1. Tawanan

1991 Words
Lari dan lari. Itulah yang dilakukan oleh seorang gadis berkulit hitam manis yang baru saja tiba di Yogyakarta International Airport sekitar lima menit yang lalu. Napasnya bahkan sampai terengah-engah, namun dia tetap tidak mau berhenti. Sesekali, gadis bertubuh jangkung dengan badan ramping itu menoleh ke belakang untuk memastikan kalau jaraknya cukup jauh dari beberapa orang yang mengejarnya. Jantungnya berpacu, berdetak tak keruan. "Minggir! Minggir semuanya!" teriak gadis itu dengan suara cemprengnya yang khas. Beberapa orang di sana melihat heran ke arah gadis muda, berambut panjang nan berparas manis yang terus berlarian tak tentu arah itu. Mereka mengira kalau gadis itu sedang dalam bahaya atau malah sebaliknya. Kendati begitu, tidak ada satu orang pun yang mau membantunya atau menghentikannya. Semuanya hanya berkelut dengan pikiran masing-masing. Ada yang melihat sampai mana gadis itu berlari, ada yang hanya melihat sekilas lalu kembali fokus ke ponselnya, dan ada juga yang acuh tak acuh karena merasa itu bukan urusannya. "Minggirrr...!" gadis itu kembali meneriaki orang-orang yang sekiranya menghalangi jalannya. Sudah sekitar sepuluh menit gadis itu berlari menghindari beberapa lelaki bertubuh kekar, yang berbalut jas hitam, lengkap dengan atribut seperti radio di telinganya. "Argh! Apa mereka nggak capek, apa?" desahnya yang sudah mulai merasa napasnya berubah menjadi panas. Satu persatu anak tangga sudah dilewati gadis tadi. Namun sialnya, setibanya di bawah malah yang ada dia berhadapan dengan salah satu dari beberapa lelaki yang mengejarnya. "Cukup!" ujar lelaki bertubuh kekar yang berhasil menghadang gadis manis tadi. Tentu saja, karena sudah terlanjur kabur, pastinya gadis itu tidak mau menyerah sampai di sini saja. Dia masih memikirkan cara agar bisa kabur dari para lelaki yang mengejarnya. Matanya melirik ke kanan dan kiri secara bergantian. "Oke, gue nyerah." katanya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara seraya mengatur napasnya yang memburu tak beraturan. Dari gerakan matanya, lelaki yang terlihat paling berkuasa tadi tampak seperti memberi perintah pada beberapa anggota timnya untuk segera menangkap gadis yang berhasil dia hentikan. Hal ini tentu saja membuat mereka langsung berjalan perlahan-lahan untuk mendekati gadis yang sedang mereka kejar. Saat melihat ada sedikit celah, tentu saja hal ini tidak disia-siakan oleh gadis yang berwajah manis nan polos itu. Dia berhasil mengecoh lelaki di depannya. Kini, dia berhasil kabur lagi dan membuat lelaki paruh baya yang bertubuh kekar itu merasa kecolongan. "Berhenti!" titahnya lantang, membuat beberapa orang yang tidak peduli dengan keributan ini jadi menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa terganggu. Gadis itu tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Tanpa pikir panjang, lelaki paruh baya itu langsung ikut berlari mengejar dan baru beberapa langkah saja, dia sudah berhasil menyusul gadis yang dia suruh berhenti tadi. Bahkan, tak segan-segan dia langsung mengeluarkan jurusnya. Dia tarik lengan gadis kurus tadi, namun karena mendapat penolakan, akhirnya lelaki tadi langsung membanting tubuh gadis yang niatnya mau melarikan diri itu. Sudah pasti, hal itu membuat gadis tadi berteriak kesakitan. Bukan hanya gadis itu saja yang berteriak, beberapa orang yang sedari tadi menonton pun ikut berteriak. Terutama kaum hawa. "Sakit!" sambil meringis, gadis itu berteriak sekencang yang dia bisa. "Maaf. Tapi saya rasa, sudah cukup main-mainnya!" balasnya tanpa merasa kasihan sama sekali. "Saat ini, kamu menjadi tawanan saya. Jadi, jangan sekali-kali membantah perkataan saya!" sambungnya lagi seraya menatap sadis ke arah gadis yang kini tampak kesal padanya. Saat lelaki paruh baya tadi menawarkan tangannya pada gadis yang baru saja dia banting, hal itu langsung ditolak mentah-mentah. Dia pukul keras-keras tangan kekar yang sudah berhasil membantingnya. Sebisa dan sekuat mungkin, dia berdiri sendiri tanpa bantuan siapa pun. Baru juga berdiri, gadis itu langsung dipegangi oleh dua lelaki yang lebih muda dan digiring ke tempat parkir. Banyak dari orang-orang yang bertanya-tanya, ke mana gadis itu akan dibawa? Namun tidak ada yang tahu. "Gue bisa jalan sendiri!" sekuat tenaga, gadis itu berusaha melepaskan tangan kedua lelaki yang sedang memeganginya, namun gagal. Lelaki paruh baya dengan bekas jahitan di pelipis, yang tadi berhasil membanting gadis itu langsung menggelengkan kepalanya dengan artian kalau dia tidak memperbolehkan anak buahnya lengah untuk ketiga kalinya. "Ish!" desis gadis tadi yang merasa kesal karena tidak mendapat persetujuan. Sial banget gue hari ini, gagal kabur. Meski bibirnya diam, tapi hatinya terus menggerutu dan mengumpat tanpa henti karena gagalnya acara kabur yang sudah dia rencanakan. Dia tidak tahu, apa yang akan dia alami setelah ini. Entah dia masih bisa melihat matahari besok atau tidak? Gadis itu tidak tahu menahu tentang ini. Namun tentu saja, dia berharap kalau besok masih akan bisa melihat matahari seperti hari-harinya kemarin. Gadis itu bukan tidak tahu siapa yang mengejarnya barusan. Dia tahu. Bahkan sangat tahu. Lelaki paruh baya yang memiliki bekas jahitan di pelipisnya kirinya tadi sering dipanggil Maricopa oleh anak buahnya. Mulanya, gadis itu pikir kalau itu hanya sekadar nama panggilan biasa untuk keren-kerenan. Tetapi dia salah besar, adanya lelaki itu dipanggil Maricopa karena memang dia mampu melumpuhkan lawannya dengan cepat, layaknya semut maricopa aslinya. Banyak orang yang berhasil dia hentikan jalannya, di saat orang lain tidak bisa melakukannya. Salah satunya gadis yang sekarang ini berjalan mengikuti ke mana Maricopa mengajaknya. *** "Salamannya lupa!" seru seorang perempuan paruh baya yang masih menikmati nasi goreng buatan maid. "Iya! Ini aku balik lagi." sahut seorang lelaki muda yang berpenampilan rapi dengan kemeja yang membalut tubuh kekarnya. "Ndra, kamu beneran nggak mau resign aja?" Tanya seorang lelaki paruh baya yang juga menikmati sarapannya. Sang putra, yang dipanggil Ndra tadi menoleh ke arah papanya. Dia adalah Indra Mahardika, putra tunggal pemilik perusahaan yang berdiri di bidang makanan kemasan selama puluhan tahun. Meski Indra sudah kaya dari lahir, tapi dia sama sekali tidak ingin hidup seperti para anak-anak orang kaya pada umumnya yang langsung menempati posisi atas tanpa bermula dari bawah. Terlebih lagi, Indra tidak tertarik pada perusahaan yang dikelola oleh Farhan Mahardika. Lelaki yang genap berusia dua puluh dua tahun dari tiga bulan lalu itu, sekarang bekerja sebagai pembuat aplikasi di sebuah perusahaan game development yang cukup besar di Indonesia dengan kantor pusatnya di Yogyakarta. Hanya saja, Indra tidak bertugas membuat game, melainkan membuat software aplikasi dan antivirus. Dia menyukai hal-hal yang berbau information technology. "Ndra, itu Papa nanya?" Luna, istri dari Farhan kembali bersuara guna mengembalikan kesadaran putra semata wayangnya. Indra terkesiap. Sepertinya barusan dia sedang melamun atau entah memikirkan jawaban yang pas untuk Farhan. "Aku masih enjoy sama pekerjaanku, Pa. Aku belum pengen gabung sama Aloona." pada akhirnya, inilah jawaban Indra. Farhan mendesah. Selalu itu jawaban yang dia dengar dari bibir Indra. Kalau sudah begini, Farhan jadi sedikit menyesal karena dulu dia membebaskan Indra untuk kuliah di fakultas teknologi informasi seperti yang diinginkan oleh putranya. Padahal, niat Farhan membebaskan Indra itu agar nantinya Indra mau menurutinya. Namun nyatanya, Indra masih belum menuruti kemauannya. "Ya sudah, nanti kapan-kapan kalau kamu mau gabung di Aloona, tinggal bilang ke Papa." lagi dan lagi, Farhan mengalah demi kebahagiaan putranya. Indra mengangguk, dia langsung menyalami tangan Farhan dan Luna secara bergantian lalu dia berangkat kerja mengendarai motor kesayangannya. Di ruang makan, Farhan masih memikirkan cara agar Indra mau membelot dari tempat kerjanya sekarang lalu pindah ke Aloona. Aloona, itulah nama perusahaan yang didirikan oleh kakek buyutnya Indra dulu dan sekarang pemilik saham terbesar adalah Farhan. Hal itulah yang menjadikannya sebagai pemilik dari penerus turun temurun. Tentu saja Farhan tidak mengelola Aloona sendirian. Ada Olyn, kakak kandungnya yang menjabat sebagai direktur eksekutif. Selain Olyn, Farhan juga dibantu oleh temannya yang bernama Hanung, dia menjabat sebagai direktur keuangan. Selain Olyn dan Hanung, ada juga Tora dan Radit. Mereka berdua adalah kakak iparnya Farhan dan keponakannya yang sudah berusia tiga puluh tahun. Jadi, hampir seratus persen, perusahaan itu sebagian besar dikelola oleh pihak keluarga. Dulunya, Luna juga ikut mengelola Aloona. Tapi sudah satu tahun ini Luna mundur dari posisinya karena sudah merasa kelelahan dan ingin istirahat. *** Tibalah gadis manis tadi di sebuah rumah megah bak istana. Pandangannya mengedar ke sekeliling seolah sedang melihat dekorasi rumah orang kaya. Kepalanya terus menoleh ke segala arah yang ingin dia lihat. "Ih, lepasin!" titahnya yang masih berusaha melepaskan kedua tangan lelaki yang memegangi lengannya kuat-kuat. "Lepaskan dia!" titah seorang lelaki yang baru datang dari lantai dua dan sekarang dia sedang berjalan menuju sofa yang ada di ruang tamu. Karena mendapat perintah langsung dari bos besar, tentu saja kedua lelaki muda yang sedari tadi terus memegangi lengan gadis itu pun segera melepaskan tangannya. Mereka pun mundur beberapa langkah dari gadis yang kini sedang meledek mereka. "Aku ma-," "Duduk!" Belum sampai gadis itu menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong terlebih dulu oleh lelaki berkacamata yang duduk di single sofa, bagaikan raja yang duduk di singgasananya. Dengan sangat terpaksa, gadis itu menuruti perintah lelaki tadi. Dia duduk di sofa lainnya yang ada di sisi kiri. "Om," "Cukup!" lagi-lagi, lelaki tadi berhasil membuat gadis yang ada di sana, jadi berhenti bicara hanya dengan satu kata larangan. Karena kesal ucapannya terus dipotong, gadis itu menghela napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa dan bersikap acuh tak acuh. Dia tidak peduli lagi hukuman apa yang akan dia terima setelah ini. "Papa nggak mau dengar alasan apa pun dari kamu, Tasya. Papa sudah bilang tiga kali, kalau sesampainya di sini kamu harus langsung menuju rumah. Bukan keluyuran ke mana-mana." Benar sekali, lelaki berkacamata tadi memang papa dari gadis yang tadi berlari menghindar dari kejaran bodyguard yang dipekerjakan oleh papanya. Gadis itu bernama lengkap Tasya Callista. Dia masih berusia dua puluh dua tahun dan ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Jogja lagi setelah sekian lama dia hidup di Palembang bersama kedua orang tuanya. Sebenarnya, sewaktu kecil dulu Tasya juga tinggal di rumah ini sampai dia SMA. Setelah lulus, Tasya pindah ke Palembang, menyusul Hanung dan juga Vidya yang sudah lebih dulu pindah ke sana karena sebuah pekerjaan. Dan dari satu bulan lalu, Hanung juga Vidya pulang ke Jogja karena pekerjaannya pun kembali dipindah tugaskan di kota yang terkenal akan olahan gudegnya. Sementara Tasya, baru sekarang dia bisa menyusul papa dan mamanya ke Jogja. Tasya merindukan rumah ini, sehingga membuatnya kembali mengamati dekorasi rumah yang sudah lama tidak dia tempati. "Aku cuma pengen jalan-jalan sebentar aja di luar, Pa. Aku juga bakal pulang ke sini kok, nggak mau main-main." Tasya mencoba membela dirinya agar tidak terlalu kena marah dari Hanung. "Papa nggak melarang kamu jalan-jalan, Sya. Maksud Papa itu, kamu pulang dulu ke rumah baru jalan-jalan. Gitu!" Hanung dengan sengaja menekankan setiap kata pada kalimat yang barusan dia ucapkan. Tak selang berapa lama, seorang wanita paruh baya keluar sambil membawa nampan minuman untuk suami dan putrinya. Siapa lagi kalau bukan Vidya. Wanita paruh baya itu langsung duduk di samping Tasya usai meletakkan gelas dan cangkir ke atas meja. "Jadi, Papa nggak akan minta aku di rumah aja? Papa ngebolehin aku jalan-jalan ke manapun yang aku mau?" Tasya tampak antusias ketika mendengar bahwa Hanung memperbolehkan dirinya pergi ke tempat yang ingin dia datangi. Itu artinya, besok dia masih bisa melihat matahari seperti hari-hari sebelumnya. "Memangnya selama ini, Papa pernah melarang kamu melakukan ini dan itu?" Hanung malah ganti bertanya. "Makasih, Papa. Aku sayang banget sama Papa pokoknya." Tasya segera menghambur ke pelukan Hanung serta mencium pipi sang papa guna mengekspresikan rasa sayangnya. Terlahir sebagai anak tunggal, membuat Tasya mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Hanya saja, selama ini Hanung selalu mengajarkan untuk berusaha mendapatkan. Bukan langsung mendapatkan. "Oh ya, tadi aku dibanting sama Om Max, Pa." Tasya mengadukan tindakan Maricopa atau yang barusan dia panggil Om Max, bodyguard yang berhasil menghentikannya. "Sukurin, suruh siapa kamu kabur-kaburan." Hanung bukannya membela, malah meledek putrinya sampai membuat Vidya dan Max tertawa. Wajah Tasya sudah terlihat tidak enak dipandang karena dia merasa kalah sekarang. Tasya malah merutuki keputusannya yang mengadu pada Hanung. Seharusnya dia tadi lebih baik diam saja, jadi tidak akan menjadi bahan guyonan seperti ini. "Ish... Awas aja! Nanti kalau Om Max macem-macem lagi sama aku, bakal aku banting balik." ancamnya sebelum Tasya meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. "Saya tunggu hari itu tiba, Non." tanpa takut, Max balik menyahuti ancaman Tasya diiringi dengan senyuman di wajah paruh bayanya. Sementara Tasya, dia masih kesal. Bahkan jalannya pun sampai menimbulkan suara saat sepatu kets yang membalut kakinya bersentuhan dengan lantai. Tasya memang sengaja menghentak-hentakkan kakinya khas orang marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD