Prolog
Dekapan erat mengejutkan Nayla, matanya seketika terbuka dan mendapati dirinya berada di ruang kamar hotel. Ingatan akan kejadian semalam kembali berputar di kepalanya, bagaimana ia diserang secara brutal oleh atasannya. Apa akhirnya ia ...?
Nayla menunduk, mendapati keadaannya kini begitu mengenaskan. Bahkan di balik selimut tebal itu, Nayla tidak mengenakan apa pun. Miris! Nayla terpukul, menyadari masa depannya telah hancur di tangan sang atasan dan ini semua gara-gara uang sepuluh juta yang ia terima dari rekan kerjanya. Siapa sangka jika ia akan dijebak oleh rekan kerjanya sendiri, seakan ia telah dijual pada sang atasan. Kurang ajar memang!
Sejujurnya, Nayla tidak ingat sepenuhnya yang terjadi semalam. Yang mampu ia ingat cuma waktu dirinya masuk ke kamar sang atasan untuk mengantarkan berkas dan berakhir diterjang oleh si tua bangka itu di atas kasur. Setelah itu Nayla tidak ingat apa pun, lalu kini ia mendapati dekapan erat lengan kokoh yang memeluknya dari belakang. Pasti itu si tua bangka!
Nayla merasa jijik! Ia meremas selimut yang membungkus tubuhnya, menariknya perlahan. Nayla ingin cepat kabur dari sini, terlebih ketika ia merasakan embusan napas di tengkuknya. Nayla semakin jijik, rasanya ia ingin membunuh si tua bangka yang sudah merengut kesuciannya!
Tapi kenapa tidak?
Tiba-tiba saja setan dalam dirinya memprovokasi. Nayla yang kalud, kecewa dengan keadaannya yang menyedihkan, tak berpikir ulang untuk merealisasikan ide gila itu. Ia bahkan dengan berani mengambil bantal di bawah kepalanya dan dengan gerakan cepat membenamkannya ke kepala laki-laki yang memeluknya. Tak ada perlawanan, mempermudah Nayla melenyapkan nyawa laki-laki tersebut.
Namun, keraguan menyelinap, bayang-bayang ketakutan akan menjadi tersangka pembunuhan membuat tangan Nayla yang semula sekuat tenaga menekan bantal, perlahan mengendur. Ia sadar akan konsekuensi yang akan didapat setelah melakukannya dan ia tidak sanggup membayangkan akibatnya. Nayla terlalu takut dan pengecut, ia mengurungkan niat melenyapkan nyawa laki-laki yang telah menodainya dan memilih bergegas pergi dari kamar itu setelah memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai.
Sementara laki-laki yang hampir dilenyapkan nyawanya oleh Nayla, perlahan membuka mata setelah mendengar suara pintu ditutup yang menandakan Nayla sudah kabur dari kamar tersebut. Laki-laki itu menyingkirkan bantal yang berada di atas wajahnya, beranjak bangun. Ia mendengus pelan, menyadari sosok wanita yang menemani pergelutan panas tadi malam sudah kabur.
Sebenarnya, ia sudah terjaga sedari tadi. Bahkan sebelum wanita itu bangun. Ia juga sengaja pura-pura tetap terlelap waktu wanita itu nyaris membunuhnya, hanya untuk mengetes sejauh mana keberanian wanita itu. Sudah ia duga jika wanita lemah itu tak akan seberani itu melakukan hal yang jelas akan membuatnya semakin rugi.
Laki-laki itu beranjak dari tempat tidur, ketika netranya mendapati sebuah kartu tanda pengenal di atas lantai dan memungutnya. Ia menatap seksama foto wanita di kartu pengenal itu, wanita yang sama dengan wanita yang baru saja kabur. Melihat senyum wanita itu di foto, membuatnya kembali terbayang kejadian semalam waktu wanita itu menerobos masuk ke kamarnya.
"Tolong aku!" Wanita dengan pakaian acak-acakan menerobos masuk ke kamarnya, tepat ketika ia baru saja masuk dan berniat menutup kembali pintu kamar hotel yang ia singgahi. "Selamatkan aku!"
Wanita itu begitu ketakutan, napasnya memburu dengan air mata bercucuran. Sementara dirinya hanya bisa terpaku memandangi penampilan wanita itu dari atas sampai bawah, sangat mengenaskan. Wanita itu hanya memakai tank top dengan rambut yang acak-acakan seperti baru bangun tidur.
"Perlu bantuan?" Merasaa kasihan, ia mencoba menawarkan bantuan. "Aku bisa panggilkan staf keamanan, atau polisi kalau kamu mau?"
Wanita itu menggeleng, masih terlihat ketakutan meski perlahan ia mencoba untuk tenang. "Aku hanya butuh tempat bersembunyi beberapa saat, setelah itu aku akan pergi. Jadi izinkan aku tetap di sini, tanpa memberitahu siapa pun."
"Baiklah, tapi aku perlu istirahat—"
"Jangan pedulikan aku!" potong wanita itu cepat.
Ya, ia pun mengiyakan dan mengabaikan wanita itu yang tetap memilih berdiri di belakang pintu. Ia melakukan segala aktivitas di kamar itu tanpa terpengaruh dengan adanya wanita itu. Namun, beberapa saat kemudian ia mulai terusik ketika melihat tingkah aneh wanita itu.
"Ada apa?" tanyanya, mencoba untuk peduli.
Wanita itu terlihat ragu, tapi perlahan tetap mendekat padanya yang berada di tepi ranjang. "Boleh aku minta air? Aku sangat haus, tenggorokanku serasa terbakar."
Ia sama sekali tidak curiga dan memberikan sebotol air mineral di atas nakas kepada wanita itu, yang langsung dihabiskan. Sepertinya wanita itu memang benar-benar kehausan. Namun, gelagatnya makin aneh, kali ini membuatnya kembali bertanya. "Masih haus?"
Wanita itu mengangguk. "Tenggorokanku benar-benar kering, badanku juga serasa panas, rasanya seperti ...." Wanita itu terlihat gelisah, mengusap tengkuk dan keningnya berkali-kali. Ia kesulitan mendeskripsikan apa yang tengah ia alami, membuat laki-laki di depannya merasa curiga akan sesuatu. "Bolehkah aku memakai kamar mandi? Aku pikir, aku harus—"
"Tentu." Ia mempersilakan wanita itu memakai kamar mandi.
Namun, setengah jam berlalu, wanita itu tidak kunjung keluar dan membuatnya cemas. Takut terjadi yang tidak diinginkan, lantas ia mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada respon, pikiran buruk mulai berkecamuk. Tak ingin terlibat kasus dengan orang asing, ia tanpa pikir panjang mendobrak pintu kamar mandi dan terkejut mendapati wanita itu menenggelamkan diri di bathtub.
"s**t!" Ia berlari mendekat, menarik paksa tubuh yang terendam air. "Are you crazy!"
Wanita itu terlihat tak berdaya, tampak tersiksa. "Tolong aku," rintihnya frustrasi. "Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku, tapi ini sangat menyiksa, sekujur tubuhku seperti disengat api."
Ia semakin curiga, lalu bertanya pada wanita itu untuk memastikan. "Apa yang kamu minum sebelumnya? Kamu minum alkohol?"
Wanita itu menggeleng. "Hanya orange juice. Mereka bilang itu cuma orange juice."
"Mereka?" Alisnya terangkat, semakin yakin dengan dugaanya. "Kamu kenal seseorang yang memberikannya—" Ucapannya terputus karena wanita di depannya tanpa ba-bi-bu menyambar bibirnya.
Ia terpaku, terkejut. Tidak menyangka jika wanita yang ia yakini dalam pengaruh obat perangsang itu kini nekad melampiaskan hasratnya, pada dirinya, orang yang tidak dikenal. Bahkan mereka baru pertama kali bertemu. Merasa kasihan, ia tentu saja menghentikan aksi wanita itu.
"Jangan, jika kamu tak ingin menyesal," ucapnya, berniat beranjak berdiri tapi wanita itu menahannya.
"Kamu tahu apa yang terjadi padaku, 'kan?" Sorot mata penuh harap si wanita membuatnya tertegun. "Bantu aku, bantu aku mengakhirinya, aku sangat tersiksa. Kumohon."
Awalnya ia bersikeras menolak permintaan si wanita, tapi wanita itu terus memohon dengan suara putus asa. Ia tidak tega melihat wanita itu tersiksa, hingga akhirnya ia pun menyanggupi permintaannya. "Baiklah, tapi jangan salahkan aku, ini semua kamu yang meminta."
Laki-laki itu tersenyum miring, mendapati kenyataan pagi ini ia baru dicampakkan oleh wanita yang semalam memohon-mohon padanya. Ia kembali menatap kartu tanda pengenal di tangannya, tersenyum penuh arti saat membaca nama yang tertera di kartu tersebut.
"Nayla Anindiya, jangan harap kamu bisa kabur setelah apa yang kamu lakukan semalam," ucapnya. Lalu ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Halo. Kirimkan data karyawan kantor atas nama Nayla Anindiya, sekarang."
"Baik Pak Raven." Orang diseberang telepon langsung mengiyakan perintah laki-laki itu yang tak lain, Ravendra Sebastian. CEO baru di kantor Nayla.