4. Rencana Fira

1492 Words
Tidak ada yang tahu betapa sakit hati Fira saat ini. Boleh jadi dia tertawa, tapi tidak dengan hatinya. Melihat bagaimana Ditya menggandeng Hana dengan mesra, hatinya tersayat. Kedua orang itu sungguh tidak sabar untuk bersama hingga melupakan fakta bahwa Ditya masih berstatus suaminya. Satu tetes air mata membasahi pipinya. Dadanya terasa sesak seakan sebuah batu besar menghantamnya terus-menerus. Tangannya terkepal, meremas baju yang sudah dipakainya. Jika kemarin Fira masih berpikir positif dan berani membayangkan hari-jari bahagia bersama Ditya, maka hari ini Fira putuskan untuk membuang bayangan itu. Perasaan cintanya pada Ditya yang sudah dia pupuk sejak awal pertemuan tidak akan pernah berbalas. Fira mengikhlaskan takdir yang telah digariskan Tuhan padanya. Wanita dua puluh enam tahun itu duduk di balkon, memandang indahnya matahari terbit dari sebuah pulau pribadi milik papanya. Udara pagi yang sejuk membawa obat untuk luka hatinya yang menganga. Matanya yang berwarna almond tampak berkabut, namun memancarkan tekad hidup yang sangat kuat. Fira berjanji pada dirinya sendiri tidak akan lagi melakukan hal bodoh. Suasana vila di sebuah pulau pribadi begitu hangat dan menentramkan. Cicit burung terdengar seperti nyanyian yang mampu membuat suasana hati Fira terasa lebih ringan. Angin dari pantai menyapa kulitnya, membawa rasa dingin bercampur hangat sinar mentari. Sebuah ketukan membuatnya menoleh. Seorang pelayan datang dengan membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan. "Nona, silakan dinikmati." Wanita dengan rambut digelung itu meletakkan nampan tersebut di atas meja. "Terima kasih," jawab Fira. "Dua jam lagi, tuan besar mengajak seluruh keluarga untuk sarapan," sambung si pelayan." "Katakan pada papa aku akan turun." Pelayan tersebut memberi hormat sebelum keluar dan menutup pintu kamar. Fira bisa mencium wangi teh dan harum kue yang masih panas. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. Dia jadi ingat ini adalah salah satu hal yang sering dia lakukan di rumah Ditya. Ya, dia sering mengantarkan teh dan makanan ringan ke dalam kamar mama mertuanya atau adik iparnya. Awalnya, Fira mengira itu adalah salah satu hal yang bisa membuat hubungannya dengan keluarga sang suami menjadi dekat. Mereka bisa berbincang setelahnya. Namun, yang dia dapatkan adalah penghinaan. Segala hinaan tentang wanita kampung, udik, dan tidak bisa berdandan disematkan padanya. Setelah puas mencacinya, mereka akan mengusirnya dengan kasar. Wajah Fira menegang mengingat semua itu. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan adalah Ditya. Di luar kamar, pria itu bersikap dingin dan acuh padanya. Namun, semua berbeda saat pintu kamar ditutup. Ditya akan menggilainya, menyentuh dan menjamahnya, mencium dan memujanya. Fira, dengan bodohnya, mengira itu adalah eskpresi wajar seorang pria matang dan terhormat. Namun, semua berbalik seratus delapan puluh derajat saat Ditya tanpa ragu menyodorkan perjanjian perceraian dan dengan sadar mengatakan jika Hana adalah cinta sejatinya hanya beberapa detik setelah mereka bercinta. Ditya memang gila! Dengan sisa-sisa kewarasan yang ada, Fira menandatanganinya dan melangkah pergi tanpa menoleh. Matahari semakin meninggi. Cahayanya mulai menghangatkan tubuhnya. Wanita dua puluh enam tahun itu mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, berharap segala beban di pikirannya ikut keluar bersamaan dengannya. Tangan rampingnya meraih cangkir dan menyesapnya perlahan, menikmati aroma teh dan sensasi hangat bercampur manis yang melewati tenggorokannya. Rasanya sungguh menentramkan. Setelah itu, dia berdiri dan melangkah menuju kamar mandi untuk berendam. Tiga puluh menit kemudian, dia sudah berdiri di depan cermin. Sepasang kulot panjang dipadupadankan dengan atasan berbahan katun dengan model off- shoulder berwarna biru cerah menjadi pilihan outfit-nya hari ini. Tangannya sibuk menyisir rambut setelah mengaplikasikan bedak dan lipstik. Setelah yakin penampilannya rapi, Fira mengambil botol parfum kesukaannya, menyemprotnya di area tangan dan leher, lalu berjalan keluar. Di area makan, Fira bisa melihat seorang pria dengan rambut yang sudah memutih duduk di salah satu satu sofa sambil membaca majalah. Satu batang cerutu terselip di tangannya. Wajahnya tenang dan sangat enak dilihat. Penampilannya sederhana, namun berkelas. Dia adalah Heru Waskita, pemilik WS Grup dan pemegang keputusan tertinggi di keluarga Waskita sekaligus ayah kandung Fira. Fira berjalan dengan mendekat dengan senyum lebar. Langkah kakinya cepat dan menggema. Heru mendongak dan raut bahagia langsung terlihat di wajahnya. Diletakkannya majalah yang tadi dia baca. Dengan mata berkaca-kaca, dia merentangkan tangannya. "Putriku." Fira jatuh dalam pelukannya. Ayah dan anak yang sudah lama tidak bertemu itu saling melepas rindu. "Papa senang akhirnya kamu datang." Heru menatap sang putri dengan dalam. "Maafkan aku, Pa." Fira menunduk. Dia merasa malu. Sebenarnya, sejak awal, Heru sudah memperingatkan dirinya tentang Aditya. Namun, Fira yang terlanjur dimabuk asmara tidak mau mendengarnya. "Semua sudah terjadi. Tidak perlu disesali. Jadikan pelajaran untuk lebih berhati-hati memilih seorang pria. Dan yang terpenting, papa tidak ingin lagi mengumumkan dirimu. Kita tidak bisa menundanya lagi. Jika tidak, Aditya dan keluarganya akan terus berusaha menyakitimu." "Terima kasih, Pa," jawabnya dengan suara bergetar. Fira bersyukur memiliki seorang ayah yang bijak dan tidak mudah menghakimi anaknya. Dia bisa merasakan kasih sayangnya yang amat besar. "Sudah, sudah. Harusnya kita berbahagia. Kenapa malah menangis begini?" Heru terkekeh sambil menghapus air mata yang membasahi pipi putrinya. Fira tersentak. Tidak menyadari jika air matanya sudah menuruni pipinya. Namun, sedetik kemudian, tawa papanya menular padanya. Adam yang baru memasuki area makan melihat pemandangan tersebut. Cukup mengharukan hingga matanya langsung terasa hangat. "Ada apa ini?" tanyanya sambil berpura-pura acuh. Fira dan Heru sontak menoleh. "Kakak." Heru tersenyum melihat putranya yang seolah acuh. Padahal dia tahu Adam lah yang paling getol mengirim orang untuk memata-matai Fira di rumah Aditya. "Ayo kita sarapan dulu. Hari sudah semakin siang." Heru berdiri, lalu berjalan menuju kursinya. Fira mengikuti dari belakang, begitu juga dengan Adam. "Jadi, apa rencananya sekarang?" tanya Heru setelah menyelesaikan sarapannya. Fira menatap wajah sang papa. Dengan penuh keyakinan, dia berkata, "Aku tidak akan lagi menutupi jati diriku dan ingin bercerai dengan Aditya secepatnya. Aku tidak ingin lagi memiliki hubungan apapun dan sedikitpun dengan keluarganya." "Apa kamu yakin?" Heru menelisik wajah putrinya, mencoba mencari keraguan di matanya. Adam juga tidak melepas tatapannya dari sang adik. Sudah sejak lama dia ingin Fira kembali ke rumah utama dan hidup bersama dengan rukun. Fira menatap dua pria yang sangat mempengaruhi hidupnya itu lalu mengangguk mantap. "Aku yakin. Maaf jika selama ini aku terlalu bodoh dan egois. Setelah ini, tidak akan ada lagi Fira dari kampung. Yang ada adalah Fira Zahra Waskita, putri dari Heru Waskita." -- "Sudah berhari-hari. Kenapa kamu tidak juga menemukan apapun???" Ditya menatap tajam pada pria yang sedang berdiri di depannya. "Maaf, Bos." Pria kurus dan berkabut panjang yang diberi tugas untuk mencari informasi tentang Fira itu menunduk. "Kalau kamu masih ingin bekerja di bisnis ini, cepat cari tahu!! Pantau CCTV! Pantau jalanan! Tanya orang-orang! Kenapa mencari informasi satu orang saja kamu kesulitan??" Ditya menggebrak meja dengan kasar. Suasana kantor pimpinan PT. Maha Indonesia itu semakin hening dan mencekam. "Dalam tiga hari, laporan harus sudah ada di mejaku. Jika tidak...." Suara Ditya begitu menakutkan dan wajahnya penuh dengan ancaman. Pria itu sontak mengangguk dan bergegas keluar. Huh, selamat! Pria tersebut memang berprofesi sebagai detektif swasta. Reputasinya cukup bisa diperhitungkan. Namun, dia sungguh kesulitan mengulik hubungan Fira dengan keluarga Waskita. Sedalam apapun pencariannya, hasilnya selalu sama. Fira Zahra adalah seorang gadis dari desa. Selama menikah dengan Ditya pun, wanita itu tidak pernah terlihat mengikuti acara-acara yang dihadiri oleh orang-orang besar. Lalu, dari mana lagi dia harus mencari?? Suara benturan sepatu wanita berhak tinggi dengan lantai marmer terdengar. Seorang wanita tinggi dengan rambut panjang yang indah berjalan memukau dan penuh percaya diri. Wajahnya cantik dan terlihat angkuh. Tidak ada satu orangpun yang tidak mengenalnya, Hana Yasmin, model sekaligus calon istri pimpinan tertinggi di kantor ini. Tanpa mengetuk, Hana membuka pintu kantor Ditya. Ditya yang tadinya menunduk untuk membaca laporan sontak mendongak. Wajah terkejutnya terbaca jelas. Dia mengira detektif swasta tadi yang membuka pintunya. Hampir saja dia mengeluarkan kata-kata kasar. Kedua sudut bibirnya dipaksa terangkat untuk tersenyum lebar. Diletakkannya pena dan diapun berdiri untuk menyambut kedatangan Hana. "Sayang, kenapa tidak memberi tahu aku kalau kamu mau mampir?" Ditya merengkuh kekasihnya dalam pelukan, lalu mengajaknya duduk. "Kenapa? Sepertinya kamu tidak suka kalau aku datang mendadak. Apa aku mengganggu pekerjaanmu?" Hana menatap Ditya dengan mata berkaca-kaca seolah dia telah melakukan kesalahan yang amat besar. "Tidak. Jangan berkata seperti itu. Kamu adalah calon istri pimpinan di kantor ini. Tentu saja kamu bebas keluar masuk." Ditya mengelus pipi Hana, merasakan kelembutannya. Raut wajah Hana berubah. Matanya mulai berbinar dan tersenyum manis. "Terima kasih banyak, Mas." "Oh iya, aku hampir lupa." Hana membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop cokelat, dan menyerahkannya pada Ditya. "Apa ini?" Ditya menerimanya dengan kening berkerut. Pikirannya menerka-nerka. "Itu surat dari pengadilan agama. Tadi dikirim ke rumah. Akhirnya, Fira bisa mengerti hubungan kita, Mas. Dia memberikan restunya pada kita. Aku sangat bahagia!" Hana tidak menyembunyikan betapa dia bahagia. Perceraian Ditya dan Fira semakin dekat. Itu berarti pernikahannya juga tidak akan lama lagi. Dia sudah tidak sabar untuk menyandang status bergengsi itu. Bayangan segala kemewahan sebagai nyonya muda keluarga Mahendra menari-nari dalam benaknya. Berbeda dengan Hana, Ditya tampak syok. Pria itu sengaja mengulur waktu mendaftarkan gugatannya sebelum mengetahui dengan pasti hubungan antara Fira dengan Adam Waskita. Dia merasa dadanya sesak mengingat kedua orang itu berpelukan di atas feri mewah yang membawa keduanya pergi. Tanpa sadar, tangannya mengepal hingga membuat amplop cokelat itu kusut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD