa yang kamu lakukan?!" Gue pura-pura menatapnya bego, "kenapa Bos? Ada yang salah?" "Sepatu kamu ngapain dilempar ke depan saya?" Cari aman, gue pasang tampang terkejut yang terselip haru, "ya ampun! Jadi di sana sepatu saya? Makasih banyak, Bos! Saya udah nyari kemana-mana tadi, beneran lho?" "Ck, bukannya kamu lempar?" "Apa? Siapa bilang? Lagian nih ya, ini sepatu dikasih Vira, mana satu-satunya lagi, gak mungkinlah saya lempar, Bos nih ada-ada saja, hehe." "Saya gak percaya, kamu pasti sengaja kan?" Mataku sedikit mendelik padanya, emang gue sengaja, kampret! "Ya ampun, Bos! Saya masih sayang kerjaan saya lah, masa iya udah berani nimpuk atasan yang baik hati," sumpah! Gue bilang gini, tapi hati pengen muntah. Baik dari mananya? Makan aja gak mau traktir! Dani menghela nafas, lalu ia masuk ke dalam lift. Gue buru-buru mengekor di belakangnya. Bukannya gue gak bisa naik lift atau takut naik lift sendirian, cuman ya jujur aja gue takut kesasab. Salahkan saja gedung perusahaan yang terlalu besar dengan lantai yang gak sedikit, membuat gue kesulitan menghafal ruanga gue sama si Bos ada di lantai berapa. "Bos, masih marah ya?" "...." "Bos, marah bikin cepet tua lho?" "...." "Bos, kata orang penyebab darah tinggi tuh karena kebanyakan marah." "Bo-" "Diam kamu! Kuping saya panas." "Hahaha!" "Ngapain kamu ketawa?" "Sorry, kalau Bos panas, perasaan saya gak lagi merukyah setan dalam diri Bos deh!" "Ngaco kamu!" "Lho, saya serius lho?" "Saya gak kesurupan, ngapain dirukyah?" "Kan orang marah banyak setannya, bwahahaha!" Bret! Dani mengambil ikat rambut gue. Membuat mata gue melotot kaget, "eh Bos! Apa-apaan? Ngapain iket rambut saya diambil?!" "Biar kamu diam!" Gue mencebik kesal, rambut yang gue rapihkan mati-matian saat pagi hari yang ribut, kini sukses acak-acakan tak karuan. "Dih, gak mutu banget sih, diemin orang pake ngambil ikat rambut!" Mulut gue bersungut-sungut sambil sibuk merapikan rambut yang berantakan. "Hahaha!" Lah, sekarang si kampret Dani yang ngakak. "Ngapain Bos ketawa?" "Kamu lucu! Haha," jawabnya sambil memegang perut. "Saya gak lagi ngelenong!" "Haha, wajah kamu, ya ampun! Mirip ibu kostan yang lagi nagih bayaran!" Mata gue mendelik padanya diam-diam. Belum puas, tangan gue dikepalkan dan siap meninju kepalanya dari belakang. Gak tahu ada ilham darimana, Dani malah menoleh ke belakang. Spontan gue tepok-tepok tangan mode nangkap nyamuk. PROK! PROK! "Duh, napa banyak nyamuk gini ya?" "Nyamuk apaan? Ini lift, Raila! Mana ada nyamuk?" "Yeh, gak percaya! Nih, PROK!! tuh kan? Banyak nyamuk, untung aja saya sekretaris sigap jagain Bos." PROK!! PROK!! Gue tepuk telapak tangan tepat di samping telinganya, sampai Dani meringis. "Hei! Kamu mau rusak gendang telinga saya?" "Enggak, siapa bilang? Saya kan cuma jagain Bos dari nyamuk nakal." Dani menatap curiga, "kamu ngerjain saya lagi, ya?" "Enggak, kan Bos atasan saya, mana berani saya?" Huekk! Sumpah kalo bisa gue pengen jilat lagi ucapan gue barusan. Sebab, sejak gue jadi sekretarisnya Dani, gak terhitung gue ngerjain dia. Dani juga hanya menggelengkan kepala, lalu keluar dari lift menuju ruangannya. Ah sial! Gue lupa lihat nomor lantai ruangan ini. "Kamu udah cek jadwal saya siang ini?" Aish, gue lupa! Mana catatan gue? Mana?! Tangan gue sibuk mencari catatan agenda yang gue buat dengan bantuan si Vira. Dani berjalan dan duduk di kursi kebesarannya. "Nyari apa kamu?" "Bentar, Bos! Bos duduk aja dulu di sana, santai dikit dulu, OK?" Sial! Keringat dingin mulai keluar dari dahi, gimana ini? Masa hilang sih? Duh Vira bilang, agenda itu benda terpenting di dunia bagi seorang sekretaris. Mampus gue! Tangan gue masih sibuk mencari selama hampir 15 menit. Panik tentu saja, masa iya belum juga dapat gajian pertama, gue udah terancam dipecat sih? "Ekhm! La, nyari ini?" Dani dengan kampretnya mengeluarkan agenda keramat itu dari laci mejanya. a***y! Siapa pun tolong bantu gue nahan diri buat gak makan tuh orang! Dengan asemnya dia tersenyum miring, lalu terbahak-bahak. "Haha! Kena kamu!" Entah gue mesti bilang apa, kesal tingkat dewa! Sumpah! "Kaget ya, La? Kamu pikir kamu aja yang bisa ngerjain saya? Haha!" Kutu kupret! Rasanya saat ini juga kuku gue ingin segera menerkam wajah sok kecakepannya itu! "La, kok diam?" Dasar monyong! Gue kesel tahu! Males jawab, yang ada pengen makan tuh orang! Dani bangkit dan diam berdiri di depan gue yang masih mode diam. "La? Kamu marah?" "Mana bisa saya marah sama atasan! Duh, derita jadi karyawan mah gini!" Jawab gue sambil merebut agenda itu dari tangannya. "Jam 14.00 nanti, Anda ada meeting dengan pengusaha Eropa membahas kontrak kerja sama." "La, masa kamu marah sih? Kan saya hanya bercanda!" Iya, dan bercanda lo bikin gue jantungan! "Sebentar lagi klien datang, sebaiknya Bos siap-siap," jawab gue tanpa mempedulikan Dani yang terus bertanya. Ia lalu bersiap menuju lokasi pertemuan kami dengan klien. Selama mendampingi Dani, baru kali ini Dani terlihat dewasa. Bisa juga ya tuh anak serius kayak gitu? Dia sangat lihai dalam hal melobi. Dan berujung pada kesepakatan yang tentu saja menguntungkan perusahaan. Kami kembali ke kantor tepat pukul 15.30. Dani melonggarkan dasinya. "La, kamu lapar?" Duh, cobaan! Tadinya mau nyoba mode marah sama si Bos, tapi kalo godaannya makan, iman gue sedikit goyah. "La, ngomong dong! Biasanya kamu berisik." "Saya bilang lagi gak mood ngomong." "Tapi kan rasanya aneh, biasanya kamu berisik banget." Nih orang bener-bener minta dikasih bogem kali ya? Gue menatap nanar ke kepalan tangan gue yang nyatanya memang lebih kecil dari Dani. Kalo aja gue ngajak ribut, seratus persen gue kalah. "La, saya punya langganan resto yang enak banget, lho?" Anjir! Godaan lagi! Mana nih cacing mulai pada demo lagi! "Emang kenapa?" Jawab gue sambil sedikit meliriknya. Ia nampak menahan tawa. "Kita makan di sana yuk? Saya juga lapar." "Beneran, Bos?" "Iya," jawab Dani sambil mengangguk semangat. "Oke, saya juga lapar," paling gak bisa nahan jika urusan makan. Ayolah, lo juga tahu kan, kalo makan tuh di mana-mana emang nomor wahid. Dani merapikan lagi penampilannya dan mengambil kunci mobil. Sampai di tengah jalan, gue berhenti sejenak untuk memastikan sesuatu. "Tunggu, Bos!" "Kenapa? Berubah pikiran?" "Siapa yang bayar nanti?" Dani menahan tawa, kurang asem! Mentang-mentang sama orang kere! "Kenapa? Mau nambahin potongan gaji juga gak apa-apa," ucap Dani yang berhasil membuat hati gue ketar-ketir. "Gak ah, Bos. Kalau gaji saya dipotong, gak usah ngajakin makan!" "Haha, tenang saja, hitung-hitung permintaan maaf saya, kali ini kamu beneran saya traktir." "Yakin nih, Bos?" "Iya." "Porsi saya beda sama cewek lain, lho?" "Saya tahu, dan gak masalah." "Janji?" "Kamu curigaan banget sih? Bener, tapi dengan syarat," ucapnya. "Syarat apaan, Bos?" "Lain kali jangan pake mode diam kayak tadi!" "Emang kenapa?" "Kamu kayak orang sakit gigi, saya gak suka, berisik aja kayak biasanya." "Katanya Bos gak suka kalau saya berisik?" "Dalam hal tertentu saya suka." "Ambigu." "Apanya?" "Bos suka sama saya?" Aduh, ini mulut kalo nyerocos kok ya susah direm sih? Dani diam. Gue mukul-mukul mulut sendiri yang sering keceplosan ini. Tuhan, moga aja salah bicara barusan gak berujung petaka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD