4. Teman Masa Kecil

1235 Words
“Ada apa, Ran? Apa kamu baik-baik saja?” Alranita menoleh ke arah Ibu Heryanti dan Alranita dengan cepat menganggukkan kepalanya, “Saya baik-baik saja kok, Bu. Saya salah berpijak tadi.” Ibu Heryanti mengangguk dan meeting pun akhirnya di mulai. Ibu Heryanti seperti biasa akan memulai meeting dan Alranita melanjutkannya dengan mempresentasikan hasil kerjanya selama ini lalu mencatat setiap poin yang dikatakan oleh pria yang dipanggil Pak Angga. Pria itu menjelaskan mengenai resort yang akan dikerjakan oleh perusahaan Pak Sudibyo. Lokasi resort itu berada di Nusa Dua, Bali. Ada kemungkinan ada satu lagi villa yang harus dikerjakan di area Ubud namun villa itu masih dalam proses negosiasi akuisisi. Alranita fokus mencatat. Wanita itu menghindari tatapan pria bermata kelam yang Alranita sadar sedari tadi tidak lepas menatapnya. Ya, Alranita sangat sadar akan hal itu dan wanita itu berusaha keras bersikap biasa saja dengan fokus dengan pekerjaannya hingga meeting selesai dengan sebuah kesepakatan. Alranita mengingat pria itu namun Alranita tidak ingin menunjukan bahwa ia masih mengingat pria itu. Pihak Wiradhana menjelaskan bahwa mereka sepakat setuju bekerja sama dengan perusahaan Pak Sudibyo. Ranggala dan Mahardhika menyatakan bahwa mereka terkesan dengan hasil kerja Alranita. Proyek ini akan diawasi langsung oleh Pak Ardhi yang memiliki nama lengkap Mahardhika Wiradhana dan Pak Angga yang memiliki nama lengkap Ranggala Wiradhana. Sedangkan dari Pak Sudibyo, Alranita akan menjadi penanggung jawab dan Alranita akan bekerja dengan dibantu anggota timnya. Pertemuan selesai. Kedua petinggi Wiradhana itu berbincang dengan Bapak Sudibyo dan Ibu Heryanti sementara Alranita membereskan barang-barangnya. Alranita sudah bersiap untuk meninggalkan ruangan ketika telinganya menangkap bahwa bosnya sudah mulai berpamitan. Alranita berdiri dan tubuhnya menegang sempurna ketika menyadari siapa yang ada dihadapannya saat ini. “Senang bertemu denganmu kembali, Alranita Aryadwipa.” Tubuh Alranita menegang sempurna mendengar nama yang disebutkan oleh pria dengan wajah yang jelas masih terekam dalam ingatannya. Tanpa sadar tangan wanita itu mengepal kuat. Alranita berusaha bersikap seperti biasanya. Wanita itu bersikap profesional walau dalam dirinya sudah muncul sebuah gemuruh yang luar biasa. Alranita sedang memproses kalimat apa yang akan ia ucapkan ketika suara Ibu Heryanti muncul menyelamatkaan Alranita. “Sepertinya Pak Ardhi salah orang. Nama lengkap Rani ini Alranita Sasmita bukan Alranita Aryadwipa.” Penjelasan Ibu Heryanti spontan membuat Alranita seakan kembali meraih fokusnya dan mengangguk cepat, “Mohon maaf, sepertinya bapak salah mengenali orang. Saya Alranita Sasmita.” Alranita dengan cepat mengendalikan diri dan bersikap profesional. Alranita tidak memberi kesempatan lebih untuk ruang basa-basi. Wanita itu memilih menundukkan kepalanya untuk pamit dan berjalan menuju Ibu Heryanti meninggalkan Mahardhika Wiradhana yang mematung kaget. Pria itu kebingungan, “Maaf, saya pikir saya bertemu dengan orang yang saya kenal.” Alranita hanya diam mendengar penjelasan pria itu. Alranita berusaha tidak terpengaruh sedikit pun dan membiarkan kedua atasannya pamit dan mereka meninggalkan ruangan tempat mereka meeting itu. Alranita berjalan di belakang Pak Sudibyo dan Ibu Heryanti lalu saat ketiganya menunggu lift Mahardhika Wiradhana mendekati ketiganya dan pria itu kembali berbincang dengan kedua atasan Alranita. “Apa boleh saya mengundang Bapak dan Ibu makan siang bersama di restoran dibawah?” “Tidak perlu repot-repot Pak Mahardhika. Terima kasih banyak.” Pak Sudibyo menjawab dengan nada formal. “Tidak repot dan tolong panggil saya Ardhi saja, Pak Dibyo.” Mahardhika berucap dengan nada santai dan memberikan gestur mempersilahkan ketika pintu lift terbuka, “Mari ikut saya.” Pak Sudibyo dan Ibu Heryanti mengikuti arah yang Mahardhika Wiradhana tunjukan dan Alranita meruntuki kesialannya hari ini. Alranita terjebak dalam situasi yang sangat tidak ia inginkan. Wanita itu berusaha menghindari tatapan Mahardika Wiradhana yang sedari tadi seakan mengulitinya dan kesialannya bertambah saat ia harus bersama dengan pria itu lebih lama lagi. “Angga sangat ingin bergabung dalam makan siang ini tapi adik saya itu harus mengurusi perihal akusisi villa di Ubud sehingga dia harus segera terbang ke Bali.” Pria bertubuh tegap dengan tinggi proporsional itu berbicara dengan Pak Sudibyo dan Ibu Heryanti. Mereka jalan bersama memasuki area restoran dan menuju sebuah meja kosong. “Mari silahkan duduk.” Alranita pun dengan cepat memilih duduk di dekat Ibu Heryanti. Dihadapan Alranita ada Bapak Sudibyo yang duduk bersebelahan dengan Mahardika Wiradhana. Sungguh Alranita merasa duduk dengan perasaan tidak nyaman. Alranita berusaha fokus pada menu dan ikut memesan saat semua memesan menu. “Kopi lagi, Ran? Sudah berapa gelas kopi kamu konsumsi hari ini?” Alranita menoleh ke arah Ibu Heryanti dan wanita itu meringis. “Ini yang ke dua, Bu.” Bu Heryanti menggelengkan kepalanya dan Pak Sudibyo terkekeh, “Heryanti dan Ranita memang lebih cocok menjadi Ibu dan anak perempuan dibandingkan atasan dan bawahan.” Alranita meringis mendengar ucapan Pak Sudibyo dan wanita itu masih berusaha menghindari tatapan pria yang ada di sebelah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Pria itu hanya diam menatap Alranita. “Pak Mahardhika, saya masih ingat pertemuan pertama kita. Saya pikir dengan nama Mahardhika maka anda akan dipanggil dengan nama panggilan Dhika ternyata malah menggunakan nama Ardhi.” Alranita berusaha duduk tenang sambil menatap Pak Sudibyo yang ada dihadapannya dan berusaha bersikap sebiasa mungkin demi tidak menunjukkan rasa tidak nyaman yang ia rasakan saat ini. “Saya terkesan dengan desain interior yang bapak tunjukkan dan nama yang bapak sebutkan mengingatkan saya pada seseorang." Mahardhika menjeda kalimatnya beberapa saat, "Saya memang sedari kecil dipanggil Ardhi oleh keluarga saya dan itu terus berlangsung hingga saat ini namun ada satu orang yang memanggil saya dengan panggilan Dhika.” Di sisi lain, Alranita berusaha keras menampilkan ekspresi santai walau tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya mendengar ucapan pria itu. Alranita berusaha menahan diri. “Wah, pasti panggilan dari orang yang spesial ya, Pak Ardhi...” Ibu Heryanti berusaha bersikap santai dan tawa Mahardhika mengalun perlahan. “Dia teman masa kecil saya..." Jawaban Mahardhika spontan membuat Alranita yang sedang menoleh ke arah Ibu Heryanti pun spontan menatap pria itu. Pandangan keduanya bertemu. Saat Alranita menatap Mahardhika ternyata pria itu pun tengah menatap dirinya. “Dia teman kecil saya, satu-satunya orang yang berhasil menyentuh hati saya karena kelembutan hatinya dan kepolosannya.” Mahardhika berucap sambil tersenyum pada Alranita. Senyum pria itu terasa berbeda dan Alranita sendiri memilih mengalihkan pandangannya ke arah Pak Sudibyo yang duduk dihadapannya. Alranita berusaha keras untuk tidak menunjukan rasa muaknya saat ini. Alranita yakin matanya tadi pasti salah. Ia melihat pria itu tersenyum namun senyuman itu terasa seperti sebuah senyuman yang menunjukan sebuah kerinduan dan rasa bersalah. Alranita sungguh berharap makan siang ini cepat selesai dan ia bisa pergi dari tempat ini dengan segera. Berada di satu ruangan yang sama dan menghirup udara yang sama dengan seorang Mahardhika Wiradhana nyatanya tidak semudah itu. Acara makan siang itu adalah acara makan siang paling tidak nyaman yang pernah Alranita datangi. Untungnya makanan mereka cepat datang dan Pak Sudibyo harus segera kembali ke kantor. Acara makan siang pun berakhir, Alranita berusaha menghindar saat bersalaman tapi wanita itu gagal. “Bisa kita bicara sebentar? Ada yang ingin saya bahas mengenai desain resort Nusa Dua.” Alranita tahu dalam hidup ada satu hari sial yang tidak ia hindari namun Alranita tidak tahu kalau hari sialnya jatuh pada hari ini. Mahardhika menggunakan alasan pekerjaan untuk menahan Alranita dan jelas Alranita tidak mungkin menolak. “Kamu bicara dulu dengan Pak Ardhi. Nanti kabari saya kalau semua sudah selesai. Nanti saya akan suruh supir kantor datang untuk menjemput kamu ke sini, Ran.” Ibu Heryanti dengan polosnya mengikuti keinginan Mahardhika dan jelas Alranita hanya bisa mengangguki ucapan bosnya itu dan membiarkan kedua atasannya itu pergi meninggalkannya bersama dengan Mahardhika Wiradhana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD