Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk Sora menghabiskan makan siangnya. Ia senang yang sakit adalah kakinya dan bukan mulutnya. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana jadinya jika mulutnya terluka sehingga ia tidak bisa menikmati makan siang enak seperti ini lagi atau pun ramyeon, atau roti bakar, atau semua makanan kesukaannya.
“Jal meokgo sseumnida (Aku telah makan dengan baik, terima kasih atas makanannya)~” , sahut Sora seraya ingin memberi tahu Rei bahwa ia telah selesai dengan makanannya.
Tetapi Rei tampak tidak menggubrisnya dan masih terus menulis. Sora tidak ingin mengganggu dan ia memutuskan untuk menunggu sambil melihat Rei dari tempat duduknya. Tempat duduknya adalah tempat yang paling baik untuk memperhatikan Rei diam - diam. Sora menggeser wadah makan siangnya yang sudah kosong untuk merebahkan badannya ke atas meja dengan kedua tangannya yang dilipat sebagai bantalannya, ia mencoba mencari posisi yang nyaman untuk melihat Rei. Ini benar - benar posisi yang nyaman untuk memperhatikan orang yang kau sukai, pikir Sora.
Tanpa diduga, tiba - tiba tangan Rei berhenti menulis dan matanya menatap lurus ke depan seolah tengah mengejar sesuatu yang baru saja terlintas dalam pikirannya. Beberapa detik kemudian, tanpa aba - aba, tiba - tiba Rei menoleh pada Sora. Sontak, Sora terbangun dan dari posisinya.
“M-mwo (A-apa)?” , tanya Sora gugup. Ia khawatir dirinya ketahuan memperhatikan sejak tadi dan membuat Rei merasa terganggu.
Rei melihat sekeliling, “Apa kau tidak merasakan sesuatu?” , tanyanya.
“Merasa.. apa?” , rasa gugup Sora langsung sirna melihat Rei begitu serius dengan apa yang ia tanyakan.
“Apa kau tidak merasa seperti ada sesuatu yang memperhatikan sejak tadi?” , Rei mencoba meyakinkan Sora.
Sora tertohok. Ia langsung menyadari bahwa yang Rei maksudkan adalah tatapan saat ia memperhatikannya tadi dan Rei pasti merasakannya.
“Ani (tidak). Mungkin hanya perasaanmu saja.” , elak Sora, “Ah cham (omong - omong), kapan kau akan makan siang?” , tanyanya lagi mencoba untuk mengalihkan.
Rei melihat pada jam yang melingkar di tangannya, “Kau benar.” , ia langsung menutup bukunya dan beranjak dari tempat duduknya.
“Kau tidak apa - apa aku tinggal?” , tanya Rei melihat ruang kelasnya yang masih sepi.
Sora memundurkan tempat duduknya dan dengan bantuan tangannya berpegangan pada meja untuk menyokong tubuhnya, “Kkaji ga (Ayo pergi bersama).” , katanya saat ia sudah berdiri tegap.
Rei menatapnya heran, “Neo oedi ga (Kau mau pergi kemana)?”
“Aku mau menemui coach-nim. Rasanya sangat tidak sopan jika aku tidak menyapa dan meminta maaf karena tidak bisa melanjutkan lagi.” , jelas Sora seraya mengeluarkan tongkat penyangganya yang ia lipat dan ia masukkan ke dalam tas sebelumnya.
Rei memperhatikan gerak - gerik Sora dan merasa ragu dengan niat yang baru saja Sora katakan padanya, “Kau serius? TIdak mau bergabung lagi dengan tim?”
“Geureongo aniya (Bukan sepeti itu)!~” , rengek Sora, “Maksudku, hanya untuk pertandingan ini. Kau ini gila saja. Aku harus apa jika tidak bermain basket lagi?”
Rei nyengir, ia merasa sedikit malu karena telah salah paham tentang hal itu, “Honja gasseo (Kau akan pergi sendiri)?”
Pada akhirnya pertanyaan yang ia tunggu - tunggu, pikir Sora. Alih - alih menjawab, Sora mengulurkan tangannya pada Rei dan tersenyum dengan imut, persis seperti anak kecil yang tengah meminta sesuatu. Awalnya Rei menatap tangan Sora yang mengulur padanya seperti tengah memintanya untuk bersalaman, namun, ia baru mengerti maksud dari Sora saat manknya beralih menatap pada wajah Sora dan meliaht senyuman yang Sora berikan padanya.
“Mwo (apa)?” , tanya Rei dengan sengaja. Ia ingin mendengar Sora mengatakannya dengan terus terang dan bukannya memberi kode.
Sora menarik kembali tangannya dan raut wajahnya langsung berubah menjadi wajah jengkel seketika, “Ish! Tentu aku butuh bantuanmu, Rei!~”
Rei terkekeh. Ia merasa senang saat Sora merengek meminta bantuannya. Sebab, menurut dirinya, seringkali Sora terlalu mandiri sehingga jarang sekali meminta bantuan padanya. Oleh karena ini, saat Sora telah memberanikan diri, setidaknya,
“Eottae (Bagaimana)?”
“Ya sudah, ayo.” Rei memberikan tangannya pada Sora agar Sora bisa berjalan padanya masih berpegangan.
Sora berusaha untuk berjalan secepat yang ia bisa. Tetapi hasilnya, ia tetap berjalan dengan begitu perlahan, Biasanya ia dan Re hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai ke tangga. Namun, kali ini mereka menghabiskan kurang lebih dua kali lipatnya.
Sora berhenti sesampainya ia pada puncak tangga. Ia ragu saat melihat ke bawah ada lebih dari dua puluh anak tangga yang harus ia lewati dengan menggunakan tongkatnya ini. Rei mengerti apa yang Sora pikikan saat ini, sebab raut wajah khawatir benar - benar terukir jelas pada wajah Sora.
Segera, tanpa menunggu lagi, Rei berjongkok di hadapan Sora, “Naiklah.” , katanya singkat.
“Apa yang--”
“Ah palli (Cepatlah)! Aku sudah lapar sekali!~” , sela Rei seelum Sora sempat menyelesaikan kalmatnya.
Pada akhirnya Sora setuju untuk naik ke atas punggung Rei untuk menuruni tangga. Walaupun sebenarnya ia merasa begitu khawatir mereka berdua akan jatuh jika salah langkah. Sora naik ke punggung Rei dengan tangannya yang satu memegang kedua tongkat penyangganya dan satunya lagi memegang wadah makan siang milik kantin yang Rei bawakan untuknya.
Menuruni tangga jelas lebih sulit dibandingkan menaiki tangga, sebab, gaya gravitasi membuat mereka berdua tertarik ke bawah berbeda dibandingkan saat mereka menaiki tangga yang justru gaya gravitasi membuat mereka sulit karena menahan mereka untuk naik lebih tinggi. Jika pada saat menaiki tangga, Rei berusaha keras untuk memaksa otot - otot kakinya agar kuat mengangkat beban tubuhnya ditambah beban tubuh Sora. Tetapi saat menuruni tangga, Rei berusaha keras untuk menjaga beban tubuhnya agar tidak condong ke depan dan malah membuatnya tertarik oleh gravitasi bumi yang akan membuatnya terjatuh dengan sangat menyakitkan.
Sora mengetahui betapa sulitnya untuk Rei menahan beban tubuh mereka berdua agar tidak terjatuh, ia pun membantu menjaga agar mereka lebih stabil dengan berpegangan pada pegagan tangga dengan tangannya yang memegang tongkat. Beberapa kal mereka berpapasan dengan murid - murid lainnya. Tetapi mereka hanya menatap Rei dan Sora sebentar dan kemudian berlalu.
Setelah perjalanan panjang yang terasa begitu lama, berakhir sat Rei sudah berhasil menuruni satu anak tangga terakhir. Tetapi ia belum selesai. Dengan perlahan ia menurunkan tubuhnya agar Sora bisa turun dari punggungnya dengan mudah.
“Gomawo (Terima kasih).” , ujar Sora saat Rei bangun dari posisi membungkuknya.
“Dwaesseo (Tidak perlu). Kau akan pergi ke aula olahraga, kan?” , tanya Rei sambil berkacak pinggang berhadapan dengan Sora.
Yang ditanya mengangguk mengerti.
“Honja hal su isseo (Kau bisa melakukannya sendiri)?” , tanya Rei.
Sora mengangguk dengan yakin, “Kau pergilah nikmati makan siangmu.”
“Araseo (aku mengerti). Nanti aku akan menyusulmu di aula olahraga. Jadi usahakan kau tidak pergi kemana - mana setelah selesai berbicara dengan pelatihmu.”
“Araseo (aku mengerti).” , balas Sora mengangguk yakin seraya memberikan wadah makan siang dari kantin pada Rei untuk dikembalikan pada kantin.
Mereka pun berjalan terpisah karena kantin dan aula olahraga berada pada koridor yang berbeda. Dengan langkah hati - hati, Sora melangkah perlahan - lahan dibantu dengan tongkat penyangganya memasuki aula olahraga yang terasa begitu tidak asing untuknya.
Baru beberapa langkah ia masuk ke dalam aula olahraga yang langit - langitnya tinggi itu, suara decitan sepatu terdengar begitu jelas dan sedikit menggema diselingi dengan beberapa suara teriakan semangat. Dilihatnya, ada beberapa rekannya yang lebih senior tengah berlatih keras. Keringat mereka sudah mengucur membasahi seluruh badan mereka. Sora bertanya - tanya, mulai sejak jam berapa mereka berlatih.
Dari bangku panjang yang ada di sisi lapangan, terlihat ada beberapa pemain cadangan yang sudah berkeringat, duduk memperhatikan dengan serius bagaimana rekan - rekan mereka berlatih. Sementara itu tak jauh dari mereka, terlihat seorang pria tua yang masih gagah, tak kalah serius memperhatikan tiap gerakan dan juga teknik mereka yang bermain di lapangan seraya berteriak memberikan arahan. Dia lah orang yang ingin Sora temui.
Tanpa membuang waktu lagi, Sora segera menghampiri pria tua tersebut secepat yang ia bisa. Saat Sora sudah setengah jalan, tanpa Sora sadari ada sebuah bola datang menghampirinya.
“AWAS!!" , Teriak mereka semua saat melihat bola yang meleset itu terlempar ke arah Sora yang tengah berjalan dengan terpincang - pincang.
Mendengar teriakan peringatan itu, Sora mendongak dan matanya membelalak.
BUG!
Beberapa hari belakangan ini tampaknya Sora tidak begitu beruntung. Lemparan bola tersebut mengenai wajah Sora karena ia mendongak tepat saat bola tersebut sudah dekat tanpa sempat Sora menghindar walaupun itu hanya sekedar untuk menunduk. Hantaman bola tersebut cukup keras hingga Sora jatuh terduduk. Beruntung, kepalanya tidak membentur lantai aula.
Segera, beberapa dari mereka, termasuk pelatih, datang menghampiri Sora.
“Gwaenchanhayo (Kau baik - baik saja)?!” , tanya mereka bergantian menanyakan hal yang sama.
“Sora haksaeng (Nak Sora)?!” , sahut pelatih mereka datang terakhir.
Sora yang masih terkejut tidak dapat mendengar pertanyaan mereka. Ia menggeleng - gelengkan kepalanya mencoba untuk menghilangkan rasa pusing yang datang akibat benturan dari bola yang datang tadi.
Pelatih mereka yang sudah lama mengenal Sora & telah mengetahui kondisi Sora yang belum lama ini mengalami kecelakaan, langsung berbalik Dan berjongkok, “Cepat, angkat dia di punggungku! Kita harus membawanya ke ruang UKS!” , katanya.
Yang lain pun langsung bergegas melaksanakan apa yang diperintahkan, dan membantu pelatih mereka membawa Sora ke UKS. Sora yang masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, pasrah saja dengan apa yang mereka lakukan padanya.
Ruang UKS yang berada di dekat kantin membuat mereka yang membawa Sora terdengar begitu heboh hingga ke membuat mereka yang masih di kantin juga mendengar kehebohan mereka termasuk Rei yang baru saja mendapatkan makan siangnya.
“Ada apa sih?” , tanya salah satu murid yang berada satu antrian di belakang Rei.
Temannya yang mengantri di belakangnya menanggapi dengan santai, “Molla (tidak tahu).” , katanya tidak peduli.
Rei terbawa suasana mereka berdua yang tidak peduli dengan apa yang terjadi. Ia melanjutkan membawa makan siangnya mencari meja yang kosong tanpa tahu keributan itu adalah karena Sora.