BAB 1. Kecelakaan Tragis
“Yara! Ayara! Akh di mana dia?!” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan tato di sekujur kedua lengan celingukan sendiri. Dia memicingkan mata untuk mempertajam penglihatan, mencari sosok yang sedari tadi dikejarnya.
Sementara itu, beberapa meter di depan, seorang wanita muda yang sedang hamil tua tampak bergetar ketakutan di balik pohon besar. Beruntung hujan deras dan gelapnya malam ikut membantu menyembunyikannya dari kejaran sang pemburu.
“Ah, sial!” Lelaki basah kuyup itu memutuskan mencari ke arah lain. Mencoba peruntungan saja sebab dia sudah kehilangan jejak wanita hamil itu.
Mengintip di balik kegelapan, Ayara, nama wanita 21 tahun itu, kemudian menghela napas lega. Dia masih dapat melihat punggung si pengejar semakin menjauh.
Ayara keluar dari persembunyian. Begitu sepi, sudah jam sebelas malam tadi saat dia kabur dari rumah. Dan sekarang mungkin sudah lebih dari 30 menit berlalu. Entahlah, jangankan jam tangan, dompet dan handphone saja dia tidak sempat bawa tadi.
Selagi Ayara mencoba melangkah di antara akar pohon, di pinggir jalan raya yang kebetulan berupa hutan kota, tiba-tiba satu tangannya dicekal seseorang dengan kencang.
Wanita itu kaget, dia membalik badan dan langsung melotot ketika melihat siapa yang sedang menarik tangannya. “Ibu?! Bu, lepaskan aku! Jangan Bu!”
“Ryan! Ryan dia di sini! Cepat kesini, bodoh! Badan doang gede, nyari istri hamil begini saja nggak becus!” Riska terus mengoceh sambil berusaha memegangi Ayara yang berontak. Tubuhnya juga sudah basah kuyup sama seperti Ayara.
“Aduh Bu! Lepaskan!” Sebelah tangan Ayara yang bebas terus memegangi perutnya. Sejak berlari dari rumah tadi sampai ke pinggir jalan yang entah di mana ini, perut buncitnya terasa kram. Namun rasa sakit itu dia tahan sejak tadi, karena sanking inginnya terlepas dari jerat suami dan ibu mertua.
Ryan yang sudah mendekat cengengesan sambil mengusap dagunya. Namun sebelah tangannya langsung menjambak rambut panjang Ayara tanpa belas kasihan. “Heh! Perempuan nggak tahu diuntung! Kamu mau kabur dari rumah memangnya mau tinggal di mana? Mau jadi gelandangan?! Hah! Itu perut sebentar lagi mau lahiran masih juga belagu! Sok mau kabur segala! Ayo pulang!”
Ryan yang bertubuh kekar dengan mudahnya menyeret Ayara yang tubuhnya bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil.
“Mas Ryan! Sakit! Aduh kepalaku sakit, Mas!” Rasanya kulit kepala Ayara mau terlepas karena cengkeraman tangan Ryan sangat kuat.
“Ya salahmu sendiri! Pake’ kabur segala! Rasakan saja, nanti di rumah akan aku hukum lebih berat!””
“Kurung saja lagi dia di gudang, Ryan!” seru Riska mengalahkan deru hujan.
Ayara langsung menoleh ke belakang dengan raut memelas. “Jangan, Ibu! Tolong jangan kurung aku di gudang lagi!” Tangis Ayara rasanya sia-sia. Kedua orang itu tidak merasa kasihan sama sekali. Tapi justru mereka tertawa mengejek.
“Ayo cepat jalannya! Aku nggak sabar mau ngurung kamu di gudang!” Ryan semakin mempercepat langkahnya, dengan demikian Ayara semakin terseret.
Ayara membayangkan dia akan kembali dijebloskan ke gudang seperti yang sudah-sudah. Tanpa lampu dan tanpa makan minum. Di sana pengap, bau, kotor berdebu dan … banyak suara-suara aneh menyeramkan!
“Aaa!” Teriakan Ayara yang tiba-tiba disusul dengan kedua tangannya menarik tangan kekar Ryan lalu mengigit pergelangan tangan sang suami dengan sangat kencang, sekuat tenaga.
“Argh! Sial!” Ryan sontak melepaskan cengkeramannya pada rambut panjang Ayara. Pergelangan tangannya terasa perih.
Saat itulah kesempatan tidak disia-siakan Ayara. Wanita malang itu kembali berlari. Riska sempat meraih ujung baju Ayara tapi kalah kuat. Ayara terus berlari hingga bajunya robek.
“Tangkap Ryan! Tangkap dia!” teriak Riska panik.
Ryan tersadar, dia mendongak dan melihat sang istri telah berlari di depan sana, sambil memegangi perutnya dengan kedua tangan.
Ayara terus berlari dengan sorot mata yang nyalang mencari-cari siapapun yang mungkin dapat menolongnya. Tapi memang benar kata Ryan, sial baginya, tidak seorang pun pejalan kaki yang terlihat.
Lagipula untuk apa ada pejalan kaki iseng hampir jam dua belas malam begini dan dalam keadaan hujan lebat.
“Ayara! Awas kamu ya!” Ryan dengan lari yang lebih kencang dengan cepat segera menyusul Ayara.
Saat itulah Ayara menoleh ke belakang karena dia mendengar suara suaminya semakin dekat. Ayara panik! Dia tidak mau lagi tertangkap oleh dua orang kejam di belakangnya. Tanpa sadar Ayara telah berlari melewati garis pembatas jalan. Kakinya telah menyentuh aspal dan bahkan semakin ke tengah.
“Ayara awas!” teriak Riska dan detik kemudian kakinya mengerem mendadak. Kedua bola mata Riska melotot melihat pemandangan di depan mata. Tangannya gemetaran saat melambai ke arah Ryan yang juga sedang mematung beberapa langkah di depannya.
“R—ryan! He—hei Ryan! Sadarlah! Ayo cepat kita pergi!” teriaknya sambil melihat dengan panik le sekitar. Sepi senyap. Gelap dan mencekam.
Ryan menoleh, ibunya telah menghampirinya lalu menggoyang-goyangkan tangannya. “Ibu, bagaimana ini? Ayara kecelakaan karena kita kejar, Bu!” Suaranya bergetar. Raut wajah yang biasanya sangar kini menjadi tegang.
“Enak saja! Bukan karena kita! Tapi karena dia yang lari sendiri! Dan bodohnya malah ke tengah jalan! Ayo cepat kita pergi dari sini!” Meskipun Riska menyangkal ucapan anaknya. Tapi tetap saja dalam hatinya membenarkan. Dia ketakutan akan menjadi terdakwa dan lalu masuk penjara.
“Tapi Bu, Ayara butuh pertolongan! Bagaimana dengan anakku? Itu cucu yang Ibu inginkan selama ini!” Ryan menahan tangan Riska. “Kita tolong anakku, Bu. Di sini nggak ada saksi mata.”
Riska melotot lalu berjinjit dan memukul kepala anaknya. “Heh bodoh! Bagaimana kamu tahu nggak ada saksi mata! Itu yang di dalam mobil belum tentu pingsan, ayo cepatlah kita pergi dari sini! Ibu nggak mau kena masalah!” Riska kembali menarik tangan Ryan.
Awalnya Ryan masih ragu, tapi ketika samar dia melihat pintu mobil yang terguling itu terbuka, dia langsung berubah pikiran. Ikut berlari bersama sang ibu, kabur dari sana. Meninggalkan istrinya yang tergeletak di tengah jalan bersimbah darah.
Seorang pria menendang pintu yang macet dari dalam, kepalanya pusing dan nyeri di bagian kening. Dia dalam posisi terbalik di dalam mobil yang terguling. Susah payah akhirnya pintu itu terbuka juga dan dia merangkak keluar.
Hujan deras jatuh di atasnya. Air hujan bercampur darah mengalir di wajah pria itu. Tertatih dia berjalan memutari mobil lalu berusaha membuka pintu penumpang belakang. Nihil! Pintunya macet.
Pria itu berjongkok dan bisa melihat seseorang di sana, dalam keadaan tidak sadar atau mungkin … meninggal?
“Nyonya? Nyonya Freya!”