BAB TIGA PULUH

2167 Words
   Setiap pagi, Gitae selalu menyempatkan diri untuk mampir ke aula tempat Sora berlatih bersama tim basketnya. Ia merasa senang karena bisa melihat Sora tanpa ada yang menganggapnya aneh karena sudah menjadi hal yang wajar untuk menonton tim yang sedang berlatih. Ia langsung menuju podium dan mencari tempat duduk yang tidak terlalu mencolok. Melihat Sora berlari kesana kemari, mengoper bola, memasukan bola ke dalam ring, melihat semua itu hanya menambah rasa suka Gitae pada Sora. Walaupun dari segi penampilan, Sora sama sekali tidak terlalu feminim sebagai seorang perempuan, tubuh Sora juga bukan yang bisa langsung menarik perhatian laki - laki, tetapi Gitae melihat Sora sebagai seseorang yang sangat mempesona baginya. Semakin ia tahu banyak hal tentang Sora, semakin ia melihat Sora lebih jauh lagi, semakin ia terpesona.     Namun kesenangannya melihat orang yang ia sukai tidak bertahan lama ketika Rei muncul dengan santainya sambil membawa roti bakar yang dijual di kedai yang berada di depan sekolah. Dilihatnya Rei yang baru masuk langsung berjalan menuju tempat Sora meletakkan tas dan botol minumnya dan duduk disana. setelah peluit tanda istirahat minum berbunyi, Sora langsung berlari ke arah Rei dengan wajah gembira. Gitae yang hanya bisa menyaksikan hal itu dari kejauhan berusaha untuk tidak melihat hal itu, namun nihil. Hal menyakitkan baginya tersebut terjadi tepat di depan matanya.     Meskipun rasanya sungguh menyiksa, ia sadar, bukan berarti ia memiliki hak untuk melarang Sora dekat dengan Rei ataupun memisahkan mereka berdua. Ini hanyalah masalah perasaannya, bukan berarti keadaan dunia harus sesuai dengan apa yang ia rasakan.    Namun, tidak seperti yang ia duga, perasaannya pada Sora semakin hari semakin besar. Tiada hari di sekolah tanpa diam - diam mengamati Sora. Hingga akhirnya ia mencoba untuk mengambil sebuah langkah besar. Ia tidak ingin menghabiskan sisa - sisa waktu sekelas dengan Sora hanya sebatas melihatnya dari jauh saja.     Dengan tekad ingin merubah situasi dan juga mencoba bertaruh dengan dirinya sendiri, Gitae mencoba peruntungan untuk mendekati Sora setelah mengetahui bahwa Sora dan Rei dekat hanya sebatas teman dekat saja.     Khawatir dirinya akan menjad kikuk jika ia bicara secara langsung pada Sora di kelas dengan belasan siswa dan siswi yang sekelas dengannya, Gitae mencoba dengan cara klasik, yaitu mengirim surat.     Gitae yang memiliki kepribadian pendiam dan sedikit melankolis, Rei memilih untuk membuat suratnya bergaya klasik abad delapan belas. Dengan amplop berwarna cokelat muda dan juga stempel lilin merah tua dengan cap matahari yang mengingatkannya pada Sora yang mencoba menghalangi sinar matahari yang masuk saat pertama kali mereka saling kenal. Ia berharap Sora akan mengerti kode tersebut, karena ia berniat untuk tidak menuliskan namanya sebagai pengirim surat.     Secara diam - diam saat semua murid - murid sudah berhamburan keluar saat pelajaran terakhir telah berakhir, Gitae kembali ke dalam kelas dan meletakkan suratnya pada laci meja Sora setelah memastikan kelas sudah kosong dan tidak ada yang melihatnya lalu bergegas pergi.     Keesokan paginya ia sengaja datang lebih siang memberi waktu pada Sora untuk membaca suratnya. Ia merasa tidak sanggup melihat ekspresi wajah Sora saat membuka dan membaca surat tersebut. Ia khawatir reaksi Sora tidak seperti yang ia ekspetasikan sebelumnya.     Sesampainya di depan ruang kelasnya, ia sengaja  masuk melalui pintu masuk bagian belakang untuk memeriksa apakah suratnya masih disana dan belum disadari Sora atau sudah diambil oleh Sora. Ia merasa gugup sekaligus merasa bersyukur saat ia begitu masuk ke dalam kelas, Sora sedang di tempat duduknya tengah menikmati sarapannya sambil berbicara dengan Rei.  "Joheun achim, Gitae (selamat pagi, Gitae)~" , sapa Sora begitu melihat Gitae masuk dari pintu yang ada di belakang Rei.  Gitae tersenyum malu - malu, "N-ne, joheun achim (-iya, selamat pagi)." , balas Gitae sambil sedikit menundukan kepalanya untuk melihat apakah suratnya masih disana.     Gitae merasa lega saat dilihatnya tidak ada lagi surat darinya di tempat ia meninggalkannya kemarin. Ia berjalan ke tempat duduknya dengan senyum kecil yang terlukis di wajahnya. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana ia akan mengatakannya langsung pada Sora siang hari nanti di belakang sekolah. Dalam surat itu, Gitae meminta Sora untuk menemuinya di belakang sekolah walaupun tidak ada keterangan nama darinya dalam surat tersebut.     Saat siang hari, disaat yang lain pergi mengisi perut mereka di kantin sekolah, Gitae langsung pergi menuju belakang sekolah untuk menemui Sora. Sesampainya disana, ia tidak melihat sosok Sora di manapun. Ada beberapa siswi disana, tetapi tidak ada yang merupakan Sora. Gitae menduga Sora tengah menikmati makan siangnya saat ini, jadi ia memutuskan untuk menunggu disana.     Gitae memilih untuk duduk di tepi pagar tanah, terbuat dari batu bata merah yang saling direkatkan satu sama lain dengan semen. Pagar yang terlihat seperti dinding rendah setinggi lutut tersebut digunakan sebagai pot raksasa sepanjang dua belas meter yang berisi berbagai pohon tinggi dan rindang saat musim semi dan juga bunga - bunga liar yang sengaja ditanam disana.     Duduk tepat di bawah pohon Ginko yang daunnya sudah menguning, membuat Gitae merasa hari ini benar - benar musim gugur. Konon katanya, pohon Ginko tersebut sudah tumbuh sejak sekolah ini masih lahan kosong dengan banyak pohon - pohon besar dan rumput liar. Diantara beberapa pohon yang dipertahankan, salah satunya adalah pohon Ginko yang dijadikan lambang keabadian karena panjangnya umur yang dimilikinya.     Aroma menyengat biji pohon ini, mengingatkannya pada pohon ginko yang berada di depan rumah neneknya.Sejenak, hal ini membuatnya merindukan rumah neneknya dan juga pada neneknya.     Lima belas menit telah berlalu dan Gitae masih belum melihat tanda - tanda kedatangan Sora sejak tadi. Kaki - kakinya sudah bergerak - gerak karena kegelisahan yang ia rasakan. Perutnya pun sudah mulai memberontak meminta untuk diisi. Rasa ingin beranjak dari tempatnya sekarang bergejolak, rasanya ingin pergi ke kedai roti bakar di depan sekolah untuk membeli satu porsi roti bakar terbaik yang ada disana. Setidaknya lebih cepat daripada ia harus mengantri untuk makan di kantin. Tetapi ia khawatir Sora akan datang kemari dan ia tidak ada disana saat itu. Pada akhirnya ia hanya tetap menunggu disana dan mengabaikan perut laparnya. Lagipula ia tidak memiliki cukup keberanian untuk meminta tolong pada orang yang lewat untuk membelikannya makanan selagi ia menunggu.     Pada akhirnya, Gitae harus menelan kekecewaan karena Sora tak kunjung datang hingga bel tanda masuk kelas berbunyi. Gitae tidak mengerti apa alasan Sora tidak datang ke tempat yang dikatakan dalam suratnya. Ia berpikir, mungkin Sora tidak datang karena tidak tertera nama pengirimnya dalam surat itu, jadi Sora merasa itu hanyalah candaan saja. Dalam pikirannya, ia merasa terlalu bodoh untuk berharap seseorang seperti Sora yang katanya adalah sepupu dari orang paling populer di sekolah ini, untuk menjadi lebih dari sekedar teman untuknya.    Dengan langkah gontai, Gitae kembali ke kelasnya dengan tidak bersemangat. Ia terkejut saat didapatinya Sora tidak ada di tempat duduknya padahal bel sudah berbunyi, begitu juga dengan Rei. Gitae bisa langsung menyimpulkan bahwa mereka pasti sedang bersama saat ini. Pikiran jahatnya membisik pada Gitae bahwa Sora tidak menemuinya karena lebih memilih untuk bersama Rei. Atau leih buruk lagi, Sora memberitahu Rei soal surat itu dan mereka sedang menertawakan tentang hal itu saat ini.     Gitae menggaruk kepalanya kasar hingga rambutnya tidak lagi rapi, menenggelamkan kepalanya menyentuh meja dan menutupinya dengan tangannya. Sejujurnya ia benci ketika pikiran - pikiran jahat muncul di kepalanya. Walaupun begitu, itu semua tetaplah pikirannya. Perasaannya begitu hancur ketika mendengar Sora dan Rei terlambat karena mereka berdua tertidur di ruang musik. Kali ini ia tidak mencoba untuk menghentikan semua pikiran - pikiran yang muncul di kepalanya. Perasaannya terlanjur sakit.     Dua hari telah berlalu dan pikirannya masih kacau sejak kejadian itu. Sora terlihat biasa saja seperti tidak terpengaruh sama sekali oleh surat darinya. Pikirannya berkecamuk, bertanya - tanya apa alasan Sora tidak datang waktu itu. Tidak ingin membiarkan dirinya terjebak dalam neraka ini, Gitae memutuskan untuk bertanya langsung pada Sora. Ia tidak tahan lagi dengan siksaan dari dirinya yang lain.     Pagi itu Sora tengah berjalan menuju kelasnya sambil melihat - lihat isi buku yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan yang berada di gedung sebelah. Rambutnya masih terlihat sedikit basah karena keringat yang ia hasilkan selama latihan pagi tadi. Mulutnya bergerak - gerak berucap tanpa suara membaca tiap - tiap informasi yang ia baca seputar hukum fisika. Tak diduga, saat berbelok untuk masuk ke dalam kelas, ujung buku bagian atasnya tiba - tiba menabrak sesuatu yang menghalangi jalannya di depannya, Sora terkejut ketika ia mendongakkan wajahnya melihat seseorang yang tidak biasa sedang menghadangnya.  “Oh? Gitae-ya?” , sapa Sora sambil tersenyum ramah seperti biasanya pada Gitae.  “Hai.. Sora. Kau baru saja selesai dengan latihanmu?” , tanya Gitae dengan sedikit canggung. Ia tidak ingin merusak suasana hati seseorang yang ia sukai dengan menodongnya berbagai pertanyaan serius secara langsung.  Sora menutup bukunya dan menentengnya dengan tangan kanannya, jari telunjuk kanannya menjepit bagian yang sedang ia baca tadi, jadi ia tidak perlu mencari - cari lagi bagian terakhir yang sudah ia baca, “Iya. Aku meminjam buku dari perpustakaan untuk ujian besok.”  Gitae tersenyum mengerti, “Kalau begitu.. semangat.” , sahutnya tidak tahu harus berkata apa.  “Neodo (kau juga). Kalau begitu.. Bolehkah aku masuk?” , Gitae langsung menyingkir dari jalan Sora agar Sora bisa lewat.  “Kkk~ Gomawo (terima kasih).” , Sora kembali melanjutkan langkahnya.  Gitae menimbang - nimbang dengan gelisah. Ia bimbang untuk menanyakan hal itu atau tidak, “Eum.. Sora-ya.” , panggil Gitae yang pada akhirnya memilih untuk memuaskan rasa penasarannya dan mengakhiri semua pikiran - pikiran negatifnya.  Sora langsung berbalik begitu mendengar namanya disebut, “Eung (ya)?”  Gitae mengepalkan kedua tangannya erat seolah - olah mencoba untuk mengumpulkan semua keberanian yang ia punya dan berjalan menghampiri Sora, “Bwasseo (kau sudah melihatnya)?”  “Ne (maaf)?” , tanya Sora bingung.  “Kau sudah membacanya? Kau sudah menerima suratnya kan? Kenapa kau tidak datang?” , Giae memilih untuk melontarkan semua pertanyaan sebelum ia kehilangan semua keberanian yang tidak bertahan lama ini.  Mata Sora mengerjap, ia berusaha mengerti apa yang Gitae tanyakan padanya, “Museun… soriya (apa... maksudmu)?”  Melihat reaksi Sora yang terlihat benar - benar tidak tahu menahu soal surat darinya, membuatnya mengutuk dan menyalahkan dirinya yang sudah berpikiran pendek dan banyak berprasangka pada orang yang ia sukai, “Ah.. Aniya (tidak), sepertinya aku salah orang.” , Gitae menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan langsung pergi kembali ke tempat duduknya dengan senyum di wajahnya meninggalkan Sora yang masih terlihat kebingungan di tempatnya berdiri.  “Mwoya (apaan sih)..” , gumamnya saat beranjak duduk sambil melihat Gitae yang sudah kembali ke tempat duduknya.  “Ada apa?” , tanya Rei yang tiba - tiba muncul di sampingnya atau lebih tepatnya di tempat duduknya.  “Oh, wasseo (kau sudah datang), ani (tidak), Gitae tiba - tiba saja menanyakan hal aneh padaku. Tidak biasanya.” , jelas Sora.  “Memangnya dia bertanya soal apa?” , tanya Rwi penasaran.  Sora mengingat - ingat kembali pertanyaan yang tadi Gitae tanyakan dengan begitu serius padanya, “Dia.. bertanya mengapa aku tidak datang dan bertanya apa aku sudah membacanya.”  Tidak hanya Sora, kali ini Rei juga ikut bingung, “Baca? Baca apa?”  “Molla (tidak tahu).” , Sora mengangkat kedua bahunya sekali, “Sesuatu seperti pyeonji (surat), katanya.”  “Pyeonji (surat)?” , tanya Rei memastikan kembal karena ia tiba - tiba teringat pada sebuah surat klasik yang ia temukan di laci meja Sora.  “Ah molla (tidak tahu)! Wae jakku nahantae muro (Kenapa kau terus bertanya padaku)?! Niga wae kkumkkumhae (kenapa kau penasaran sekali)?Tanyakan langsung padanya sana! Jjajeungna jinjja (Benar - benar menyebalkan)!” , protes Sora kesal karena pertanyaan tak berujung Rei tentang hal yang ia sendiri pun tidak mengetahuinya.  Rei terkejut dengan lonjakan emosi Sora yang sudah tinggi di pagi ini, demi kedamaian dan keselamatan dirinya, ia memilih untuk diam dan tidak melanjutkan.     Saat dilihatnya, Sora tengah kembali fokus pada buku yang dibawa olehnya tadi, dan begitu juga murid - murid yang lain tengah sibuk dengan urusannya masing - masing, Rei mengeluarkan buku yang menjadi tempat ia menyembunyikan surat yang sudah ia ketahui siapa pengirimnya, yaitu Gitae. Sambil memastikan tidak ada yang melihatnya-- terutama Gitae dan Sora, Rei membuka halaman buku yang menonjol karena ada sesuatu yang terjepit disana. Dengan satu gerakan kilat, Rei menarik dan membawa surat tersebut ke dalam laci mejanya untuk ia buka dan ia lihat apa isinya.     Ia tahu yang ia lakukan ini sangat rendahan dan melanggar hak privasi orang lain. Namun, ia mengelak pada pikiran itu dengan alasan tidak ada nama pengirim dan penerima dalam surat tersebut, jadi ia merasa siapa saja yang menemukan surat tersebut boleh membuka dan membacanya.     Dirasa situasi sudah aman, Rei membuka surat tersebut dan menarik secarik kertas putih yang berisi kalimat pendek yang ditulis dengan tulisan tangan. Isi dari surat tersebut hanyalah tawaran untuk menemui si pengirim surat pada siang hari kemarin di belakang sekolah karena ada suatu hal yang ingin ia katakan. Salah satu ujung bibir Rei tertarik ke atas menyungging membentuk sebuah senyum licik dan tidak senang. Dengan cepat ia menutup kembali surat tersebut dan meletakkannya kembali di tengah - tengah bukunya agar tetap rapi dan tidak ketahuan oleh siapapun.     Matanya menatap pada Gitae dengan wajah serius. Rei berniat untuk mengembalikan surat tersebut dan meminta maaf sekaligus bicara langsung pada Gitae pada jam istirahat nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD