Bu Sartini berdiri. “Ibu ke dalam dulu, ya.” Sebelum melangkah, beliau berkata. “Kamu ditunggu dan diinginkan, Nay.” Beliau menepuk pelan bahu Nayla lalu melangkah pergi, meninggalkan Nayla yang hanya tertunduk diam. Raivan mengangguk hormat pada wanita paruh baya itu, lalu melangkah mendekati Nayla yang duduk di bangku taman. Ia bersimpuh ketika tepat di hadapan istrinya. “Aku menemukan kamu, Nay,” suara Raivan pelan. Nayla menghela napas. “Sebaiknya kamu pergi.” “Aku ke sini untuk menjemputmu pulang.” Pandangan Nayla terangkat perlahan. Matanya menatap lelaki itu dalam-dalam, teduh tapi penuh luka yang belum sepenuhnya sembuh. “Bhanu butuh kamu.” Hanya tiga kata, tapi cukup untuk merobohkan pertahanan yang selama ini Nayla bangun. d**a itu bergetar—mengadu rindu pada anaknya. Namu

