BAB LIMA PULUH LIMA

2260 Words
Rei tahu Sora pasti akan berpura - pura tidak mendengar panggilannya. Rei tidak punya pilihan lain selain memaksa masuk jika Sora terus bertingkah seperti mengabaikannya. Ia memasukkan tangannya masuk melalui celah - celah besi gerbang berwarna hitam yang tinggi dan meraba - raba mencari grendel pintu gerbang untuk menariknya agar pintu gerbangnya bisa terbuka. Dengan senyum di wajahnya, Rei masuk dan menutup kembali pintu gerbangnya, “Biar aku saja yang pesan jajangmyeon~” , sahut Rei seraya berjalan menghampiri Sora yang sudah sampai di depan pintunya dan tengah membuka kuncinya. *** Rei yang sudah menganggap rumah Sora seperti rumahnya sendiri, dengan santainya langsung masuk begitu saja setelah Sora masuk dan ia yang menutupkan pintunya. “Tadaima (Aku pulang)~” , ucap Rei seraya melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal bulu putih yang sudah tersedia pada rak sepatu dan sandal yang berada tepat di samping kanan dan kiri pintu. Sora menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja Rei ucapkan. Bukan karena Sora baru pertama kali dengar dan tidak mengerti bahasa Jepang yang memang seringkali terucap keluar dari mulut Rei, tetapi karena Rei mengatakannya di rumahnya yang adalah bukan rumah milik Rei. Tetapi Rei mengatakannya seakan - akan ini adalah rumah miliknya. Belum lagi tingkahnya yang langsung meletakan tasnya dengan dia yang melemparkan juga tubuhnya ke dudukan Sofa. Tangan kanannya meraih gagang telepon rumah yang ada di atas meja tepat di samping kanan Sofa dan menekan nomor panggilan yang sudah tidak asing baginya. Hanya dalam dering ke dua, panggilan tersebut langsung dijawab oleh seseorang di seberang sana. “Ne (iya), bisakah mengantarkan dua porsi jajangmye-” , Rei sedikit menjauhkan gagang teleponnya untuk bicara pada Sora, “Kau mau satu atau dua porsi?” , tanyanya dengan sedikit berbisik. Sora tengah duduk untuk melepas sepatunya karena kondisinya tidak memungkinkan untuknya melepas sepatunya dengan berdiri, “Jajangmyeon duge, kimbap hana juseyo (tolong dua porsi jajangmyeon, dan satu kimbab)~” Rei terbelalak begitu mendengar banyaknya porsi makanan yang Sora pesan hanya untuk dirinya sendiri. Tapi bagaimana pun Rei yakin Sora pasti bisa menghabiskannya karena selama ini Sora tidak pernah menyisakan makanan yang ia pesan. “Ne (iya), tiga porsi jajangmyeon dan satu porsi kimbab di antar ke rumah nomor tujuh belas yang tepat berada di atas tanjakan jalan. Iya, benar. Iya, betul, rumah dengan pagar hitam. Gamsahabnida (terima kasih)~” , tut, Rei meletakan kembali gagang telepon ke tempatnya semula. Dilihatnya Sora kesulitan untuk bangun berdiri kembali dari duduknya di lantai. Sora terlihat takut - takut untuk berdiri sebab gips yang melindungi kakinya yang patah cukup besar dan malam - malam seperti ini biasanya kakinya yang terbalut gips itu terasa nyeri dan ngilu, terlebih lagi pada sambungan hubungan tulang yang patah. Pernah sebelumnya Sora kehilangan keseimbangan saat berusaha untuk bangun. Dengan sekuat tenaganya dan yakin pada kekuatan yang tersisa pada dirinya, Sora menggunakan tangan kanannya untuk mendorong tubuhnya bangkit berdiri dari lantai dan tangan kirinya sudah siap meemgang tongkat bantu jalannya. Tidak hanya dari bantuan kedua tangannya untuk memberikan dorongan agar tubuhnya mau berdiri, kakinya pun memijak dengan kuat agar tubuhnya benar - benar terangkat. Sora tersenyum senang ketika ia hampir sepenuhnya berdiri, dan hanya tinggal beberapa dorongan lagi maka ia sudah berdiri tegak dengan satu kakinya. Rei di belakangnya merasakan hal yang tidak enak melihat Sora seperti itu. Ia pun beranjak dari sofa dan memutuskan untuk membantu Sora. Alih - alih keberhasilan, hal yang tidak diinginkan justru terjadi. Ujung kaki tongkat bantu jalannya terpeleset dan secara langsung membuat Sora kehilangan keseimbangan. Rei yang hanya berjarak beberapa langkah di belakangnya, dengan cepat langsung meluncur dan menangkap tubuh Sora agar tidak jatuh. Kejadiannya begitu cepat. Sora yang tadinya sudah bersiap untuk rasa sakit yang akan ia terima pada bagian bokongnya karena benturan keras pada lantai tadi, terkejut ketika menyadari punggungnya bersandar pada sesuatu di belakangnya yang menahan tubuhnya. Rupanya kepala dan bahunya Sora bersandar pada d**a Rei. Bagian belakang kepala Sora yang sebelah kiri bisa merasakan dengan jelas detak jantung Rei yang kecepatannya tidak jauh berbeda dengan miliknya. Sora mendongakkan kepalanya melihat pada Rei dan begitu juga dengan Rei yang menunduk sesaat menatap pada Sora, mata mereka bertemu dengan canggung sampai akhirnya Rei mendorong dengan perlahan tubuh Sora dengan tangannya yang memegang kedua pundak Sora. Akhirnya Sora berhasil berdiri dengan bantuan Rei. “Ya (hei)!.. Kau kan bisa meminta bantuanku jika kau merasa kesulitan. Mengapa membahayakan dirimu dengan mempersulit dirimu sendiri? Kau ini.. Bersikap seolah - olah aku ini hanya bisa mengganggumu dan tidak bisa membantumu.” , keluh Rei terpicu oleh rasa khawatirnya pada Sora. Sora berbalik menghadap Rei dengan canggung sekaligus malu, “Araseo (aku mengerti)!..” , balas Sora masih dengan nada galaknya namun semakin merendah di akhir kalimatnya, “Bikyeo (menyingkirlah)!” , katanya galak meminta Rei untuk tidak menghalangi jalannya. Rei menurut dan bergeser. Sora berjalan pergi menuju kamar tamu yang ada di lantai satu yang menjadi kamarnya untuk sementara sebab kondisinya yang tidak memungkinkan dirinya untuk pergi naik turun tangga ke kamarnya yang biasa, yang berada di lantai dua. Itu sebabnya, untuk sementara ia akan tidur di kamar tamu yang hampir tidak pernah digunakan. Ayahnya telah membersihkannya beberapa hari lalu sebelum Sora menggunakannya, tetapi aroma kayu dan debu yang masih bercampur di udara masih bisa tercium samar. Ayahnya pun telah memindahkan semua keperluan yang Sora butuhkan mulai dari pakaian, buku - buku, hingga beberapa barang - barang elektronik yang biasa Sora gunakan. Tak lama setelah Sora masuk ke dalam kamarnya, ia keluar dengan membawa pakaian ganti dan berjalan dengan cuek melewati Rei yang tengah berbaring santai di sofa seraya menonton televisi. Rei tertawa terbahak - bahak menonton acara variety show yang biasa tayang. Tawanya tidak berhenti walaupun Sora sempat menghalangi televisi dari pandangannya saat Sora berjalan melewatinya. Matanya mengekori gerak - gerik Sora sampai Sora benar - benar masuk ke dalam kamar mandi. Sesaat sebelum menutup pintu kamar mandi, Rei bisa melihat Sora menatapnya sesaat. Tidak ingin ketahuan, Rei langsung mengalihkan pandangannya kembali pada televisi dan tertawa. Beberapa waktu telah berlalu. Rei mulai bosan. Ia melihat ke arah pintu kamar mandi dan bertanya - tanya mengapa Sora tak kunjung selesai dengan mandinya padahal sudah lebih dari dua puluh menit berlalu, menurut perhitungan Rei yang tidak berhenti memeriksa jam yang melingkar di tangannya. Tiba - tiba saja seseorang menekan bel rumah Sora yang ada di luar gerbang. Rei segera melompat dari sofa untuk melihat siapa yang datang. Rupanya yang datang adalah pesanan makan malamnya yang sudah ia tunggu - tunggu sejak tadi. Tanpa menunggu lagi, segera Rei pergi keluar dengan meminjam sandal Sora yang bisa ia temukan dengan mudah di antara sepatu - sepatu dan sandal yang berjejer pada rak sepatu. Sora keluar dari kamar mandi bersamaan dengan Rei yang baru masuk kembali ke dalam rumah dengan membawa empat tumpuk mangkuk plastik yang dibungkus dengan plastik wrap tipis. Rei menutup pintu dengan kakinya dan dengan hati - hati membawa tumpukan itu ke dapur dan meletakannya di atas meja makan. “Makan malam sudah datang~” , ujar Rei dengan riang pada Sora. Tidak menjawab apa - apa, Sora hanya meresponnya dengan satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Masih dengan handuk yang menyampir di lehernya, Sora beralih ke dapur untuk mengambil minum karena sejak tadi ia belum minum air sama sekali. Begitu ia membuka kulkas, Sora melihat masih ada sisa kimchi yang diberikan oleh ibunya Rei beberapa minggu yang lalu. “Kau mau kimchi?” , tanya Sora menawarkan pada Rei yang tengah mencuci tangannya. “Danyeonghaji (Tentu saja sudah pasti).” Sora mengangguk - angguk setuju. Rasanya kurang lengkap jika makan tidak ditemani dengan kimchi. Untungnya, kimchi yang tersisa hanya tinggal satu buah sawi putih utuh, jadi Sora bisa dengan mudah mengeluarkannya dari kulkas bersama dengan tempatnya untuk diletakannya pada meja di samping kulkas, “Rei, tolong ambilkan pisau di dekatmu itu.” , katanya seraya meraih talenan yang tersandar di hadapannya. Segera setelah mencuci tangannya, Rei memberikan pisau yang Sora minta. Kemudian dengan mudahnya Sora mengelurkan sawi putih utuh yang sudah layu berlumuran pasta cabai itu keluar dari wadah penyimpanannya dan meletakannya di atas talenan untuk kemudian ia potong - potong menjadi lebih kecil agar bisa memakannya dengan lebih mudah. Sementara Rei memperhatikan dari samping. “Rei, bisa tolong ambilkan piring kecil untuk tempat kimchi?” , pinta Sora lagi, tidak ingin menyia - nyiakan kehadiran Rei di sampingnya. Rei berbalik kembali ke bak cuci piring dan melihat pada rak besi diatasnya, “Yeogi eopseo (Tidak ada disini).” , katanya setelah tidak melihat adanya barang yang Sora minta. “Coba kau periksa pada lemari di atas ini.” , balas Sora seraya menunjuk lemari kecil yang berada tepat di atasnya dengan matanya. Rei menurut saja. Ia mendekat pada Sora dan berdiri tepat di belakangnya. Tangan kirinya menutupi dahi Sora berniat untuk melindungi dahi Sora agar tidak menyentuh ataupun membentur ujung pintu lemari sementara tangan kanannya membuka pintu lemari kecil yang Sora maksudkan tadi. Tanpa Rei tahu bahwa yang ia lakukan ini telah membuat Sora tiba - tiba saja menjadi gugup. Tangannya berhenti memotong dan kelopak matanya berkedip dengan lambat. Ia bisa merasakan betapa dekatnya dirinya dengan Rei sekarang. Jika ia mundur dua senti saja, punggungnya sudah bisa bersandar pada d**a Rei. Dirinya merasa benar - benar tertutupi oleh Rei di belakangnya. “Ah yeogi ne (ini dia)!” , Rei agak berjinjit membuat dadanya menyentuh kepala Sora dan Sora bisa mencium aroma cologne yang Rei gunakan dengan begitu jelas. “Ini, kan?” , tanyanya seraya meletakkan sebuah piring keramik putih kecil di samping talenan. Ia kembali menutup pintu lemari sebelum beranjak dari tempatnya dan kembali berdiri di samping Sora. “Hm.” , jawab Sora tidak tahu harus menjawab apa lagi karena ia masih gugup akibat yang barusan Rei lakukan padanya. Rei menunggu hingga Sora selesai memotong - motong kimchinya agar ia bisa membawakannya untuk Sora. Dari satu buah sawi putih utuh tadi rupanya setengahnya saja sudah bisa dipotong - potong hingga menjadi menggunung di atas piring. Sora pun memutuskan hanya memakai setengah bagian sawi putihnya dan menyimpan sisanya untuk nanti. Rei membawakan piring yang sudah berisi kimchi tadi ke meja makan sementara Sora meletakkan kembali kimchi yang masih tersisa ke dalam kulkas dan mencuci tangannya sebelum bergabung dengan Rei di meja makan. Selagi menunggu Sora, Rei membuka plastik pembungkus pada mangkuk jajangmyeon dan mengaduk - adukannya hingga saus kedelai hitamnya tercampur rata dengan mienya. Sora bergabung di meja makan dengan duduk tepat di hadapan Rei. Setelah dirasa cukup tercampur dengan rata, Rei meletakkannya di depan Sora dan kemudian membuka kembali jajangmyeon untuknya. Sora memang sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh Rei. Tetapi satu hal yang tidak bisa ia mengerti adalah dirinya yang masih saja terus merasa tertegun dan terbawa perasaan oleh perlakuan Rei. Hal ini membuatnya bertanya - tanya apa Rei juga melakukan hal seperti ini pada perempuan lain, pada Yuri contohnya. Tidak tahu mengapa, Sora hanya penasaran saja. Ia tidak ingin salah paham dengan perlakuan Rei padanya. Alih - alih bertanya langsung pada Rei, Sora memilih untuk mencari jawabannya dengan terus menatap pada Rei yang sedang mengaduk jajangmyeon untuk dirinya. Terus ditatap seperti itu tentu Rei akan merasa ada yang memperhatikannya. Benar saja, begitu ia menoleh pada Sora, orang yang duduk di hadapannya itu juga tengah menatapnya sambil mengemut ujung sumpit di tangannya. “Mwo (apa)?” , tanya Rei menginterupsi. Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya pelan. Tentu saja Rei tidak puas dengan jawaban seperti itu. Sambil terus mengaduk jajangmyeonnya, ia berpikir menebak - nebak apa yang tengah Sora pikirkan dan inginkan dengan menatapnya terus seperti itu. Seketika sebuah pemikiran sederhana namun masuk akal dan sesuai dengan kepribadian Sora, “Ah~” , Rei mengangguk - angguk mengerti dengan wajah puas karena merasa telah berhasil mengerti kode dari Sora. Ia menukar jajangmyeon miliknya dengan jajangmyeon milik Sora, “Dwaettji (Sudah puas)?” , tanya Rei dengan bangga. Sementara Sora tidak mengerti apa maksud Rei menukar jajangmyeon miliknya padahal keduanya dibeli di tempat yang sama. “Ya ampun Sora. Aku tidak menyangka kau begitu perhitungan seperti ini.” , ujar Rei dengan senyum geli di wajahnya. Mendengar perkataan Rei dengan ekspresi wajah seperti itu membuat Sora merasa sedang diledek, “Apa maksudmu?” “Ani (tidak).. maksudku, apa bedanya jajangmyeonmu dengan jajangmyeonku, mereka dibeli dari tempat yang sama.” , jelas Rei masih dengan ekspresi gelinya. “Benar, lalu apa?” , Sora masih tidak mengerti. “Lalu kenapa kau minta untuk menukarnya? Bukankah mereka sama saja?” “Naega (aku)? Eonje (kapan)?” “Tadi? Tadi kau terus menatapku, kan?” Sora hampir tersedak oleh air liurnya sendiri mendengar pernyataan dari Rei. “Kau ini konyol sekali, Rei.” “Lalu memangnya apa maksudmu dengan terus menatapku seperti tadi?” , protes Rei menuntut jawaban yang sebenarnya karena merasa tidak terima kesimpulannya disebut konyol. Sora tentu tidak mau berterus terang mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tadi. “Apa maksudmu? Lalu aku harus melihat apa? Apa aku harus menatap meja? Apa aku harus menatap lemari, hah? Wajar saja aku menatapmu, hanya kau manusia selain aku disini.” , jelas Sora yang tentu saja hanya bualan dan alasan saja, “Kau saja yang berpikiran yang tidak - tidak.” , gerutu Sora. “Ani.. Nae mareun (Tidak.. maksudku)--” “Ah dwaesseo (ah sudahlah). Aku sedang tidak memiliki tenaga untuk berdebat saat ini. Meokgo (Makanlah).” , sela Sora sebelum Rei melanjutkan kalimatnya yang justru akan menyudutkannya. Rei pasrah dan menurut saja karena apa yang Sora katakan ada benarnya juga. Dirinya sendiri pun tidak memiliki tenaga untuk berdebat saat ini. ‘Itadakimasu (selamat makan)..” “Jal meokgo sseumnida (Aku akan menikmati makanannya)..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD