1. The Greatest Goal

1634 Words
"Kenapa sih lo ngebet banget pengen bawa ni laki ke acara gue?" Jovi membanting kertas di tangannya ke atas meja. Kertas berisi data-data Nawasena Tandayu yang sengaja Domi sodorkan padanya. Pasalnya, tidak mudah mendatangkan seorang Nawasena Tandayu ke sebuah acara, apa pun, termasuk talkshow. Pria matang mapan nan dewasa itu hanya mau didatangkan ke acara seminar dan workshop bermutu, di mana keahliannya sebagai seorang pematung akan jelas berguna. Bukan acara bincang-bincang santai nista berlumur gosip murahan yang jelas akan menurunkan kredibilitasnya sebagai seniman sejati. "Lagak lo, Jop!" sembur Domi dengan tatapan setajam bulu landak. "Acara lo, acara lo! Nggak inget siapa yang bikin talkshow kacangan lo jadi talkshow kelas atas? Bermutu. Bergengsi. Berkelas. Bonafit-" Jovi cepat-cepat memiting leher Domi dan membekap mulut gadis itu, sebelum gadis gila itu meneruskan sumpah serapahnya. "Gandeng, Nenek Sableng! Lagian coba lo pikir pake otak lo yang cuma nyisa secuil itu. Emang ini orang tuh siapa, sih? Apa hebatnya dia sampe perlu diundang ke acara gue? Bikin acara gue jadi ternoda tau gak?" *gandeng = berisik Domi menginjak sepatu basket mahal kesayangan Jovi dan berhasil membebaskan diri dari pitingan pria bertubuh tinggi tegap itu. "Eh, elo tuh yang bego, Dower! Lo nggak tau pengaruhnya Si Mas Ganteng ini di kalangan kaum gue? Ini orang lagi nge-hits banget. Dari anak perawan yang belom tau cara masang kotek sampe nenek keriput yang kalau bugil juga udah nggak ada seksi-seksinya, semua bakal horny kalo liat dia." "Lo kali yang horny!" Jovi menjitak kepala Domi. Gemas dengan mulut Domi yang berantakan. "Gue sih jelas. Jangan ditanya lagi." Domi mengerling nakal. "Najis gue sama lo lama-lama." Jovi menutup wajah Domi dengan tangannya. "Nyesel gue dulu pernah naksir sama lo. Sumpah! Sinting lo nggak bisa ditolong lagi, Dom. Kronis. Menahun." Tidak ada yang salah dari seorang pria yang jatuh hati pada pandangan pertama ketika melihat Domi, yang salah adalah mereka yang terus jatuh cinta pada Domi setelah mengenalnya dalam kurun waktu yang cukup lama. Beruntung Jovi terbebas dari kutukan, hanya dalam waktu beberapa bulan, Tuhan memberikan hidayah padanya. Entah apa pula kekurangan seorang Jovi Sastro? Dia muda, tinggi, tampan, bertubuh atletis, bermasa depan cerah, pandai bergaul, dan masih banyak sederet kelebihan Jovi lainnya. Tapi satu kali pun, Domi tidak pernah sampai khilaf dan berpaling padanya. Domi tidak pernah menganggap Jovi sebagai pria. Bukan hanya Jovi sebenarnya, tapi semua laki-laki yang bersinggungan dengan Domi, tidak pernah masuk hitungan baginya. Tidak pernah cukup baik untuk bisa menggugah seleranya. "Diem lo, Koreng!" teriak Domi sambil menepis tangan Jovi dari wajah mulusnya. "Tangan lo bau cangcut si Udin!" "Otak lo emang keseleo, ya! Gimana caranya tangan gue bau cangcut si Udin?" Jovi meringis membayangan Udin, OB terbaik sepanjang masa yang begitu legendaris di Forty Media. "Mana gue tau, lo bedua adu remes kali." "Bangke!" maki Jovi. "Jopo Sutopo, gue kagak mau tau. Pokoknya lo harus mau. Dua taon lebih gue nunggu kesempatan buat wawancara dia. Gue aja sampe bela-belain beresin kuliah gue cuma demi bisa duduk satu frame sama dia. Gue gak bakal biarin siapa pun, apalagi elo, gagalin The Greatest Goal in My Life. Paham lo?" "Kalo gue tetep gak mau?" tantang Jovi. "Gue bakal ngangkang di depan Si Bewok supaya dia nge-kick lo dari sini," ancam Domi kejam. Sapto, Si Bewok, adalah produser With Us. Acara talkshow yang dibawakan oleh Jovi sejak tiga tahun terakhir, dan Domi yang muncul sebagai penyegar setahun belakangan. "Sial, lo! Nggak bakal bisa!" "Lo nggak tau udah berapa lama dia ngemis buat bawa gue ke apartemennya?" Domi mengerling licik ke arah Jovi. "Sekali gue iyain maunya dia, kelar idup lo, Jopo Sutopo." "Oke, oke! Panggil dia ke sini. Kalo perlu lo pake full 2 jam cuma buat dia." Lagi-lagi Domi berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Padahal jangankan membuka kakinya untuk Sapto. Membayangkan Sapto mencium bibirnya saja Domi tidak sudi. Produser yang satu itu memang sering tidak sadar diri. Perutnya yang membuncit saja sudah dapat menggambarkan dengan jelas berapa lama dia telah hidup untuk menimbun lemak di sana. Tapi pria itu masih sering bertingkah layaknya pemuda tegap gagah yang tampan. Padahal istrinya saja mengaku ingin berselingkuh sebanyak-banyaknya dengan para talent yang sering berada di bawah acara Sapto. "Bagus. Makin banyak jatah dia tampil, gue makin bisa ngabisin banyak waktu buat brief sama dia. Body dia tuh raba-able and jilat-able banget tau." Domi sudah tidak sabar menunggu waktu seperti ini sejak pertemuan pertamanya dengan Nawasena Tandayu yang berujung sakit hati. Maka begitu mendengar pria itu kembali ke Indonesia, Domi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. "Serah lo, Dom. Serah! Kalo perlu besok langsung live." "Eh, Bego! Kalo besok langsung live kapan gue brief-nya?" "Jangan tanya gue. Ngomong langsung sana sama Si Bewok. Heran gue, bisa terancam dari acara gue sendiri. Padahal gue yang bawa lo ikut masuk ke sini. Dasar gak tau diri lo, Dom." "I love you, Jopo!" Bukannya tersinggung dikatai oleh Jovi, Domi malah menghambur dan memeluk Jovi, bahkan menghujani pria itu dengan ciuman bahagia. Kalau sudah begini, Jovi bisa apa? Sebanyak apa pun Domi membuatnya naik darah, selalu ada momen gadis itu menjadi sedemikian manis. Kalau sudah begini, Jovi hanya bisa balas memeluk Domi dan mengacak rambut gadis itu. Berdoa dalam hati semoga suatu saat Tuhan membuat gadis sinting ini amnesia dan merontokkan semua kesintingan di otaknya. *** "Kita tuh ngapain sih pake mampir ke sini segala? Nggak penting banget tau!" Domi tidak berhenti menggerutu setelah mereka meninggalkan Museo del Prado, museum paling terkenal di Spanyol. Sejak pagi Domi sudah misuh-misuh karena tahu jadwal bersantainya terganggu dengan tur dadakan. Hari ini, harusnya para model mendapatkan jatah libur satu hari sebelum kembali ke Indonesia. Dan seharusnya, Domi bisa menghabiskan waktunya untuk hal yang lebih berguna. Bukannya malah terjebak di sebuah museum tua dan mendengarkan cerita sang pemandu wisata tentang sejarah patung-patung ini. Kemudian sekarang dia masih harus menuju tempat workshop untuk belajar membuat patung. "Ulahnya Breeze. Dia udah lama banget ngidam pengin liat Prado, mumpung ke Madrid sayang kalo nggak mampir. Dan gak tau gimana caranya. Voila!" Tira bertepuk tangan denan gaya dramatis. "Jadilah tur dadakan buat kita semua." "Setan tu anak!" Domi memaki kecil sambil terus berjalan kaki mengikuti rombongan mereka yang sudah jauh di depan. "Udahlah, nggak bakal lama juga sih kita di sini. Abis dari sini baru lanjut ke Sunset," ujar Tira santai. Domi dan Tira tidak jauh berbeda, ke mana saja mereka pergi, ujung-ujungnya akan selalu mendarat di sekitaran club malam. Lagipula itu memang hal yang wajar bagi seseorang yang berprofesi sebagai seorang model seperti mereka ini. "Iye, gue tau! Tapi tetep aje suntuk, Ra!" "Sst! Cepetan! Tinggal kita yang belom masuk, udah diliatin tuh." Tira mengedik ke arah gedung bergaya modern yang terlihat sangat artistik, tempat rombongan mereka sudah lebih dulu menghilang di balik pintu utama berkaca besar. Hanya tinggal tersisa pengawas mereka yang galak sedang memandang tajam pada keduanya. Domi menyeret langkahnya dengan kesal. Berharap tiba-tiba ada kebakaran, atau gempa bumi, atau perampokan, atau apa saja yang dapat membebaskannya dari situasi membosankan semacam ini. Begitu kakinya menginjak ruang workshop, tiba-tiba perhatiannya langsung terpaku pada satu hal. Suara dari seseorang yang tengah berdiri di depan sana membelai telinganya. Sang pematung. "Selamat datang. Saya senang sekali bisa ..." Entah apa kata-kata selanjutnya, Domi tidak menangkapnya. Matanya terkunci pada sosok pria itu. Perlahan, tanpa perlu paksaan, Domi mengambil tempat di meja kosong yang masih tersedia. Duduk bertopang dagu ke meja sambil tetap memandangi sang pematung. Suara dan tatapan pria itu, caranya berbicara, caranya bergerak, caranya tersenyum, semuanya seolah membangkitkan sesuatu yang selama ini tertidur dalam diri Domi. Domi terhipnotis. "Hari ini kita akan bersama-sama belajar membuat sebuah patung, yang sederhana saja. Saya akan mulai dengan memperkenalkan alat dan bahan yang akan ..." Domi semakin terbuai. Jauh dan lebih jauh lagi. Dalam dan semakin dalam. Baru kali ini Domi kehilangan suaranya dan bisa duduk diam dengan tenang selama lebih dari sepuluh menit tanpa berkomentar. Matanya hanya terus terpaku dan mengikuti ke mana sang pematung bergerak. Hingga dengan bodohnya Domi tidak sadar jika pria itu sudah sampai di mejanya. "Kenapa tidak mencoba membuat apa-apa?" sapa sang pematung di depan meja Domi. Heran melihat Domi masih saja diam termangu sementara rekan-rekannya yang lain sudah sibuk mencoba membuat patung seperti yang pria itu contohkan. Domi menengadah ke arah sang pematung. Menatapnya tanpa berkedap. "Nggak bisa," balas Domi setelah menemukan suaranya. "Pasti bisa kalau mencoba. Mari saya bantu." Pria itu mulai mengambil tanah liat di atas meja Domi dan memberinya contoh. "Seperti ini. Mudah, bukan?" "Susah. Nggak bisa. Nggak minat juga." Domi menjawab dengan senyum manis dan muka setengah linglung. Enakan liatin muka lo. Enakan pegang-pegang lo daripada pegang-pegang tanah liat kayak gitu. "Kalau begitu tidak apa. Diam saja juga tidak masalah." Pria itu berlalu begitu saja dari meja Domi. Domi ingin berteriak mencegahnya. Namun suaranya lagi-lagi tidak keluar. Tapi bukan Domi namanya kalau pantang menyerah. Tepat ketika workshop berakhir, dan para rekannya sudah meninggalkan ruangan, Domi memilih tetap tinggal di sana. Domi tidak peduli jika ia ditinggalkan sendirian, toh setelah ini memang acara bebas, dan dia tidak akan tersesat. Domi berjalan berani mendekati sang pematung yang masih sibuk membereskan perlengkapannya. "Hai! Gue Domi." Domi mengulurkan tangannya pada pria itu. Pria itu menatapnya heran. Dingin. "Ada yang bisa saya bantu?" "Lo sibuk?" Domi mulai menebarkan pesonanya. "Ya." Pria itu mengangguk singkat. "Ada waktu buat ngobrol sama gue? Temenin gue ngopi mungkin." "Maaf saya sibuk. Saya tidak punya banyak waktu untuk bersantai." Suaranya tenang, datar. Namun jelas pria itu tidak menyukai ajakan Domi. Bahkan mungkin terganggu. "Bosenin banget idup lo," cibir Domi tanpa berpikir. "Saya menikmatinya." "Apa lo selalu nolak semua tawaran semacam ini? Atau lo pilih-pilih?" tanya Domi penasaran. Seumur-umur, Domi tidak pernah ditolak oleh pria jenis apa pun. "Saya tidak pernah menanggapi tawaran yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya." Dan saat itu. Detik itu. Domi bersumpah dalam hatinya akan membuat pria itu tidak bisa menghindar dari ajakannya lagi. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD