Bab 01
Mark Haerson lelaki berusia 35 tahun itu berdiri di depan rumah kakaknya dengan wajah datar dan senyuman yang begitu dingin. Dia membunyikan bel berulang kali. Sampai pintu terbuka dengan kasar dan terlihat gadis yang memakai celana pendek dan tanktop menatap garang padanya. Mengganggu ketenangan dirinya. Mark menyeringai, ia tahu siapa gadis ini. Anak kakaknya, Giana Atmaya, gadis berusia 21 tahun yang sering kali diceritakan kakaknya bagaimana nakalnya putrinya ini.
Tatapan Giana penuh amarah, seolah kedatangan pamannya itu adalah gangguan besar yang tak bisa ditoleransi. Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi tetap menampilkan aura keras kepala yang sulit diabaikan. Mark menatap balik tanpa gentar, menikmati bagaimana gadis itu menahan kesal di depan matanya.
"Kenapa kau datang kemari?" suara Giana terdengar dingin, tapi sebenarnya penuh getar ketidaksabaran. Dia bersedekap, menahan tubuhnya agar terlihat tegak dan tak goyah meski detak jantungnya melaju cepat.
Mark tidak menjawab seketika. Dia malah menurunkan pandangan sebentar ke pakaian Giana yang begitu santai, seakan menantang aturan rumah. Senyum sinisnya makin lebar.
“Jadi ini… Giana Atmaya yang selama ini kudengar. Nakal, keras kepala, selalu membuat kakakku pusing. Ternyata cerita itu tidak dilebih-lebihkan.”
Ucapan itu seperti cambuk yang membuat Giana semakin gusar. Rahangnya menegang. Dia benci cara lelaki itu menilai dirinya hanya dengan satu tatapan, seakan sudah tahu segalanya.
“Kalau kau hanya datang untuk menghinaku, lebih baik pulang sekarang juga,” balas Giana lantang, meski hatinya sedikit bergetar. Ada sesuatu dari sosok Mark yang membuatnya tidak bisa begitu saja mengusirnya, karena bagaimanapun lelaki itu begitu dewasa.
Mark tetap berdiri di ambang pintu, tidak beranjak sedikit pun. Dia seolah menikmati permainan ini. “Aku datang karena kakakku memintaku. Dia ingin aku tinggal sementara di sini. Dan lihatlah… aku langsung disambut oleh tatapan kebencian dari keponakanku yang manis. Sungguh penyambutan yang begitu menyenangkan.” Ujar Mark mengejek.
Giana terdiam sepersekian detik. Perkataan itu seperti tamparan. Ibunya—kakak Mark—meminta lelaki itu tinggal? Di rumah ini? Bersama mereka? Giana merasakan dadanya mendidih. Rumah ini sudah cukup sesak dengan masalahnya sendiri, dan kini ditambah lagi dengan kehadiran lelaki asing yang datang dengan senyum dingin dan selalu menghinanya atau lebih tepatnya mengejek dirinya.
“Tidak mungkin Mama melakukan itu,” gumamnya, meski ia tahu bahwa itu bukan hal mustahil.
Mark melangkah masuk tanpa menunggu persetujuan. Aroma parfum maskulin yang pekat segera mengisi ruang tamu. Giana menutup pintu dengan keras, mengatupkan bibir sambil menahan geram.
Di dalam rumah, suasana terasa hening namun sarat ketegangan. Mark menaruh kopernya di sudut ruang tamu, lalu duduk dengan santai di sofa seolah ia adalah pemilik rumah itu. Giana menatapnya dengan mata menyala, tak suka dengan sikap yang terlalu percaya diri itu.
“Aku tidak suka kau di sini,” Giana berkata tegas.
Mark mendongak, menatap lurus ke arah Giana. Tatapan mata elangnya menembus, membuat Giana tanpa sadar melangkah mundur setengah langkah. “Aku tidak datang untuk meminta kau suka atau tidak suka. Aku hanya menjalankan permintaan kakakku. Kau pikir aku ingin berada di rumah yang dipenuhi kebencian seorang gadis kecil yang nakal seperti dirimu? Dan apa yang kau kenakan? Pakaian LC?”
Kata-kata itu membuat Giana semakin tersulut. Tapi ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak melawan lebih jauh. Tatapan Mark terlalu menusuk, senyum sinisnya terlalu menghantui. Dia berbeda dari lelaki lain yang pernah ditemuinya.
Giana membuang muka, lalu berjalan cepat ke arah tangga. “Jangan berharap aku akan ramah padamu. Kau hanya akan jadi masalah di rumah ini.”
Mark tidak menahan, hanya mengamati langkah gadis itu yang terburu-buru menaiki tangga. Namun dalam hati, ada kepuasan tersendiri. Dia tahu Giana membencinya sejak detik pertama pertemuan. Dan itu membuatnya semakin tertarik.
Giana masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Ia bersandar pada pintu, menarik napas dalam-dalam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan—apa sebenarnya tujuan pamannya itu? Kenapa Mama sampai memintanya tinggal? Dan kenapa ada perasaan aneh yang mengusik ketika tatapan lelaki itu menembus dirinya?
Sementara di ruang tamu, Mark bersandar santai di sofa, mengeluarkan ponselnya, dan mengetik sesuatu. Senyum dingin kembali muncul di wajahnya. Ia tahu, kedatangannya ke rumah ini bukan hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga akan mengguncang kehidupan Giana sepenuhnya.
“Ahh… keponakanku itu memang cantik dan seksi sekali.” Mark menjilat bibirnya dengan tatapan masih menyeringai.