Bab 5. Kesal Mia

1110 Words
Mia masih saja serius di depan komputernya, meskipun hampir semua staff pergi meninggalkan ruangan karena waktunya istirahat makan siang. "Mia, yuk ah," ajak Sara, menghampiri Mia. "Nanggung, Sara. Atau kamu duluan aja, aku nyusul." Sara berdecak kecil, dan berlalu. Dahi Mia mengernyit melihat punggung Sara, entah kenapa dia heran melihat sahabatnya itu, dan dia yang jadi kurang sreg. Terlintas di benaknya akan sosok Ihsan yang baru saja dia temui. Mia berpikir seandainya Sara mengetahui pertemuan itu dan menanyakannya, Mia tinggal menjelaskan, dan tidak akan peduli reaksi Sara yang mungkin marah. Setelah memastikan pekerjaannya, Mia merapikan meja kerjanya sebentar, lalu pergi ke luar ruangan. Kantin yang biasa dia dan Sara cukup ramai dan hanya ada beberapa kursi yang kosong, Mia berusaha mencari keberadaan Sara sambil menghubungi melalui ponsel. "Mia!" "Oh." Mia langsung mematikan ponselnya, berjalan cepat menuju meja di mana ada Sara di sana. "Soto spesial sama tempe mendoan, tanpa nasi, sudah aku pesankan," ujar Sara semangat. Mia tertawa kecil dan mengangguk. Sara sudah tahu kesukaannya karena sudah berteman dekat sejak sama-sama kuliah di Amerika. Dia lalu duduk di depan Sara. Tak lama kemudian, pesanan datang dan keduanya mulai menikmati makan siang. "Emang pas banget kamu datang, pesanan pun diantar," ujar Sara. "Kayaknya yang punya warung sengaja nungguin idolanya deh," godanya kemudian. Mia memang terkadang digoda penjaga kantin tapi mereka yang tetap sopan kepadanya. "Haha, bisa aja kamu," kilah Mia. Sara menyantap sop daging yang sudah dia campur dengan nasi putih, lalu bergumam nikmat. Dia mengamati wajah Mia yang ceria hari ini. "Hm, sudah mesra-mesra nih, nggak ada drama lagi?" Mia mendelik, menghentikan kunyahan sejenak setelah mendengar pertanyaan Sara. "Buat apa drama lagi, kita sudah bertunangan," ujarnya. Entah kenapa dia yang tidak mau terlalu banyak mencurahkan isi hatinya ke Sara tentang Gilang. "Yakin?" tanya Sara. "Ya. Kami sudah bertunangan dan tahun depan akan menikah, lalu Gilang yang berencana mengajakku pergi ke Canada, karena ada peluang di sana." Sara mengangguk-angguk, tapi tampaknya dia tidak begitu semangat. "Entahlah, firasatku nggak bagus jika kamu menikah dengannya. Sebaiknya kamu pikir ratusan kali deh. Ini masih ada jeda waktu sebelum menikah. Menikah itu bukan perkara main-main, dan kamu yang setiap hari di seumur hidupmu melihat orang yang sama setelah bangun tidur." "Ya, aku siap melihat Gilang setiap hari dan aku sudah membuktikannya selama ini." Sara menggeleng, menatap Mia tidak percaya. "Pacaran itu beda dengan menikah, Mia." "Aku sudah bilang sama kamu bahwa aku sangat mencintainya,” ujar Mia yakin, dan dia juga heran kenapa dirinya bisa seyakin itu mengatakannya ke Sara. Di saat yang sama, dia heran Sara yang seolah menekan dirinya. “Aku dan dia teleponan kok semalam, jadi … nggak perlu ada yang dikhawatirkan.” Sara melanjutkan makannya, “Aku ini sahabatmu, Mia. Aku sangat mengkhawatirkan kamu,” ujarnya pelan. Mia terenyuh mendengar kata-kata Sara, mengingat kembali kedekatannya dengan Sara dan dia mengakui bahwa Sara yang selalu mengingatkannya dan memberi nasihat, juga mendengar setiap keluh kesahnya. Tapi dia tidak tahu kenapa kali ini hatinya menolak untuk menceritakan yang sebenarnya, tidak ingin terlalu dalam mengungkapkan. “Hm, ngomong-ngomong kapan lagi nih bisa bertemu papanya Ihsan?” tanya Sara tiba-tiba. Mia terkejut, sampai dia terbatuk-batuk. Dia minum setelah batuknya reda beberapa saat. “Sori, Sara. Om Ihsan?” “Ya, Om Ihsan. Apa ada rencana bertemu dia lagi?” Mia tertawa kecil, tapi dalam hati dia cukup lega karena ternyata Sara tidak mengetahui detail rapat dadakan di kantor pagi tadi. “Hm, belum ada, Sara.” “Ya, kamu adain dong. Atau … kamu tanya Gilang nomor papanya.” “Ha? Nggak salah aku nanya ke Gilang. Ntar dia mikir aku yang nggak-nggak lagi.” “Ya nggak mungkin mikir kamu yang nggak-nggak sama papanya, ‘kan kamu sudah tunangan sama dia.” “Maksudku, ntar dia mikir aku yang akan mengadu soal dia ke papanya atau apalah, ntar dia tanya macam-macam, atau kamu saja yang langsung tanya ke Gilang. Aku bisa menghubunginya sekarang.” Mia memainkan ponselnya di depan Sara. Sara cemberut. “Kamu nggak setia kawan, Mia.” Mia mendelik, hatinya tidak menerima kata-kata Sara. Selama ini dia yang selalu mendukung Sara dan membantu kesulitannya, bahkan sering pula membantu meringankan pekerjaannya. Dia diam menahan emosi, melanjutkan makannya sampai habis. Kini diam di antara mereka, dan Sara yang tampak memperhatikan Mia dalam diam. “Well, kamu benar, Mia. Sebaiknya aku yang tanya langsung ke Gilang,” ujar Sara. Mia menghela napas pendek, pikirannya berubah kacau, tentang tunangan yang berulah dan sahabat yang pemaksa. Melihat sikap Sara, Mia bertambah yakin untuk tidak memberitahu nomor pribadi Ihsan. Lagi pula Ihsan pun melarang. Makan siang sudah selesai, tanpa bicara Mia dengan cepat berdiri dan berjalan menuju kasir dan membayar pesanannya. Sara masih melanjutkan makannya sambil memperhatikan Mia. Dalam hati dia kecewa akan sikap Mia, tidak berucap terima kasih kepadanya siang ini, dia sudah bersusah payah mencari tempat duduk yang nyaman, lalu membantu memesankan, tapi Mia yang seolah tidak peduli. “Masalah lagi dengan si sombong kesayangan Sindi?” tanya Yosi, rekan kerja Sara, sekatnya tepat di sebelah sekat ruang Sara. Sara memainkan alis matanya. “Ya, emang nyebelin kalo berurusan sama dia.” “Baru sadar? ‘Kan sudah aku bilangin ke kamu soal dia tuh. Haha, dari tadi aku peratiin, kamu yang sudah capek-capek nandain tempat duduk, bantu mesanin, eh ujung-ujungnya ditinggal marah. Minimal dibayarin kek. Pelit amat. Eh, tapi jangan salah lo, biasanya yang punya swalayan itu terkenal pelit dan perhitungan sampe seit*l-it*l. Merinding asli.” Sara diam saja, tidak mau membalas ucapan Yosi, dia tahu Yosi sangat membenci Mia sejak berseteru soal pekerjaan. Yosi kesal karena Mia dianggap mengambil alih pekerjaannya tanpa izin, sehingga dia mendapat pujian dari petinggi perusahaan. Tapi Sara mendengar pengakuan Mia bahwa dia disuruh bu Sindi untuk mengambil alih pekerjaan Yosi waktu itu, karena Sindi yang bisa kena getahnya jika tidak cepat bertindak. Sara menceritakan ini ke Yosi, tapi Yosi tidak terima, dan tetap memusuhi Mia. Sara pun menilai Yosi yang hanya iri saja kepada Mia, karena Sindi menyukai Mia, dan tidak pernah menyuruh Yosi lagi. “Orang kemaruk tuh contohnya kayak dia noh. Sudah papa mama kaya, punya swalayan gede, eh … malah ambil jatah orang kerja di sini. Kalo aku mah, ngapain juga kek gitu.” “Yos. Itu artinya kerja keras, lo bedain dong sama yang rakus. Sekalian aja lo bilang bos Tirta rakus. Sudah kaya, warisan nggak kehitung, masih juga butuh proyek sana sini, bangun rumah sana sini sampe ke Kalimantan sono. Belum lagi mau bikin cafe gede. Berani nggak?” Tiba-tiba ada seorang pria yang membalas omelan Yosi dari belakang. Dia Cipto, salah satu rekan kerja mereka juga. Yosi terdiam cemberut, dan Sara mengulum senyum, membenarkan kata-kata Cipto barusan, meskipun dia kesal dengan sikap Mia. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD