Two : Traitor

1352 Words
Vian membuka pintu apartemennya perlahan dan menyembunyikan seikat bunga mawar untuk pacar rahasianya-Stevie. Dia sudah membayangkan bagaimana wajah bahagia Stevie ketika menerima mawar kesukaannya itu. Vian dengan langkah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara, menuju keruang tamu. Sayangnya, kekasihnya tidak ada disana. Dimana Stevie? batin Vian. Vian berpikir sejenak dan mendengar sebuah suara yang aneh dari dalam kamar tidur. Ah, ternyata Stevie ada didalam sana. Mungkin sedang beristirahat. "Ahhh~" Vian terpaku mendengar suara Stevie yang mendesah seksi. Wow, apa Stevie sedang memuaskan hasratnya sendirian? "Kau cantik sayang..." Deg. A-apa? Suara pria asing? Vian membuka perlahan pintu kamar dan melihat Stevie sedang bercinta dengan pria asing yang tidak dikenalnya. Diatas ranjangnya dan Stevie! Wanita jalang! BRAK! Stevie dan pria asing itu terkejut dengan kehadiran Vian. Stevie wajahnya memucat dan pria itu segera beranjak dari ranjang memunguti pakaiannya yang berserakan. Vian yang geram melayangkan tinjunya pada pria asing itu. Vian dikhianati kekasih yang dipujanya. . . . . . "Wanita jalang! Sialan! Kau menjijikan!" Vian menggeram melihat Stevie yang masih tanpa busana diatas ranjang. Pria asing yang dipukulnya sudah lari entah kemana. Pria itu takut mati ditangan Vian yang dalam kalut emosi. "Kau saja yang bodoh terlalu mencintaiku. Aku bosan berpura-pura mencintaimu." PLAK. Vian menampar Stevie dan wanita itu hanya tersenyum sinis. Stevie sama sekali tidak tampak menyesali apa yang dilakukannya tadi. Dia bahkan merasa lega sudah ketahuan oleh Vian. Dia bisa kembali menjadi diri sendiri. "Setelah kuberikan semua padamu, kau mengatakan hal itu?" Mata Vian menyala dan Stevie tidak takut menantang tatapan itu. "Hah. Kau saja yang bernafsu memilikiku. Padahal otangtuamu sudah memperingatkanmu. Kau malah mengabaikan nasihat mereka dan membuat istrimu yang tertimpa masalah. Pria macam apa kau ini? Kau menjijikan." ketus Stevie yang mulai memakai pakaian dalamnya. "Asal kau tahu, Vian. Kau hanyalah alat agar aku dapat diterima didunia entertaimen. Tidak lebih. Aku hanya butuh kekuasaanmu agar karirku berjalan mulus. Soal berkeluarga denganmu? Yang benar saja... Aku tidak mau mendapatkan pria duda yang menceraikan istrinya untuk perempuan lain. Walaupun aku yang menggodamu, tapi aku juga tidak mau nanti dikhianati. Kau itu pasti akan mencari wanita lainnya." "Kau memang jalang! Brengsek! Mau pergi kemana kau?" Vian melihat Stevie yang berkemas membawa beberapa pakaian. "Kita sudahi mainan rumah-rumahan ini." Stevie meninggalkan apartemen dan Vian termenung dengan kejadian hari ini. Bagaikan karma, dia mendapati dirinya yang dikhianati. Vian teringat bagaimana dimasa lalu dia perlakukan Jane seperti Stevie memperlakukan dirinya sekarang. Sial. . . . . . "Leo sudah tidur?" tanya Raffael yang baru saja membereskan mainan Leo. Jane mengangguk. Raffael tersenyum melihat malaikat kecil itu sudah pulas tertidur. "Raf, kamu gak risih dekat-dekat sama aku? Gak khawatir sama reputasi kamu?" Raffael mengernyit bingung. "Maksudnya?" "Begini..." Jane mengambil tempat duduk disamping Raffael. "Kamu gak khawatir dekat dengan janda beranak satu? Main kerumahnya sampai malam begini. Yah-aku tahu tetanggaku pengertian, tapi kasihan kamunya. Aku gak mau kamu jelek namanya karena hampir setiap hari datang kesini." "Kamu juga gak kasihan sama Leo?" "Loh, kenapa jadi bahas Leo?" "Dia nanti rindu sama Om gantengnya. Hehehe." "Dia itu pintar. Dinasihatin baik juga mengerti kok." Raffael menghela nafasnya. Dia tahu bahwa Jane pasti memikirkan apa yang seharusnya tidak penting dipikirkannya. Raffael mengusap lembut kepala Jane dan dia melihat wanita itu terkejut karena sentuhannya. "Kenapa?" tanya Raffael yang melihat rona merah pada pipi Jane. "Gak kenapa-kenapa. Buruan minum teh hangatnya. Cepat pulang, nanti pagar komplek keburu di tutup, tuh." Jane memalingkan wajahnya. Percuma, Raffael tahu rona pipinya itu. "Jane... seandainya ayahnya Leo datang kembali padamu dan meminta rujuk. Kamu mau?" entah apa yang merasuki pikiran Raffael menanyakan hal itu pada Jane. Padahal hal itu mustahil terjadi. Tapi hati Raffael penasaran dengan tanggapan wanita yang disampingnya ini. "Hahaha. Mustahil. Dia sudah bahagia dengan wanita pujaannya itu. Lagipula, seandainya itu terjadi... Aku akan mengusirnya. Semoga saja aku tidak bertemu dengannya lagi. Selamanya." Selamanya. Jane teringat akan peristiwa dimana dia ditalak cerai. Kata selamanya itu juga terungkap saat dirinya bersumpah tidak akan melupakan kejadian dimana dia menangis karena tuduhan palsu suaminya itu. Kejam. Hanya karena suaminya ingin bersama dengan perempuan lain, pria itu menciptakan drama kejam yang seolah Jane lah yang salah dalam pernikahan itu. Padahal hari itu, pertama kalinya Jane merasakan kejutan dari Tuhan melalui kandungannya. . . . . . Vian menghabiskan malam-malamnya yang sepi di klub malam. Mencari jalang yang bisa memuaskan hasratnya. Stevie, kekasih hatinya yang selama ini dipujanya mengkhianati hatinya. Separuh jiwa Vian terasa menghilang bersamaan dengan perginya Stevie dengan meninggalkan luka. "Vian sayang~ Malam ini bersenang-senanglah denganku." ucap salah satu jalang yang disewanya. Vian bahkan tidak tahu nama jalang itu. "Iya, puaskan aku malam ini. Sembuhkan jiwaku ini." Vian meracau dalam mabuk karena minuman keras. "VIAN! Astaga! Lo memang anak brengsek yah!" Vian melihat siapa penghinanya. Charlotta-Lotta, kakak perempuannya. Mau apa dia disini? "Lo gila! Nyokap lo hilang dari rumah sakit! Lo malah bersenang-senang dengan jalang disini? Anak brengsek lo!" "Diam lo, Lott. Gak pantes lo kasih gue khotbah." PLAK. "Gue pantes kasih lo khotbah, karena lo itu adik gue. Ikut lo sama gue, kita nyari Mama yang hilang." Lotta menarik lengan Vian dan Vian segera menepisnya. "Lepasin. Kalian itu hanya perusak hubungan gue. Pergi lo." Lotta mendengus kesal, dia segera mengambil smartphonenya dan menghubungi suaminya. Tanpa menunggu lama, Arrson- kakak ipar Vian datang dengan beberapa pesuruhnya. "Angkat dia." titah Arrson ke anak buahnya. "Brengsek. Lepasin gue. Bajingan!" Vian meronta dalam mabuknya. Lotta pusing melihat tingkah laku adiknya ini. Seminggu ini, Vian tidak masuk kantor dan mengabaikan semua tugasnya sebagai pemimpin perusahaan. Ayahnya marah besar dan mencari Vian ke tempat-tempat yang biasanya dikunjungi anaknya itu. Sayang, Vian tidak ditemukan. Lotta yang tahu klub malam yang menjadi favorit Vian akhir-akhir ini, ikut membantu sang Ayah. Benar dugaan Lotta, Vian ada di klub malam itu. Ibu Vian, Elizabeth-Ny. Eliza Hartanto menderita sakit Alzhaimer. Beliau dirawat untuk mendapatkan pengobatan khusus dirumah sakit. Masalahnya sekarang, si Ibu memilih melarikan diri karena tidak mau menjalani perawatan dirumah sakit. Beliau berkeras bahwa dia tidak sakit. Ah! Masalah selalu datang secara bersamaan dengan kawan-kawannya. . . . . . Leo dan teman-teman mainnya dari panti asuhan Gereja sedang bermain bola di halaman Gereja yang luas. Kegiatan sore yang biasa dilakukannya sambil menunggu kedatangan Jane untuk menjemputnya. Para suster biarawati mengawasi dengan seksama untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Keamanan selalu terjaga disini. Bola mengarah ke arah Leo dan sayangnya anak itu tidak bisa menghadang bola itu. Bola yang keluar dari lapangan, mengharuskan Leo untuk mengambilnya keluar lapangan. Biarawati yang melihat Leo keluar area pengawasan, mengikuti Leo mengambil bola. "Ah!! Suster... Suster! Ada Nenek yang kesakitan!" teriak Leo panik dan berlari membawa bola. "Leo... dimana Nenek itu?" tanya suster Cecilia yang cemas. "Disana. Ayo, suster ikut aku!" Leo menarik tangan suster Cecilia dan membawanya ke tempat dia melihat seorang Nenek merintih kesakitan. "I-ibu tidak apa?" tanya suster Cecilia yang melihat seorang ibu sedang meringis dalam duduk. "Saya pusing sekali." rintih ibu itu. Tanpa menunggu lama, para biarawati lainnya datang bersama dengan petugas keamanan untuk menggotong ibu itu. Dibawanya ke ruangan UKS Gereja dan diberikan obat pereda sakit kepala untuk ibu itu. Beberapa biarawati lainnya juga menyiapkan roti serta biskuit dan juga teh hangat untuk dikonsumsi ibu itu. "Masih pusing, bu?" tanya suster Cecilia yang memeriksa suhu tubuh ibu itu. "Mendingan... Terima kasih." ucap ibu itu dan langsung tertidur karena pengaruh obat. "Suster... Nenek tadi masih sakit?" Leo mengintip dari celah pintu UKS mengamati apa yang terjadi di dalam ruangan. Suster Cecilia keluar dari UKS dan menggendong Leo. Memberi usapan lembut di kepala anak itu. "Leo pintar sudah bertindak cepat. Terima kasih ya..." "Sama-sama suster. Leo mau jadi anak pintar supaya bisa ketemu Papa. Tapi suster jangan bilang-bilang Mama ya... Nanti Mama nangis kalau Leo tanya soal Papa. Kenapa ya?" Suster Cecilia hanya tersenyum sedih melihat Leo, "Karena Mamamu terlalu sayang sama Leo. Jadi Mama menangis kalau ingat Papamu." "Papa jahat?" tanya Leo polos. "Tidak sayang... Papamu tidak jahat. Jadi Leo jangan benci Papa ya..." "Iya Suster... Leo gak akan benci Papa..." Jane terdiam mendengar ucapan Suster Cecilia dan Leo. Diusapnya air mata yang akan jatuh disudut matanya. Leo tidak boleh melihatnya menangis lagi karena Vian. Jane akan membahagiakan Leo hingga anak itu tidak lagi menanyakan soal Ayahnya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD