10. Cerita Masa Lalu

1555 Words
Belasan tahun yang lalu - Semarang, Jawa Tengah. Seorang gadis kecil duduk di taman belakang rumahnya dengan wajah murung. Gadis itu bersedih karena papanya pulang membawa seorang wanita lain dan dua gadis kecil lain dan papanya memperkenalkan mereka sebagai calon anggota keluarga mereka. Gadis kecil itu sedih karena baginya keluarganya hanya kedua orang tuanya dan ada rasa cemburu melihat bagaimana papanya bersikap lembut pada anak lain selain dirinya. "Ala..." Alranita pun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang anak laki-laki yang berbeda usia lima tahun dengannya yang merupakan anak dari tetangganya yang juga teman baik kedua orang tuanya sudah berdiri di pembatas taman belakang antara rumah mereka dan melambaikan tangannya memberi isyarat agar Alranita mendekat dan gadis kecil itu dengan lesu melakukan apa yang anak laki-laki itu minta. "Ngapain kamu di sini? Bukannya Om Tirta sedang ada tamu?" Alranita duduk di kursi dekat dengan tempat anak laki-laki itu berdiri. Gadis kecil itu tidak menutupi rasa sedihnya dengan menundukkan kepalanya dan memasang wajah lesu, "Aku sedang duduk. Papa pulang bersama seorang wanita dan dua anak perempuan sepertinya lebih tua dariku. Papa bilang mereka akan menjadi calon anggota keluarga aku." Wajah anak laki-laki itu berubah prihatin memandangi gadis kecil itu. "Bukankah kalau begitu kamu harus di dalam? Kamu harus berkenalan dengan mereka." Ingatan Alranita melayang pada wanita yang baru ia kenal dan selama di rumahnya, wanita itu menempati tempat yang selama ini ditempati oleh almarhum mamanya. "Aku hanya sedih dan kesal karena Papa membawa mereka untuk menjadi keluarga aku. Mama pasti sedih kalau tau ada yang menempati tempatnya." Anak laki-laki itu pun menghela nafas berat, "Mas Dhika tau rasanya tapi jangan merasa sendiri karena kamu punya Mas Dhika. Kalau kamu kesepian kamu bisa dateng ke aku dan kita main sama-sama." Anak laki-laki itu berucap dengan nada sungguh-sungguh sehingga senyum di wajah Alranita kecil itu pun mulai muncul. "Mahardhika Wiradhana berjanji akan menjaga dan menemani Alranita Aryadwipa bermain dan tidak akan membiarkan Alranita kesepian. Kamu bisa pegang janji Mas Dhika." Senyum Alranita mengembang sempurna mendengar janji yang di ucapkan oleh anak laki-laki yang berada di dekatnya itu. Mahardhika Wiradhana sudah membuktikannya selama ini. Anak laki-laki itu selalu menepati janjinya saat ia berjanji akan sesuatu. Mahardhika berjanji mengajari Alranita bermain sepeda dan pria itu memenuhinya. Mahardhika berjanji mengajak Alranita ke toko buku dan pria itu memenuhinya. Masih banyak janji Mahardhika pada Alranita dan kali ini pun Alranita percaya anak laki-laki itu akan memenuhinya. Mahardhika dan Alranita dekat karena orang tua mereka masing-masing memang dekat dan bersahabat baik. Mahardhika menjaga Alranita layaknya adiknya sendiri dan Alranita memperlakukan Mahardhika layaknya kakak laki-lakinya dan kondisi ini terus berlangsung hingga saat Alranita beranjak menjadi gadis remaja. "Ala, papa dan mama tidak pernah mengajari kamu berbohong. Pendidikan itu penting, La. Kamu sudah mau SMA. Kamu harus belajar dengan giat agar kamu bisa masuk sekolah favorit." Alranita mengepalkan kedua tangannya di taman belakang rumahnya ketika Papanya datang dan memarahinya. "Ala enggak bohong, Pa. Ala sekolah tapi tadi Kak Cilla minta Ala buat beli buku jadi Ala pergi. Ala enggak bolos." "Sekarang kamu berani menjawab ucapan papa?!" Nada tinggi mulai terdengar. "Sore, Om Tirta." Suara Mahardhika muncul membuat perhatian ayah dan anak itu beralih ke sumber suara. Keduanya menatap Mahardhika, "Maaf, kalau aku ikut campur tapi tadi Ala memang tidak bolos Om." Mahardhika berusaha menjelaskan apa yang pria itu tau. "Aku liat Ala mau berangkat naik mobil barengan Cassy dan Cilla tapi Cilla meminta tolong Ala buat pergi ke toko buku jadi Ala melakukan apa yang Cilla minta." Wajah Papa Alranita perlahan berubah. Pria itu menatap Alranita dan gadis remaja itu mengangguk tegas, "Ala enggak bohong, Pa." "Ala memang jujur, Om. Aku saksinya. Aku mengatakan apa yang aku lihat karena tadi pagi aku mau berangkat ke kampus. Maaf kalau Om menilai aku ikut campur tapi aku hanya ingin Om tau kalau Ala memang tidak bohong. Aku melihat kejadian itu tadi pagi." Mahardhika mengucapkan dengan nada sungguh-sungguh dan wajah Papa Alranita mulai melunak mendengar ucapan Mahardhika. Pria bernama Tirta Aryadwipa pun menghela nafas panjang dan menatap putrinya dengan pandangan merasa bersalah, "Papa minta maaf. Papa takut kamu bolos sekolah tapi ternyata tidak. Lain kali jangan pernah bolos sekolah. Pendidikan itu penting." Alranita mengangguk dan Tirta Aryadwipa menepuk puncak kepala anaknya beberapa kali lalu menatap Mahardhika, "Terima kasih sudah mengatakan apa yang terjadi tadi pagi, Ardhi." Tirta tersenyum melihat anggukan Mahardhika dan pria itu meninggalkan putrinya dan Mahardhika di taman belakang sedangkan Tirta masuk ke dalam rumah. Alranita tersenyum lebar pada Mahardhika, "Terima kasih, Mas Dhika." Mahardhika tersenyum hangat pada Alranita, "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat, La. Aku memang sedang memakai sepatu di teras jadi aku bisa dengar percakapan kamu dan Cilla. Kedepannya kamu harus hati-hati, sepertinya Cilla dan Cassy memang memiliki niat yang tidak baik." Alranita tersenyum tipis dan hanya mengangguk sebagai respon. Kedua kakak tirinya bukannya memiliki niat yyang tidak baik tapi mereka memang tidak pernah baik pada Alranita namun Alranita memilih diam karena ia ingat ucapan kedua orang tuanya, tidak baik mengumbar sifat jelek orang lain. mengumbar sifat jelek orang lain tidak akan membuatmu menjadi baik jadi dari pada mengumbar sifat jelek orang lain lebih baik kamu fokus untuk menjadi diri kamu sendiri tanpa terpengaruh ikut menjadi jelek karena sifat jelek pada akhirnya akan tetap terlihat walau orang itu berusaha keras menutupinya. Mahardhika tersenyum lebar pada Alranita karena anggukan gadis remaja didekatnya itu. Sebuah senyum yang biasa saja tapi memberikan efek yang lain pada Alranita. Debaran yang terasa berbeda namun menyenangkan bagi Alranita menatap pria yang selama ini berada di dekatnya dan memenuhi janjinya. Pria itu menjadi tempat perlindungannya dan tempatnya pulang saat ia merasa kesepian. Pria yang semakin hari semakin bertumbuh menjadi pria yang tampan dan perlahan debaran di hati Alranita untuk Mahardhika berubah. Tatapan Alranita untuk Mahardhika bukan lagi tatapan gadis kecil yang menatap kakak laki-lakinya melainkan seorang gadis menatap seorang pria yang ia sukai. "La, tangan kamu kenapa lebam?" Nada khawatir terdengar dari suara Mahardhika yang melihat warna merah keunguan di tangan Alranita yang berkulit putih bersih sehingga lebam itu terlihat jelas. Alranita meringis ketika Mahardhika tidak sengaja menyentuh lebam ditangannya, "Kak Cassy mendorong aku dan aku terbentur meja." Mahardhika membulatkan matanya, "Kenapa dia dorong kamu?" Alranita menghela nafas perlahan dan menceritakan perselisihannya dengan Cassy karena papanya membelikan mereka hadiah tapi Cassy menginginkan hadiah miliknya namun Alranita mempertahankan miliknya karena papanya membelikan itu untuknya selain itu kakaknya itu sudah memiliki bagiannya sendiri. Masing-masing dari mereka memiliki bagian mereka sendiri-sendiri secara adil sehingga Alranita tidak mau memberikan apa yang menjadi miliknya dan itu menyulut kemarahan Cassy di saat orang tua mereka tidak ada Cassy mendorongnya dengan kasar dan merebut miliknya. Mahardhika marah dan hendak berdiri namun Alranita memeluk Mahardhika yang mulai memasuki fase pria dewasa itu, "Mas Dhika tidak perlu mendatangi Kak Cassy. Aku sebenarnya tidak suka dengan hadiah yang papa berikan sehingga aku akhirnya membiarkan dia memiliki barang itu." Mahardhika menghela nafas panjang dan membalas pelukan Alranita, "Tapi kamu harus melawan. Mereka selalu bersikap seenaknya sama kamu, La." Alranita mengeratkan pelukannya selama beberapa saat pada pria yang sudah lama menjadi tambatan hatinya itu lalu melepaskannya, "Ribut hanya akan menghabiskan tenaga. Begitu kata mama." "Tapi diam pun akan membuat kamu terus diinjak-injak. Kamu harus melawan agar mereka tau kalau mereka tidak bisa seenaknya." Alranita tersenyum tipis, "Itu hanya hadiah, Mas Dhika. Mas Dhika tidak perlu memperbesar masalah." Bagi Alranita hadiah itu tidak berarti karena saat ini pria yang ada dihadapannya adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya. Mahardhika mengangguk pasrah. "Lakukan apa yang menurut kamu baik tapi ingat kamu enggak sendiri. Mas Dhika akan selalu ada buat kamu." Bagi Alranita, Mahardhika bukan lagi sekedar teman kecilnya dan juga bukan sekedar tetangganya. Mahardhika berubah menjadi poros dunia Alranita karena semenjak Alranita sadar bahwa ia menyukai Mahardhika, wanita itu mulai melangkah maju mengikuti jejak langkah Mahardhika demi terus bisa berada dekat dengan pria yang ia suka karena semakin dewasa intensitas Alranita dan Mahardhika bertemu semakin jarang. Alranita tidak bisa masuk ke jurusan yang sama dengan Mahardhika karena ia merasa tidak mampu di jurusan teknik sipil sehingga Alranita memilih jurusan lain yang akhirnya nanti ia bisa menjadi seorang interior desain. Alranita bahkan memilih masuk di universitas dimana Mahardhika menempuh pendidikannya. Di kepala Alranita, Mahardhika yang akan membangun bangunannya dan Alranita yang akan mendesain isi dalam bangunan yang pria itu bangun. Namun kesibukan dunia kuliah dan dunia kerja nyatanya luar biasa padat dan bertemu dengan Mahardhika ketika pria itu sudah bekerja sangat-sangat sulit. Hingga suatu hari Mahardhika menyempatkan menjemput Alranita di kampusnya. Pria itu mengajak Alranita pergi makan bersama dan menonton film di bioskop karena ada film yang baru tayang di bioskop dan saat pulang Mahardhika menahan Alranita saat gadis itu selesai mengucapkan terima kasih dan hendak meninggalkannya setelah turun dari motor yang menjadi kendaraan sehari-hari Mahardhika saat itu. "Bisa kita bicara sebentar?" Mahardhika menahan kepergian Alranita. Alranita dengan polosnya mengangguk dan menatap wajah tampan pria yang menjadi pengisi hatinya, "Mas Dhika mau bicara soal apa?" Mahardhika menatap Alranita lekat-lekat di kedua bola matanya selama beberapa saat sebelum pria itu tersenyum dan mengambil tangan Alranita yang sedang memegang tali ransel tasnya dan Alranita menahan nafasnya beberapa saat karena aksi Mahardhika saat itu. "Mas?" Alranita kaget dan bingung. Mahardhika menatap Alranita tepat di kedua bola mata gadis itu dan tidak lama kemudian pria itu tersenyum lembut ke arah Alranita, "Kalau Mas bilang Mas Dhika suka sama kamu dan pengen kamu jadi pacar Mas Dhika, kamu mau?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD