BAB DUA PULUH DUA

2437 Words
“Maaf tadi aku menuduhmu.” , Sora menjadi yang pertama membuka suara karena atmosfer yang tidak nyaman ini begitu tak tertahankan baginya.  “Maaf juga telah mengikutimu dari belakang tanpa memberitahumu.” , balas Rei yang ikut meminta maaf. Sora hanya diam mendengarkan.  “Aku tidak mendengar apapun. Sungguh. Jarakku saat mengikutimu di belakang tidak sedekat itu.” , tambah Rei takut-takut jika Sora akan salah paham lagi padanya.  Sora bernafas lega mendengar pengakuan dari Rei. Itu artinya ia bisa bersikap seperti biasanya pada Rei, “Tidak apa.” , jawab Sora dengan sedikit senyum di akhir kalimatnya.     Setelah semua pengakuan itu, perasaan canggung dan tidak nyaman pun mulai memudar. Suasana hati dan pikiran mereka mulai pulih kembali seperti biasanya. Mereka berdua tidak menyangka betapa kuatnya kekuatan dari permintaan maaf.  “Aku lapar. Jibe kajja (Ayo pulang).” , ajak Rei dan langsung diiyakan oleh Sora dengan anggukannya.     Mereka kembali berjalan beriringan sambil menuntun sepeda masing-masing. Dinginnya udara malam di musim gugur malam ini mulai terasa lebih dingin saat angin malam bertiup dari arah laut Pasifik selatan melewati jembatan mengikuti alur sungai Han.     Panasnya musim panas sepertinya benar-benar berlalu bulan ini. Tidak seperti bulan lalu yang masih tersisa panasnya musim panas pada waktu siang hari, tetapi udara dingin menyeruak di pagi hari dan sore hari.     Sora menenggelamkan sebagian wajahnya ke dalam syal abu-abu muda yang ia lilitkan pada lehernya sejak ia keluar dari tempat les tadi.     Rei yang juga menyadari angin yang bertiup dari arah samping Sora segera memperlambat langkahnya dan mengambil posisi di samping sisi lainnya Sora untuk menghalau angin yang bertiup agar tidak langsung mengenai Sora.  “Jadi kau tadi menemui Yuri?” , tanya Sora berusaha mencari topik pembicaraan sekaligus ingin menghilangkan rasa penasarannya. Tetapi ada sedikit rasa kesal juga saat menanyakannya, karena ia merasa dirinya  jadi terlihat begitu ikut campur.  “Hm, iya.” , jawab Rei singkat, tidak ingin membicarakan soal itu untuk saat ini.  Sora berusaha tersenyum walaupun hatinya serasa terbakar, “Wah, sepertinya kalian bersenang-senang.” , puji Sora berusaha terlihat biasa saja.  “Iya.”     Hanya mendapat jawaban-jawaban singkat dari Rei membuat Sora tidak ingin berbicara lagi. Ia merasa diabaikan dan seperti seorang pengganggu. Ia pun memutuskan untuk tidak bertanya apapun lagi.  “Jadi bagaimana hari pertamamu di tempat les?” , ganti Rei yang bertanya.  “Aku sedikit terlambat.” , Sora nyengir dengan canggung.  Rei membuka mulutnya tidak percaya dengan apa yang baru saja Sora katakan, “Mwo (apa)? Kau terlambat di hari pertamamu?” , alih-alih menjawab, Sora mengalihkan wajahnya merasa sedikit malu.  “Bagus! Aku bangga padamu. Tepat seperti yang aku perkirakan.” , sarkas Rei mulai mengundang rasa jengkel Sora.     Merasa tersindir dengan perkataan Rei yang benar-benar terdengar seperti sebuah ledekan baginya, mata Sora menyipit menatap Rei penuh ancaman dan dengan sengaja sikunya menyikut pinggang Rei yang berhasil membuat Rei mengaduh. Mendengar u*****n Rei saat merasa kesal dengan kekerasan kecil yang ia lakukan, membuat senyum di wajah Sora kembali. “Jadi bagaimana kau bisa bersama Seowoo sunbae tadi?” , tanya Rei berusaha terlihat biasa saja.  Sora mengangkat alisnya, “Aku bertemu dengannya di tempat les. Ternyata dia sudah lama mengambil kelas  tambahan disana.”  Rei mengangguk-angguk mengerti, “Hmmm, sepertinya kalian akan lebih sering bertemu, ya?”  “Yah, begitulah.”  “Josimhae (berhati-hatilah), mungkin dia akan tertarik padamu.”  Mendengar peringatan Rei yang terdengar seperti omong kosong bagi Sora itu mengundang tawanya, “HAHAHAHA. Konyol sekali. Museun soriya (Apa maksudmu)?~ Mana ada hal seperti itu. Aniya, aniya (tidak, tidak).”  Melihat Sora yang justru tertawa saat ia memperingatknanya, Rei terheran-heran. Ia tidak mengerti di bagian mana dari peringatannya yang terdengar lucu, “Na jinjjaya (aku serius).”  “Ya (Hei), kalau begitu apa kau tertarik padaku? Kita kan sudah sering bertemu.”  Rei tertegun mendengar hal itu. Ia merasa dirinya telah menggali lubang untuk dirinya sendiri.  Sora tersenyum miring, “Igeo bwa (Lihat, kan)? Hal seperti itu mana mungkin terjadi. Lagipula, Seowoo hanya memintaku untuk menjadi temannya.” , jelas Sora.  “Menjadi temanmu? Kenapa?” , Rei menatap Sora tidak percaya.  Sora mengangkat bahunya, “Molla (Tidak tahu). Mungkin karena dia tahu aku ini memenag teman yang baik.” , jawab Sora dengan tersenyum penuh percaya diri.  “Ha! Kau jangan membuat lelucon yang anjing pun pasti akan tertawa mendengarnya.” , ledek Rei.  “Tunggu sampai dia mengetahui sifat aslimu. Aku yakin dia pasti akan diam-diam menjauhimu dengan perlahan.” , tambah Rei.  Alis di wajah Sora langsung menukik ke bawah mendengar semua perkataan Rei yang benar-benar membuatnya jengkel, “Memangnya ada apa denganku?”  “Mudah marah, galak, tukang protes, kasar-” , belum selesai Rei dengan kalimatnya, sebuah pukulan menghantam tepat mengenai pinggang kirinya.  “Ya (Hei)! Apha (sakit)!” , protes Rei sambil menghentakkan kakinya.  “Geureonikka mal josimhaeyaji (Makanya perhatikan kata-katamu)!”  ”Ah molla (Ah masa bodoh)! Na baegopa (aku lapar). Meladeni petarung otak udang sepertimu hanya akan membuatku semakin lapar.” , Rei menaiki sepedanya dan meninggalkan Sora di belakangnya.  “Ya (hei)! Kachiga (ayo bareng)! Aish.” , Sora juga bersiap menaiki sepedanya dan mengayuhnya secepat yang ia bisa untuk menyusul Rei yang sudah pergi lebih dulu.     Mendengar terakan Sora di belakangnya, Rei memperlambat kayuhannya agar Sora bisa menyusulnya segera. Mendengar suara teriakan Sora yang berada di belakangnya memanggil-manggil namanya, membuat senyum di wajahnya tak bisa ia tahan. Hatinya merasa senang walaupun mungkin dirinya terlihat sedang merajuk oleh Sora.  ***     Saat sudah terlihat tanjakan menuju rumah mereka, Sora dan Rei menghentikan sepeda mereka dan turun untuk menuntunnya menaiki tanjakan yang tidak terlalu terjal tersebut. Tempat tinggal mereka berada di deretan perumahan yang ada sudut kota. Walaupun masih berada di kawasan Seoul dan tidak terlalu jauh dengan jembatan penghubung transportasi juga gedung-gedung tinggi milik perusahaan-perusahaan besar, lingkungan rumah Sora dan Rei tergolong lumayan sepi dan jauh dari hingar-bingar bisingnya kehidupan perkotaan pada umumnya.     Terbukti, malam hari ini yang tadinya masih tergolong ramai di trotoar jalan-jalan yang mereka lalui tadi sebelum berbelok menuju jalanan perumahan, sekarang ini sudah sunyi dan hanya sesekali suara sirine mobil polisi dan ambulan yang mengaung dan menggema terdengar hingga ke sudut-sudut kota. Mereka sendiri pun bisa mendengar dengan jelas suara decitan kampas rem dengan ban sepeda saat mengerem dan juga langkah kaki mereka yang terdengar berisik karena sunyi dan tenangnya lingkungan ini.     Rumah mereka tepat di atas tanjakan rendah di sisi sebelah kanan jalan. Rumah Sora tepat berada di akhir tanjakan dan rumah Rei tempat berada di sebelahnya.  “Ibu dan ayahmu pergi makan malam perusahaan dengan rekan-rekan kerja ayahmu.” , ujar Sora saat ia sudah berada di depan gerbang rumahnya pada Rei yang masih berjalan menuju pintu gerbang kecil khusus rumahnya yang hanya muat satu orang.  “Benarkah? Ya sudah.” , jawab Rei malas karena dirinya sudah terlalu lelah dengan semua kegiatan yang ia lakukan hari ini. “Ibumu memasak tangsuyuk (tumis daging asam manis).” , tambah Sora.  Rei yang baru membuka pintu gerbang langsung menatap Sora,  “Mau makan bersama?”  Senyum di wajah Sora langsung mengembang, “Aku akan datang dalam lima menit.”     Mereka pun masuk ke rumah masing-masing dengan perasaan senang. Setelah meletakkan sepedanya pada dinding setinggi dua meter, pembatas antara rumahnya dengan rumah tetangga sebelah dekat garasi.     Setelah meletakkan tasnya dan mengganti pakaiannya menjadi lebih santai, Sora langsung bergegas menuju tempat Rei.     Tepat saat Sora menutup pintu gerbangnya, ponsel miliknya berdering oleh sebuah panggilan masuk yang tertera nama ‘Appa’ pada layar ponselnya. Namun panggilan masuk itu berakhir begitu saja karena tidak ada yang menjawab, dan tidak lama kemudian sebuah notifikasi pesan masuk dari kontak yang sama yang menelponnya tadi, yaitu ayahnya.  ***     Di lain tempat, ayah Sora tengah terjebak dalam mobilnya, menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi kembali hijau. Menunggu lampu lalu lintas berubah warna memang selalu menjemukkan saat tubuh sudah terlalu lelah bekerja dua hari tanpa henti.     Di tengah rasa jenuhnya, sebuah notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatiannya sejenak. Dengan agak malas, ia meraih ponselnya yang berada di atas tas kerjanya yang ia letakkan pada kursi di sampingnya.     Rupanya sebuah pesan dari dokter profesor di rumah sakit tempatnya bekerja yang mengirimkan foto seorang wanita yang terlihat berumur sekitar tiga puluhan dengan make up berlebihan, berusaha untuk menutupi umurnya dengan riasan di wajahnya.  Ini anak pamanku. Dia seorang wanita karier dan belum menikah. Mungkin kau bisa menemuinya jika ada waktu. Pamanku memintaku untuk mencarikannya seorang pasangan karena umurnya sudah seharusnya menikah.    Hal ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Dokter profesor yang membimbingnya saat dirinya masih magang dulu selalu mencoba menjodohkannya dengan wanita dari berbagai kalangan dan status, walaupun ia tidak pernah meminta hal-hal seperti itu.     Ayah Sora menghela nafas panjang saat membaca pesan tersebut, da memilih kata-kata dengan hati-hati saat mengetikkan pesan balasan agar tidak menyakiti perasaan pria tua tersebut.  Selamat malam, gyosu-nim (profesor). Choisonghabnida (Saya mohon maaf), tapi saya sudah tidak tertarik untuk menikah lagi. Saya sudah cukup sibuk karena pekerjaan saya, sampai-sampai saya tidak memiliki cukup waktu bersama putri saya. Mohon pengertiannya.     Setelah mengirimkan pesan balasan, ia melemparkan ponselnya kembali ke tempatnya tadi dan  menyenderkan kepalanya pada bantalan kursi kemudi yang terbuat dari busa keras yang sama sekali tidak membuatnya nyaman dan rileks. Dalam pikirannya, ia merasa sedih karena telah membiarkan putrinya melakukan semua hal sendiri. Pernah terpikirkan beberapa kali untuk membawa ibunya tinggal di rumahnya untuk menemani Sora, namun kondisi kesehatan ayahnya yang tidak baik, mengharuskannya tetap tinggal di desa yang kualitas udaranya jauh lebih baik daripada di kota.     Pemikiran untuk mempekerjakan seorang asisten rumah tangga juga tidak jarang terbesit dalam pikirannya, namun, saat membicarakannya dengan Sora, putrinya tersebut menolak. Rupanya putrinya lebih nyaman tinggal di rumah seorang diri daripada bersama seseorang yang asing dan yang akan memperlakukannya bak tuan putri hanya karena digaji.     Mengingat jawaban Sora yang tidak sesuai dengan harapannya tersebut, membuatnya membayangkan betapa lamanya dirinya meninggalkan Sora seorang diri hingga Sora merasa nyaman dengan kesendiriannya itu.     Setelah perceraiannya dengan ibu Sora, ia tidak pernah sekalipun berniat untuk mencari pengganti. Selama ia disibukkan oleh pekerjaannya seperti ini, ia tidak berpikir akan ada wanita yang mau bersabar menghadapi hal itu.     Rasa cemas akan berakhir sama seperti yang ibu Sora lakukan adalah salah satu alasan utama dirinya memilih untuk menjadi orangtua tunggal untuk putrinya. Ditambah lagi, Sora yang tertutup dan lebih nyaman sendirian, pasti tidak akan mudah baginya untuk beradaptasi dengan kehadiran orang baru yang sama sekali belum pernah ditemuinya tiba-tiba akan tinggal bersamanya untuk waktu yang lama. Memikirkan kemungkinan ketidaknyamanan Sora akan hal itu, menambah tekad pada niatnya untuk hanya hidup bersama Sora.     Memikirkan tentang putrinya tersebut, terlintas sebuah ide dalam pikirannya. Adalah hal yang jarang terjadi dirinya pulang lebih awal, oleh karena itu ia berniat untuk makan malam bersama Sora malam ini.     Dengan perasaan senang, ia meraih ponselnya dan mencari kontak putrinya untuk kemudian menekan dial panggilan.  TUT TUT TUT     Ayah Sora menunggu dengan sabar, namun, ia tidak mendapatkan jawaban dari seberang sana. Berpikir jika mungkin Sora sedang jauh dari ponselnya sebentar untuk ke kamar mandi misalnya, ia pun berinisiatif mengetikkan sebuah pesan pada putrinya tersebut.  Hari ini appa pulang lebih awal. Ayo kita makan malam bersama. Appa akan membelikan ayam goreng.     Tepat setelah ia selesai mengetikkan pesan pada putrinya dan mengirimkannya, lampu lalu lintas segera berganti warna menjadi hijau yang menjadi tanda para pengendara sudah boleh kembali melajukan kendaraan mereka.  ***     Sora langsung masuk ke dalam rumah Rei melalui pintu depan sebab pintunya tidak dikunci. Suasana sangat sepi di dalam, lampu yang menyala hanya lampu ruang tengah dan juga dapur. Sora berpikir mungkin Rei sedang di kamarnya atau sedang mandi.     Tidak ingin menunggu tanpa melakuan apa-apa, Sora langsung menuju dapur untuk memanaskan tangsuyuk yang dimasak oleh ibu Rei tadi. Pertama, ia memutar knop kompor empat tungku tersebut hingga api biru menyala dari lubang api dan meletakkan panci yang berisi tangsuyuk ke atasnya. Sambil menunggu, Sora beralih ke kulkas dan mencari simpanan persediaan kimchi di dalam sana. Mengambil piring berukuran sedang, ia pun mengambil beberapa lembar kimchi yang cukup untuknya dan Rei, kemudian memasukkannya kembali sisa kimchi ke dalam kulkas.    Ia meletakkan piring berisi kimchi tersebut pada meja makan yang tak jauh dari meja dapur. Tak lupa, ia juga mengambil mangkuk dan memasukkan nasi untuknya dan juga rei dari penanak nasi yang berisi nasi pulen dan masih panas.     Rei turun dengan langkah berat dari kamar mandi yang berada di lantai dua dengan handuk di lehernya. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan menggosok-gosokannya malas.  Mendengar suarea langkah mendekat, Sora melihat sekilas ke arah datangnya suara langkah tersebut untuk memastikan itu adalah Rei dan bukannya orang lain, "Anja  (Duduklah)." , ujar Sora sambil memasukkan nasi ke dalam mangkuk dan  membentuknya menggunung.  "Aku jadi bingung siapa sebenarnya siapa tuan rumah disini." , sarkas Rei pada Sora yang bertingkah seperti ini adalah rumahnya. Sora mendengar ledekan Rei hanya terkekeh malu sekaligus bangga karena dirinya telah menjadi dirinya sendiri. “Rei, bisakah kau membantu mengangkat panci itu?” , minta Sora sambil menunjuk panci berisi tangsuyuk  yang sudah mendidih dengan dagunya sementara tangannya masih menyendokkan nasi dari penanak nasi ke dalam mangkuk.     Rei yang baru saja menarik kursi di meja makan dan hendak mendudukan bokongnya di atas kursi, langsung mengerjakan yang Sora minta. Ia mematikan kompor dan memakai sarung tangan oven sebelum memegang telinga pegangan panci yang panas itu.  “Alas! Alas!” , desaknya meminta Sora untuk segera meletakkan alas di atas meja untuk meletakkan panci panas yang masih mendidih juga berat.     Sora yang langsung terdesak mencari-cari benda terdekat yang bisa ia jadikan alas. Segera ia meraih sebuah kertas tebal seperti selembaran yang tidak sempat ia lihat apa isinya dan meletakkannya di tengah meja.  “Aniya (tidak)! Aniya (tidak)! Jangan katalog piano itu!” , teriak Rei tiba-tiba.  Segera Sora menarik kertas yang ternyata katalog piano milik Rei dan mengembalikannya kembali ke tempatnya. “Tunggu, tahan sebentar.” , Sora berlari kecil menuju bak cuci piring dan mencari alat yang tadi terbesit dalam pikirannya.  “Ah palliwa (Ah cepatlah)!” desak Rei.     Sora kembali dan meletakkan benda yang ia bawa dari bak cuci, yaitu talenan. Rei menatap datar pada Sora seakan berkata ‘kau serius?’ . Sora yang masih menunggu Rei meletakkan pancinya, menatap Rei yang tengah menatapnya dengan tatapan datarnya. Ia mengangguk meyakinkan Rei untuk meletakkan pancinya di atas talenan tersebut. Rei yang sudah tidak tahan dengan berat dan panas yang mulai menembus sarung tangan oven di tangannya, menuruti Sora dan meletakan panci tersebut di atas talenan yang biasa digunakan oleh ibunya untuk alas memotong.  “Jal meoggo sseubnida (aku akan makan dengan baik).”  “Itadakimasu (selamat makan)”    Ucap Sora dan Rei bersamaan dengan menyatukan kedua tangan mereka di depan d**a dan menutup mata sebagai bentuk syukur atas makanan yang mereka dapatkan hari ini.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD