BAB EMPAT PULUH LIMA

1239 Words
Paginya, ayah Sora sudah minum kopi dengan santai dengan kacamata bertengger di telinganya sambil membaca buku jurnal tentang psikologi anak remaja. Ia membaca buku tersebut bukannya tanpa alasan. Hanya saja, ia ingin mengerti lebih banyak tentang anaknya dan bagaimana cara mengatasinya. Sebab tidak mungkin ia bertanya pada Sora tentang semua hal setiap saat hanya untuk mengetahuinya. Jika ia melakukannya, maka Sora akan menganggapnya aneh dan berusaha memberikan jawaban yang ia inginkan dan bukannya jawaban yang sesuai dengan jalan pikirannya. Di tengah semua ketenangan pagi itu, ia mendengar suara langkah kaki lambat dan ketukan tongkat yang menyentuh anak tangga, ia tahu itu adalah putrinya. Saat menengok ke arah sumber suara, ia terkejut dengan penampilan Sora yang sudah rapi dengan seragam sekolah juga tasnya. “Kau mau pergi sekolah hari ini? Secepat ini?” , tanya ayah Sora ingin memastikan. Dengan langkah terpatah - patah, Sora berjalan ke arah dapur, “Tentu. Aku tidak punya alasan untuk berlama - lama diam di rumah.” , ujarnya sambil mengambil sebuah gelas dari rak dan dengan sigap ayahnya bangkit berdiri untuk menuangkan air putih dari teko yang lumayan berat karena terbuat dari kaca itu. “Wae appa hantae mareul anhae (kenapa kau tidak mengatakannya pada appa lebih awal)? Kalau tahu begitu, appa akan pergi berbelanja kemarin.” Sora meneguk air minumnya sekali teguk sampai habis, “Aku baru terpikirkan untuk pergi sekolah semalam. Bagaimana mungkin aku menyuruh appa belanja tengah malam.” “Wae andwae (kenapa tidak)?” , balas ayahnya menantang. “Dwaesseo (sudahlah), aku bisa sarapan di sekolah.” “Kalau begitu, biarkan appa mengantarmu.” , ayah Sora menyambar kunci mobil yang ada di dalam keranjang kecil terbuat dari anyaman tali serat kayu, yang diletakkan di tengah meja makan. “Aku memang berniat ingin bilang begitu tadi, hehe.” *** Untuk pertama kalinya setelah hari pertama masuk dua tahun lalu, Sora kembali merasakan pergi ke sekolah diantar. Rasanya benar - benar tidak familiar. Tidak banyak murid - murid di sekolah ini yang pergi ke sekolah diantar oleh orangtua ataupun supir keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka adalah anak dari orang - orang kaya. Dan Sora bukan bagian dari mereka, sebab ia diantar bukan karena status keluarganya, melainkan karena kondisi tubuhnya yang sedang tidak memungkinkan untuk dirinya berangkat sekolah sendiri. Salah satu peraturan dari sekolah adalah mengantar hanya sampai depan pintu gerbang dan mobil selain mobil guru dan tamu - tamu penting sekolah, tidak diijinkan masuk. Jadi mau sekaya apapun orangtua dari mereka yang setiap hari diantar pulang pergi, tetap akan berjalan kaki dari pintu gerbang sampai ke dalam kelas. “Sampai sini saja, appa.” , ujar Sora saat mereka sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah yang besar. Ayahnya Sora tidak mengidahkan perkataan Sora dan tetap melajukan mobilnya memasuki pintu gerbang, “Gwaenchanha (tidak apa - apa), biarkan appa mengantarmu sampai depan gedung sekolahmu.” Benar saja, baru bagian depan mobil melewati gerbang, satpam yang menjaga keamanan sekolah datang menghampiri dan mengetuk pintu kaca jendela mobil. Ayah Sora dengan tenang menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela mobilnya hingga setengah terbuka dan memutuskan keluar dari mobil untuk bicara langsung. “Annyeonghaseyo (halo, apa kabar),” , sapa ayah Sora ramah sambil sedikit membungkukkan badannya memberi hormat pada satpam yang terlihat jelas lebih tua darinya. Satpam yang mendapat shift berjaga pagi itu mengangkat topinya sedikit dan memakainya kembali untuk membalas hormat yang diberikan ayah Sora, “Ne, annyeonghaseyo (iya, halo). Maaf pak, sudah peraturan sekolah untuk batas mengantar hanya sampai pintu gerbang saja.” “Begini pak, anak saya baru saja mengalami kecelakaan beberapa hari lalu dan kakinya terluka hingga patah.” , ayah Rei menunjuk pada Sora dengan tatapannya dan satpam tersebut ikut melihat pada Sora untuk mengecek kebenarannya, “Memang seharusnya ia masih beristirahat di rumah saja. Tapi dia bersikeras untuk pergi ke sekolah, saya tidak punya pilihan selain mengantarnya, pak. Saya tidak tega membiarkannya berjalan dari sini sampai ke ruang kelasnya, jadi saya mohon ijinkan saya untuk mengantarnya sampai depan gedung sekolah, pak.” , jelas ayah Sora meyakinkan. Satpam tersebut terlihat menimbang - nimbang keputusan apa yang akan dipilihnya, “Joha (baiklah), tapi hanya kali ini saja, ya.” , katanya memberi ketegasan, Ayah Sora tersenyum senang, Ye (baik)! Hanya hari ini saja. Terima kasih, pak!” , ujar ayah Sora senang. “Hati - hati. Perhatikan jalanmu, banyak murid - murid yang berlalu lalang di tengah jalan.” , pesan satpam tersebut kembali ke tempatnya dan ayah Sora kembali masuk ke dalam mobil dengan sedikit perasaan bangga karena ia berhasil mengatasinya. “Masalah beres. Sekarang appa bisa mengantarmu sampai ke depan gedung sekolahmu. Atau kau ingin appa mengantar sampai ke depan pintu ruang kelasmu?” , tanya ayah Sora berniat untuk menggoda putrinya. “A-aniya (-tidak usah). Sampai depan gedung saja.” , jawab Sora khawatir ayahnya akan nekat melakukan hal itu. Saat mobil ayah Sora melaju perlahan menuju gedung sekolah utama, semua pandangan murid - murid yang berjalan di sisi jalan menatap pada mobil ayah Sora yang menjadi pemandangan asing untuk mobil masuk hingga ke lingkungan sekolah kecuali mobil milk guru - guru dan pengurus sekolah. Bahkan, beberapa kali ayah Sora menekan klakson saat murid - murid di depannya tidak mau menyingkir menepi dan malah asyik berbincang - bincang. Hal itu membuat mobil ayah Sora benar - benar menjadi sorotan. Sora yang merasa semua tatapan itu tengah menatapnya, ia dengan sengaja memerosotkan tubuhnya agar tidak terlihat dari luar. Sesampainya di depan gedung sekolah, ayah Sora beranjak untuk keluar dari mobil untuk membantu Sora turun dari mobil, “Andwae (jangan)!” , ujar Sora tiba - tiba mengejutkan ayahnya. “Tidak perlu, aku bisa turun sendiri.” , tambahnya dan langsung membuka pintu untuk turun. Walaupun agak sulit, Sora berhasil turun sendiri tanpa bantuan orang lain, dan ia senang ia bisa melakukan hal itu. Sedangkan ayah Sora yang merasa bantuannya tidak diinginkan, sedikit merasa sedih. Namun walaupun begitu, ia tetap tersenyum senang pada Sora. “Sepertinya kau akan pulih dengan cepat.” , kata ayah Sora yang ikut turun. Sora tersenyum malu - malu mendengarnya. “Oh!” , ayah Sora kembali masuk ke dalam mobil, mengambil sebuah bungkusan kas kertas dan menghampiri Sora untuk memberikannya, “Jangan lupa sarapanmu.” Sora menerimanya dengan tangan kirinya, “Ne, jal meokgeulkke (iya, aku akan memakannya dengan baik). Appa, pulanglah.” “Geurae (baiklah). Appa galkke (ayah pergi dulu).” , ayah Sora berbalik untuk kembali masuk ke dalam mobil. “Ah, appa. Kau tidak perlu menjemputku nanti. Aku akan mencoba untuk pulang bersama dengan Rei.” , tambah Sora. Ayah Sora sedikit terkejut mendengar hal itu. Ia tidak menyangka begitu besar rasa tidak ingin merepotkan Sora pada dirinya. Seketika ia merasa telah menjadi ayah yang buruk. “Begitu? Baiklah. Appa akan menunggu di rumah saja.” Sora menunggu sampai mobil ayahnya benar - benar sudah pergi, dan saat itulah ia menyadari beberapa mata sudah menatapnya dengan jelas. Perasaan tidak nyaman itu kembali datang, namun Sora memilih untuk mengabaikannya sebab ia tidak merasa telah melakukan hal yang salah. Dengan terpatah - patah, Sora bersusah payah untuk berjalan di atas jalanan yang terbuat dari kerikil - kerikil yang disatukan dengan semen. Karena kaki tongkatnya yang kecil sehingga stablitasnya kurang, beberapa kali pijakan Sora hampir tergelincir. Saat itu tiba - tiba seseorang datang dan langsung berjongkok di depannya membelakanginya seolah memberikan punggungnya padanya. “Naiklah.” , ujar laki - laki itu tanpa menengok ke arah Sora. “Rei?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD