BAB LIMA PULUH DUA

1526 Words
“YAK! MWOHANEUN GEOYA (APA YANG KAU LAKUKAN)?!” , protes Sora begitu melihat orang yang membuka tirainya adalah Rei. Rei mengabaikan protes Sora dan mendekat pada Sora dengan tergesa - gesa, “Neo gwaenchanha (Kau tidak apa - apa)?! Eodi apha (Dimana yang terluka)? Eodi (Dimana)?” , tanyanya seraya menggoyang - goyangkan bahu Sora ke kanan dan ke kiri untuk melihat apa ada bagian tubuh Sora yang terluka. “Yak!” , sentak Sora sambil menepis tangan Rei untuk berhenti, “Kau ini kenapa, sih?” , keluh Sora merapikan kembali lengan bajunya yang agak berantakan karena ulah Rei. Rei terheran - heran pada Sora yang masih bisa memarahinya di saat seperti ini, “Mereka bilang.. Ada insiden yang terjadi di aula olahraga menimpamu dan kau langsung dilarikan ke UKS. Jadi, kupikir..” Sora memandang Rei tidak percaya, “Kau membuat kehebohan hanya karena itu?” “Kkeokjeonghaeseunikka (Aku khawatir, tahu)!” Bibir Sora berkedut menahan tawa, “Ibayo (Lihat sini), apa kau tahu apa yang baru saja kau khawatirkan?” , tanyanya. Rei tidak menanggapi dan hanya diam saja menunggu jawaban dari Sora. “Aku terkena hantaman bola yang datang ke arahku, tepat mengenai wajahku dan aku tidak sempat menghindar. Dari hantaman itu hidungku mimisan karenanya. Itu sebabnya coach-nim membawaku kemari.” , jelas Sora terus terang. Namun, dilihatnya Rei masih dengan ekspresinya yang sama seperti tadi dan tidak menanggapi sama sekali. “Wae (kenapa)? Apa kau merasa sedikit kecewa dengan kenyataan yang terjadi? Apa kau merasa malu telah bertindak seperti tadi hanya karena hal kecil seperti ini?” , ledek Sora dengan senang hati. “Ani (Tidak).” , balas Rei pada akhirnya membuka suaranya, “Aku masih merasa khawatir.” , katanya. serius, tidak terlihat sedang main main sama sekali. Sora yang tadinya sudah bersiap untuk tertawa, tiba - tiba saja tertegun. Sora tidak mengira Rei juga akan khawatir padanya walaupun hanya karena hal kecil seperti mimisan. Perasaannya ingin berharap ini adalah sebuah pertanda untuknya, tetapi di sisi lain, ia juga takut jika ini tidaklah bermakna apa - apa. Sungguh, Rei menjawab seperti itu tanpa rencana. Kekhawatirannya naik dua kali lipat dari sebelumnya saat melihat reaksi Sora yang tidak bisa ia ambil kesimpulan dengan tepat, apakah Sora terdiam karena tidak menyangka Rei memiliki perasaan yang sama padanya, atau Sora terkejut karena tidak menyangka Rei menyimpan perasaan padanya lebih dari sekedar teman. Rei takut yang terjadi padanya adalah opsi yang kedua. Dengan cepat, ia pun memutar otak mencari lanjutan kalimat agar Sora berhenti memberikan ekspresi wajah seperti itu. “Ani, mwo (Tidak, maksudku).. Dari mimisan itu kan bisa jadi gejala dari penyakit - penyakit yang berbahaya seperti leukimia, hemofilia, kanker hidung, siapa yang tahu, bukan?” , tambah Rei melihat Sora yang hanya diam saja tidak merespon. Dan benar saja. Sora langsung bereaksi. Air mukanya berubah dari yang sebelumnya. Yang sekarang ini adalah Sora yang Rei kenal. Tanpa ragu, Sora mendaratkan beberapa tamparan pada lengan Rei karena sudah bicara yang tidak - tidak menurutnya. Padahal dalam hatinya, ia merasa kecewa bahwa harapan itu benar - benar tidak terjadi. Padahal, ia baru saja bertanya - tanya dalam hatinya, dan ia langsung mendapatkan jawabannya kurasa. KRIIIING Canda tawa yang mereka lakukan, rupanya tidak cukup kuat untuk membuat waktu menjadi berhenti sejenak saja. Mereka berdua langsung merasa panik saat bel tanda masuk berbunyi, tetapi mereka masih berada di luar kelas dan harus secepatnya kembali ke kelas. Rei spontan langsung berjongkok, “Cepat! Naiklah!”, katanya mendesak. Sora tidak memiliki pilihan lain. Situasi yang dihadapinya saat ini tidak dalam situasi yang mengijinkannya membuat keputusan lain. Pada akhirnya, Sora dibantu dengan Rei, turun dari tempat tidurnya dan naik ke punggungnya Rei dengan tangannya yang memegang tongkat alat bantu jalan miliknya. Berusaha secepat yang Rei bisa, akhirnya mereka sampai di kelas mereka dengan sedikit terlambat. Untungnya, guru yang mengajar kali ini terkenal baik hati dan begitu penyayang. Mereka berdua diijinkan untuk bergabung mengikuti pelajaran setelah alasan yang mereka berikan bisa diterima. *** Setelah membersihkan kotoran - kotoran dan benda asing dari luka yang terbuka itu, ayahnya Sora sudah siap dengan jarum dan benang di tangannya untuk menjahit luka tersebut agar kembali tertutup dan mencegah pendarahan berlanjut. Sebelum mulai menjahit, ayah Sora memeriksa cairan infus dan mengatur ulang kecepatan dan volume dari cairan infusnya seimbang. Pasien yang memiliki luka terbuka itu terlihat takut - takut melihat apa yang akan ayahnya Sora lakukan. Walaupun kulit sekitar lukanya yang terbuka sudah diberikan obat bius yang akan membuatnya tidak akan merasa sakit ataupun nyeri selama prosedur penjahitan berlangsung, tetap saja ia merasa ngeri membayangkan jarum bengkok di tangan ayahnya Sora akan menusuk kulitnya dan menarik benang yang ukurannya lebih besar dari benang jahit milik ibunya. Semua persiapan sudah siap. Ayahnya Sora kembali duduk dan bersiap di depan luka yang akan dijahitnya. Sebelum mulai melakukan prosedur, ayahnya Sora menatap pada wajah pasien yang terlihat takut dan cemas. Ia tersenyum mencoba menenangkan. “Jeogiyo (Maaf, permisi), aku tidak akan melakukannya jika kau tidak ingin aku untuk melakukannya. Tetapi luka anda tetap harus ditutup untuk mencegah benda - benda asing masuk dengan bebas karena luka ini seperti portal besar tanpa batas bagi kuman, bakteri, virus, dan benda asing lainnya.” , jelas ayah Sora mencoba menjelaskan situasi yang ada dengan sederhana. Air muka pasien tersebut terlihat lebih tenang dari sebelumnya setelah memahami jenis situasi seperti apa yang sedang dihadapi olehnya, “T-tidak apa, dokter. Lanjutkan saja.” , jawabnya masih agak takut - takut. Ayahnya Sora mengerti masih ada sedikit ketakutan yang ada pada pasien. “Hanjabun (pasien), aku akan melakukannya dengan cepat karena ini bukanlah kali pertamanya aku menjahit luka. Kau bisa berhitung mundur dari seratus dan aku akan mulai menjahit lukanya. Aku bisa menjanjikan padamu, sebelum kau selesai berhitung, aku sudah selesai menjahit lukamu.” , tantang ayahnya Sora. Pasien itu mengangguk setuju dan mulai menghitung mundur dari seratus, sementara ayahnya Sora mulai menusukkan jarum yang sudah terhubung dengan benang menggunakan pinset dan menariknya hingga menyisakan hanya beberapa sentimeter benang. Dapat terlihat dari raut wajah pasien tersebut, ia masih bisa merasakan geli saat benangnya ditarik melewati kulitnya walaupun sudah diberi obat bius. Setelah menarik benangnya, kemudian ia mengikat benang tersebut dengan sebuah simpul sederhana dan tak lupa kemudian mengguntingnya untuk melanjutkan lagi sebelahnya dengan proses yang sama hingga luka sepanjang lima sentimeter tersebut benar - benar tertutup sepenuhnya. “Jja (ini dia).. Sudah selesai.” , ujar ayah Sora seraya meletakkan kembali peralatannya ke dalam baki untuk nanti dibawa oleh petugas yang bertugas mensterilkan peralatan medis yang bisa dogunakan kembali. Pasien tadi berhenti menghitung dan membuka matanya, “Masih ada dua puluh tiga angka lagi yang masih tersisa.” , katanya dengan lebih ceria. Ayahnya Sora mengerti bahwa itu adalah pujian dari pasien tersebut untuk dirinya yang telah mengerjakannya dengan cepat dan menepati kata - katanya yang berkata akan menyelesaikannya sebelum selesai menghitung mundur dari seratus. “Dokter, apa kau sudah selesai? Bisa tolong tangani pasien di ujung sana?” ujar seorang perawat yang tiba - tiba datang menghampirinya dengan tergesa - gesa, “Aku harus membantu dalam operasi doker Cha. Butakhae (Aku mohon bantuanmu).” , katanya dengan buru - buru. “Araseo (aku mengerti).” , jawab ayah Rei menyanggupi dan langsung melepas sarung tangan karentnya yang sudah terkontaminasi dengan barang - barang lainnya, “Jal butakhae (Bekerjalah dengan baik).” , balas perawat tadi dan ia langsung bergegas menuju ruang operasi. Sementara itu ayah Sora sebelum meninggalkan pasien yang baru saja dijahit lukanya olehnya, ia memeriksa kembali tanda - tanda vital dari pasien dan memeriksa juga penutupan lukanya dengan sebuah senter kecil mirip sebuah pulpen di tangannya. “Semuanya baik. Hanya tinggal beristirahat adn minum beberapa kali amoxcillinnya.” , pesan ayah Sora. “Ne (iya). Gamsahamnida (terima kasih), dokter).” , balas pasien tadi sebelum ayah Sora beranjak pergi dari sana untuk menangani pasien lainnya yang disebutkan oleh perawat yang meminta bantuan padanya. Rupanya pasien yang diserahkan padanya tadi adalah pasien dengan luka bakar yang masih belum dibalut kasa lembut. Dengan telaten dan hati - hati, ayahnya Sora membalutkan kain kasa bersih yang kering pada wajah salah satu korban kebakaran gedung pusat perbelanjaan tadi dengan luka bakar hampir lima puluh persen. Ia yang memegang luka bakar terbanyak dibandingkan korban - korban lainnya yang hanya di bawah lima puluh persen. Pasien tersebut tidak sadarkan diri dan masih nyenyak dalam tidurnya. Ayahnya Sora membayangkan apa saja yang telah pasien ini lakukan hingga mendapatkan luka bakar hampir setengah bagian tubuhnya itu. Satu hal yang pasti, ayahnya Sora menduga pasien ini pasti tengah melindungi sesuatu ataupun seseorang dari kobaran api jika melihat posisi luka bakar yang kebanyakan berada pada sepanjang punggung tangan pasien tersebut. Semua dokter yang sedang tidak memiliki pasien hari ini, turun ke ruang Unit Gawat Darurat dikhususkan untuk menangani kasus korban kebakaran ini. Walaupun tidak semua korban yang ada dibawa ke rumah sakit ini, tetapi mereka semua masih kewalahan karena jumlah tenaga medis dan para korban tidak seimbang. Petugas penyelamatan yang ada di tempat kejadian perkara pun tidak bisa mengalihkan mereka ke rumah sakit lain karena jarak rumah sakit terdekat dari tempat kejadian hanya ada dua rumah sakit saja dan salah satunya adalah rumah sakit tempat ayahnya Sora bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD