Vian membuka pintu  apartemennya perlahan dan menyembunyikan seikat bunga mawar untuk pacar  rahasianya-Stevie. Dia sudah membayangkan bagaimana wajah bahagia Stevie  ketika menerima mawar kesukaannya itu.  Vian dengan langkah pelan-pelan  agar tidak menimbulkan suara, menuju keruang tamu. Sayangnya,  kekasihnya tidak ada disana.
Dimana Stevie? batin Vian.
Vian berpikir sejenak  dan mendengar sebuah suara yang aneh dari dalam kamar tidur. Ah,  ternyata Stevie ada didalam sana. Mungkin sedang beristirahat.
"Ahhh~"
Vian terpaku mendengar suara Stevie yang mendesah seksi. Wow, apa Stevie sedang memuaskan hasratnya sendirian? 
"Kau cantik sayang..."
Deg. 
A-apa? Suara pria asing?
Vian  membuka perlahan pintu kamar dan melihat Stevie sedang b******a dengan  pria asing yang tidak dikenalnya. Diatas ranjangnya dan Stevie! w***********g!
BRAK!
Stevie dan pria asing  itu terkejut dengan kehadiran Vian. Stevie wajahnya memucat dan pria itu  segera beranjak dari ranjang memunguti pakaiannya yang berserakan. Vian  yang geram melayangkan tinjunya pada pria asing itu.
Vian dikhianati kekasih yang dipujanya.
.
.
.
.
.
"w***********g! Sialan!  Kau menjijikan!" Vian menggeram melihat Stevie yang masih tanpa busana  diatas ranjang. Pria asing yang dipukulnya sudah lari entah kemana. Pria  itu takut mati ditangan Vian yang dalam kalut emosi.
"Kau saja yang bodoh terlalu mencintaiku. Aku bosan berpura-pura mencintaimu."
PLAK.
Vian menampar Stevie dan  wanita itu hanya tersenyum sinis. Stevie sama sekali tidak tampak  menyesali apa yang dilakukannya tadi. Dia bahkan merasa lega sudah  ketahuan oleh Vian. Dia bisa kembali menjadi diri sendiri.
"Setelah kuberikan semua padamu, kau mengatakan hal itu?" Mata Vian menyala dan Stevie tidak takut menantang tatapan itu.
"Hah. Kau saja yang  bernafsu memilikiku. Padahal otangtuamu sudah memperingatkanmu. Kau  malah mengabaikan nasihat mereka dan membuat istrimu yang tertimpa  masalah. Pria macam apa kau ini? Kau menjijikan." ketus Stevie yang  mulai memakai pakaian dalamnya.
"Asal kau tahu, Vian.  Kau hanyalah alat agar aku dapat diterima didunia entertaimen. Tidak  lebih. Aku hanya butuh kekuasaanmu agar karirku berjalan mulus. Soal  berkeluarga denganmu? Yang benar saja... Aku tidak mau mendapatkan pria  duda yang menceraikan istrinya untuk perempuan lain. Walaupun aku yang  menggodamu, tapi aku juga tidak mau nanti dikhianati. Kau itu pasti akan  mencari wanita lainnya."
"Kau memang jalang! b******k! Mau pergi kemana kau?"
Vian melihat Stevie yang berkemas membawa beberapa pakaian. 
"Kita sudahi mainan rumah-rumahan ini."
Stevie meninggalkan  apartemen dan Vian termenung dengan kejadian hari ini. Bagaikan karma,  dia mendapati dirinya yang dikhianati. Vian teringat bagaimana dimasa  lalu dia perlakukan Jane seperti Stevie memperlakukan dirinya sekarang.
Sial.
.
.
.
.
.
"Leo sudah tidur?" tanya Raffael yang baru saja membereskan mainan Leo.
Jane mengangguk. Raffael tersenyum melihat malaikat kecil itu sudah pulas tertidur.
"Raf, kamu gak risih dekat-dekat sama aku? Gak khawatir sama reputasi kamu?" 
Raffael mengernyit bingung. 
"Maksudnya?"
"Begini..." Jane  mengambil tempat duduk disamping Raffael. "Kamu gak khawatir dekat  dengan janda beranak satu? Main kerumahnya sampai malam begini. Yah-aku  tahu tetanggaku pengertian, tapi kasihan kamunya. Aku gak mau kamu jelek  namanya karena hampir setiap hari datang kesini."
"Kamu juga gak kasihan sama Leo?"
"Loh, kenapa jadi bahas Leo?"
"Dia nanti rindu sama Om gantengnya. Hehehe."
"Dia itu pintar. Dinasihatin baik juga mengerti kok." 
Raffael menghela  nafasnya. Dia tahu bahwa Jane pasti memikirkan apa yang seharusnya tidak  penting dipikirkannya. Raffael mengusap lembut kepala Jane dan dia  melihat wanita itu terkejut karena sentuhannya. 
"Kenapa?" tanya Raffael yang melihat rona merah pada pipi Jane.
"Gak kenapa-kenapa.  Buruan minum teh hangatnya. Cepat pulang, nanti pagar komplek keburu di  tutup, tuh." Jane memalingkan wajahnya. Percuma, Raffael tahu rona  pipinya itu.
"Jane... seandainya  ayahnya Leo datang kembali padamu dan meminta rujuk. Kamu mau?" entah  apa yang merasuki pikiran Raffael menanyakan hal itu pada Jane. Padahal  hal itu mustahil terjadi. 
Tapi hati Raffael penasaran dengan tanggapan wanita yang disampingnya ini.
"Hahaha. Mustahil. Dia  sudah bahagia dengan wanita pujaannya itu. Lagipula, seandainya itu  terjadi... Aku akan mengusirnya. Semoga saja aku tidak bertemu dengannya  lagi. Selamanya."
Selamanya.
Jane teringat akan  peristiwa dimana dia ditalak cerai. Kata selamanya itu juga terungkap  saat dirinya bersumpah tidak akan melupakan kejadian dimana dia menangis  karena tuduhan palsu suaminya itu. Kejam. Hanya karena suaminya ingin  bersama dengan perempuan lain, pria itu menciptakan drama kejam yang  seolah Jane lah yang salah dalam pernikahan itu.
Padahal hari itu, pertama kalinya Jane merasakan kejutan dari Tuhan melalui kandungannya.
.
.
.
.
.
Vian menghabiskan  malam-malamnya yang sepi di klub malam. Mencari jalang yang bisa  memuaskan hasratnya. Stevie, kekasih hatinya yang selama ini dipujanya  mengkhianati hatinya. Separuh jiwa Vian terasa menghilang bersamaan  dengan perginya Stevie dengan meninggalkan luka. 
"Vian sayang~ Malam ini  bersenang-senanglah denganku." ucap salah satu jalang yang disewanya.  Vian bahkan tidak tahu nama jalang itu.
"Iya, puaskan aku malam ini. Sembuhkan jiwaku ini." Vian meracau dalam mabuk karena minuman keras.
"VIAN! Astaga! Lo memang anak b******k yah!" 
Vian melihat siapa penghinanya. Charlotta-Lotta, kakak perempuannya. Mau apa dia disini?
"Lo gila! Nyokap lo hilang dari rumah sakit! Lo malah bersenang-senang dengan jalang disini? Anak b******k lo!"
"Diam lo, Lott. Gak pantes lo kasih gue khotbah."
PLAK.
"Gue pantes kasih lo  khotbah, karena lo itu adik gue. Ikut lo sama gue, kita nyari Mama yang  hilang." Lotta menarik lengan Vian dan Vian segera menepisnya.
"Lepasin. Kalian itu hanya perusak hubungan gue. Pergi lo." 
Lotta mendengus kesal, dia segera mengambil smartphonenya dan menghubungi suaminya. Tanpa menunggu lama, Arrson- kakak ipar Vian datang dengan beberapa pesuruhnya.
"Angkat dia." titah Arrson ke anak buahnya.
"b******k. Lepasin gue. b******n!" Vian meronta dalam mabuknya.
Lotta pusing melihat  tingkah laku adiknya ini. Seminggu ini, Vian tidak masuk kantor dan  mengabaikan semua tugasnya sebagai pemimpin perusahaan. Ayahnya marah  besar dan mencari Vian ke tempat-tempat yang biasanya dikunjungi anaknya  itu. Sayang, Vian tidak ditemukan. Lotta yang tahu klub malam yang  menjadi favorit Vian akhir-akhir ini, ikut membantu sang Ayah. Benar  dugaan Lotta, Vian ada di klub malam itu.
Ibu Vian, Elizabeth-Ny. Eliza Hartanto menderita sakit Alzhaimer. Beliau  dirawat untuk mendapatkan pengobatan khusus dirumah sakit. Masalahnya  sekarang, si Ibu memilih melarikan diri karena tidak mau menjalani  perawatan dirumah sakit. Beliau berkeras bahwa dia tidak sakit. Ah!  Masalah selalu datang secara bersamaan dengan kawan-kawannya.
.
.
.
.
.
Leo dan teman-teman  mainnya dari panti asuhan Gereja sedang bermain bola di halaman Gereja  yang luas. Kegiatan sore yang biasa dilakukannya sambil menunggu  kedatangan Jane untuk menjemputnya. Para suster biarawati mengawasi  dengan seksama untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Keamanan  selalu terjaga disini.
Bola mengarah ke arah  Leo dan sayangnya anak itu tidak bisa menghadang bola itu. Bola yang  keluar dari lapangan, mengharuskan Leo untuk mengambilnya keluar  lapangan. Biarawati yang melihat Leo keluar area pengawasan, mengikuti  Leo mengambil bola.
"Ah!! Suster... Suster! Ada Nenek yang kesakitan!" teriak Leo panik dan berlari membawa bola.
"Leo... dimana Nenek itu?" tanya suster Cecilia yang cemas.
"Disana. Ayo, suster  ikut aku!" Leo menarik tangan suster Cecilia dan membawanya ke tempat  dia melihat seorang Nenek merintih kesakitan.
"I-ibu tidak apa?" tanya suster Cecilia yang melihat seorang ibu sedang meringis dalam duduk.
"Saya pusing sekali." rintih ibu itu.
Tanpa menunggu lama,  para biarawati lainnya datang bersama dengan petugas keamanan untuk  menggotong ibu itu. Dibawanya ke ruangan UKS Gereja dan diberikan obat  pereda sakit kepala untuk ibu itu. Beberapa biarawati lainnya juga  menyiapkan roti serta biskuit dan juga teh hangat untuk dikonsumsi ibu  itu.
"Masih pusing, bu?" tanya suster Cecilia yang memeriksa suhu tubuh ibu itu.
"Mendingan... Terima kasih." ucap ibu itu dan langsung tertidur karena pengaruh obat.
"Suster... Nenek tadi masih sakit?" Leo mengintip dari celah pintu UKS mengamati apa yang terjadi di dalam ruangan.
Suster Cecilia keluar  dari UKS dan menggendong Leo. Memberi usapan lembut di kepala anak itu.  "Leo pintar sudah bertindak cepat. Terima kasih ya..."
"Sama-sama suster. Leo  mau jadi anak pintar supaya bisa ketemu Papa. Tapi suster jangan  bilang-bilang Mama ya... Nanti Mama nangis kalau Leo tanya soal Papa.  Kenapa ya?" 
Suster Cecilia hanya  tersenyum sedih melihat Leo, "Karena Mamamu terlalu sayang sama Leo.  Jadi Mama menangis kalau ingat Papamu."
"Papa jahat?" tanya Leo polos.
"Tidak sayang... Papamu tidak jahat. Jadi Leo jangan benci Papa ya..."
"Iya Suster... Leo gak akan benci Papa..."
Jane terdiam mendengar  ucapan Suster Cecilia dan Leo. Diusapnya air mata yang akan jatuh  disudut matanya. Leo tidak boleh melihatnya menangis lagi karena Vian. 
Jane akan membahagiakan Leo hingga anak itu tidak lagi menanyakan soal Ayahnya lagi.