Bab 2. Sedih Mia

1213 Words
Sekuat tenaga Mia mengumpulkan keberanian menghadapi masalah terbesarnya, kekasihnya yang ternyata telah membohonginya, mengatakan bahwa dia yang tidak lagi berhubungan dengan Rita, kenyataannya, dia yang ternyata masih saja memberi harapan ke Rita. Sakit hati tentu tidak terelakkan dan Mia yang harus memutuskan apakah dia meneruskan acara pertunangan atau membatalkannya, lalu mengumumkan bahwa calon tunangan yang telah berselingkuh. Ah, Mia ingin sekali berteriak saat ini mengatakan bahwa calon tunangannya telah berselingkuh, dan dia yang akan merasa puas karena telah mempermalukan Gilang di depan banyak orang. Mia sudah berada di dalam aula dan mata-mata kagum tertuju ke arahnya, karena penampilannya yang begitu sangat cantik dan sempurna. Dia melihat senyum di wajah kedua orangtuanya, berharap dia yang akan bahagia bersama pria pilihannya. Tidak mungkin rasanya melakukan kekonyolan di tengah-tengah perkumpulan orang-orang penting. Mia menarik napas dalam-dalam, berusaha berpikir jernih, dan dia yang tidak ingin mengecewakan banyak orang malam ini. Mia memutuskan untuk meneruskan acara pertunangannya sampai selesai. Mia tetap tersenyum saat berjalan bersama kedua orangtuanya menuju Gilang yang sudah berdiri tegap di tengah-tengah aula. “Aduh, Mia. Ganteng banget calon tunanganmu,” bisik Ami, mama Mia. Tapi dia sedikit kaget karena melihat Mia yang menangis. “Hei, jangan menangis, Sayang.” “Aku … aku hanya gugup.” Mia tetap menenangkan diri. “Oh, ya … Mama dulu juga gugup saat dilamar papamu, tapi nggak sampai menangis. Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan.” Mia menurut, melakukan instruksi mamanya, sambil melenyapkan emosi buruknya yang mendesak dari dalam. Dia berhasil menguasai diri, menghapus air matanya yang tidak begitu banyak di pipi, dan berjalan pelan mendekati Gilang yang menunggu sambil mengulurkan tangannya ke arahnya. Gilang sendiri terlihat puas melihat penampilan Mia, dia mengingat masa-masa mendekati gadis itu dan usahanya yang berhasil memuaskan. Mia adalah perempuan rebutan di SMA, banyak laki-laki yang menyukainya, bahkan guru-guru yang berusaha mendekatinya dengan serius. Dan Gilang adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil menjadi tambatan hati Mia saat mereka yang sama-sama kuliah di Amerika. Empat tahun sudah perjalanan asmara mereka dan akan segera berakhir di pelaminan, begitu harapan keduanya. “Kamu cantik sekali, Mia,” puji Gilang dengan senyum manis di wajahnya. Mia tidak semangat dengan pujian Gilang, dan dia yang tidak menangis lagi. Menoleh sebentar ke kedua orangtuanya dan keluarganya, lalu beralih ke Gilang. Dia mengingat kata-kata Gilang tadi yang dia dengar di luar jendela saat berusaha menenangkan Rita, Aku dan dia hanya bertunangan … tenanglah. Entah kenapa, Mia jadi ikut tenang setelah mengingat kata-kata itu, dan dia yang masih memiliki waktu untuk memikirkan jalan ke luar agar bisa lepas dari Gilang. Terlebih, Gilang yang berencana menikahinya tahun depan. “Mia, kita sudah bertahun-tahun saling kenal dan kamu adalah perempuan yang terbaik dalam hidupku. Aku nggak mau menyia-nyiakanmu, dan aku ingin membahagiakan kamu. Malam ini, di depan kedua orangtua kita, keluarga besar kita, juga yang hadir menyaksikan … aku ingin menyatakan kesungguhanku … ingin hidup bersamamu, selamanya.” Gilang duduk bersimpuh, menyerahkan sebuah cincin berlian ke hadapan Mia. “Aku mohon … kamu menerima lamaranku, dan menjadi pasangan hidupku selama-lamanya.” Mia akhirnya bisa menguasai diri, dan dia tetap menghargai semua pihak yang terlibat dalam acara mewah malam ini. “Ya, aku menerima,” ucapnya di lisan, tapi emosinya yang berkecamuk di dalam hati. Tepuk tangan dan sorak sorai terdengar membahana, semua ikut berbahagia. Mia menyambut tangan Gilang, dan Gilang yang berdiri di depannya. Gilang lalu menyematkan cincin ke jari manis Mia, lalu mengecup lembut bibir Mia. Sesak d**a Mia, saat Gilang berucap lirih kepadanya, “Aku mencintaimu.” Tatapan laki-laki yang dia cinta itu begitu hangat dan menggetarkan jiwanya. Setelahnya, Gilang menarik tangan Mia dan mengajaknya berdansa. Bagaimanapun, setidaknya acara utama sudah terlewati, dan Mia yang cukup lega. Dia berdansa dengan Gilang dan tertawa, meskipun sesekali dia menangis di dalam hati. Perasaan takut kehilangan muncul dan dia yang semakin bingung. Di tengah asyiknya berdansa berdua, tatapan Gilang tersita ke para orang tua yang saling bicara. “Mia. Sebentar, aku belum memperkenalkan kamu dengan papaku.” “Oh iya. Mana papamu?” Mia bertanya. Gilang menyuruh Mia menoleh ke arah papa kandungnya yang sedang berbincang akrab dengan kedua orang tua Mia. Dia sempat bingung dan heran karena mama dan papa sambungnya yang tidak berada di sekitar mereka. Dia mengedarkan pandangan dan melihat mereka yang ternyata sedang berbincang juga dengan kerabat Mia lainnya. Gilang mengerti mamanya yang ingin menghindari dari papa kandungnya dan ingin menjaga perasaan papa sambungnya. Mia terperangah melihat keakraban papanya dan papa Gilang. Bersama Gilang, Mia berjalan pelan mendekati. “Mia! Gilang! Haha. Papa ucapkan selamat untuk kalian berdua. Haha, Papa senang sekali malam ini.” Wisnu, papa Mia, tersenyum lebar melihat pasangan yang baru saja bertunangan. Dia memeluk Mia dan Gilang sekaligus dengan erat. “Oiya. Mia, ini … papaku.” Gilang memperkenalkan papanya yang sedari tadi diam mengamati. “Oh, Mia, Om.” Mia menunduk hormat. “Om Ihsan,” ucap papa Gilang, menyerahkan tangan kanannya ke Mia dan Mia menyambutnya dengan hangat. “Selamat,” ucapnya pendek. Pria itu pembawaannya tenang dan tidak terlalu ramah. “Terima kasih, Om … Ihsan. Sudah datang ke acara ini.” Mia menunduk lagi. Ihsan mengangguk tersenyum, dan dia tampaknya tidak ingin banyak bicara. Dia beralih ke Wisnu dan melanjutkan pembicaraan, sementara mama Mia melanjutkan kesibukannya menyambut tamu-tamu penting yang ingin berbicara dengannya. Gilang mengecup punggung tangan Mia. “Aku bahagia sekali malam ini. Terutama … aku yang pada akhirnya bisa mendatangkan papaku. Kamu tahu ... dia sibuk sekali akhir-akhir ini.” Mia mengangguk, dia sudah tidak peduli dengan keadaannya. Pikirannya mulai sedikit kacau, kembali mengingat pertemuan Gilang dan Rita di luar gedung. “Sebentar, Mia. Kamu tunggu di sini, ya,” ujar Gilang tiba-tiba dan dia yang tampak resah. “Ada apa, Gilang?” tanya Mia, tapi Gilang berjalan sangat cepat dan sepertinya tidak mendengar pertanyaan Mia. Mia menghela napas pendek, memandang nanar punggung Gilang. Dia jengah dengan situasi yang dihadapinya. Menggeleng dengan perasaan kesal dan dadanya yang sangat sesak, Mia berjalan cepat menuju toilet, dan dia ingin menumpahkan perasaan sedihnya. Mia sudah tidak sanggup lagi, dia menangis tersedu-sedu di depan wastafel. Ini sangat menyakitkan baginya, dan dia yang sudah terlalu dalam mencintai Gilang. Sudah berkali-kali dia yang memberi Gilang kesempatan saat mengaku khilaf, dan kini dia sudah bertunangan. Entahlah, apa dia masih sanggup menghadapi Gilang, apa laki-laki itu masih bisa dia percaya. Mia cepat-cepat menghapus air matanya saat mendengar langkah berat yang mendekat. “Mia?” Mia terkejut saat melihat laki-laki bertubuh tinggi tegap masuk dengan tenang ke toilet perempuan. “Om Ihsan?” “Oh, kamu rupanya. Tadi … Om … di toilet sebelah dan mendengar ada yang menangis.” Mia mendengus tertawa. “Iya, Om.” Ihsan mengamati Mia dengan dahi mengernyit. “Kamu … baik-baik saja?” tanyanya memastikan. “Iya, iya, aku … aku baik-baik saja.” Mia melap-lap pipinya, dan mengalihkan tatapannya dari mata tajam Ihsan. Dia lalu bersiap-siap ke luar toilet, melangkah cepat sambil menghindari Ihsan yang masih mengamatinya. Baru beberapa langkah, Mia berhenti dan berbalik, kembali ke toilet dan menangis sejadi-jadinya, hingga tertunduk dalam. “Mia.” Ihsan mendekati Mia, ikut duduk bertumpu satu lutut di atas lantai di hadapan Mia. Dia memegang bahu Mia dan sedikit mendorongnya. “Ada apa?” tanyanya, dan dia yang bersimpati. Mia menggeleng, tapi wajahnya sudah dibanjiri air mata. “Aku … aku sedih, Om.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD