Bab 7. Ide Sara

1032 Words
Gantian, kini Rita yang memandang Sara tidak percaya. “Kamu menyukai om Ihsan?” Sara mengangguk, tersenyum malu. “Aku … entahlah, aku tergila-gila sama dia.” “Bukannya kamu nggak suka pria matang? Dulu kamu hina-hina aku—” “Rita, itulah yang membuat aku dan Mia agak renggang sekarang,” ujar Sara cepat. Rita menyesap kopinya sambil melirik Sara sebal. Dia masih mengingat sikap Sara permusuhan yang ditunjukkan Sara kepadanya, hanya karena dia berpacaran dengan pria setengah baya, lalu kini Sara yang malah menyukai Ihsan, yang usianya jauh lebih tua. “Aku mengaku kepadanya bahwa aku menyukai calon mertuanya itu,” lanjut Sara. “Lalu? Dia yang nggak suka dengan hal itu?” Sara menggeleng. “Aku memintanya untuk mendapatkan nomor kontak om Ihsan, tapi dia menolak, maksudku … dia nggak mau melakukannya karena … dia khawatir Gilang yang berpikir yang nggak-nggak.” “Jelas dong. Aneh aja Mia minta nomor hape om Ihsan lewat Gilang, pasti Gilang mikirnya jauh. Mau minta langsung sama om Ihsan, rasanya nggak mungkin. Tahu sendiri papanya Gilang itu orangnya nggak mau berurusan dengan orang-orang nggak penting.” “Maksudmu Mia nggak penting?” “Maksudku nggak ada kaitannya dengan kerjaan dia.” Sara berdecak sebal, masih mengingat pertengkaran kecilnya dengan Mia di kantin. “Tapi aku nggak suka sikap Mia.” “Kamu sudah lama sama dia, masa nggak peka. Kapok sekali-sekali deh.” “Ya, ini juga aku juga udah males sama dia. Tapi … ck, dia kadang bantuin aku.” Rita menertawakan Sara, “Kamu licik juga.” “Bukan licik, aku hanya memanfaatkan dia yang menjadi favorit di kantor.” Rita masih dengan tawa kecilnya. “Ah, ternyata kamu juga nggak punya nomor om Ihsan,” keluh Sara. “Jadi kamu anggap pertemuan ini sia-sia?” “Kind of.” Kurang ajar, batin Rita. Tapi dia sangat mengenal Sara yang terkadang semaunya. “Hm … ternyata nggak anak, nggak bapak, perangainya sama,” gumam Sara pelan. “Om Ihsan dan Gilang maksudmu?” Sara mengangguk dengan kedua alis mata terangkat. Rita mendengus tertawa, membenarkan pendapat Sara mengenai Ihsan dan Gilang. “Tadinya aku mengira om Ihsan mudah digoda karena pernah berselingkuh dengan perempuan seumuran kita, ternyata dia tidak menanggapi dan bertambah dingin.” “Hm, kamu meragukan isu perselingkuhannya?” “Hm, entahlah. Lagi pula aku hanya mendengar gossip-gosip para orang tua itu, dan … percaya atau tidak.” Pikiran Sara semakin pelik. “Sudah, lebih baik kamu cari pria yang seumuran, ‘kan banyak di kantor, ganteng-ganteng lagi. Om Ihsan? Kejauhan dan terlalu tinggi.” “Tapi dia sendirian sekarang.” “Haha, Sara. Ya ampun, kamu memang sedang tergila-gila. Saranku, kamu hubungi saja akun media sosialnya, aku punya.” “Aku sudah tau itu, dia belum menerima permintaan pertemanan.” “Kalo itu aku sudah.” Sara berdecak sebal. “Kamu dan Gilang?” tanyanya tiba-tiba. Rita terdiam, menatap kosong gelas kopinya. “Aku masih berharap janjinya.” “Janji?” “Ya, dia bilang kepadaku bahwa dia hanya bertunangan saja dengan Mia, tapi … dia janji akan menikah denganku. Pertunangan malam itu hanya ingin menyenangkan perasaan Mia.” Sara mendengus, menertawakan nasib Mia dalam hati. Sungguh miris nasib si cantik Mia, dan dia sudah menduga jauh sebelumnya. Tapi, entah kenapa dia mendadak memiliki ide setelah mendengar pengakuan Rita barusan. “Hm, bagaimana kalo kita bekerja sama,” ujarnya. Rita mengernyit tidak mengerti. “Kamu masih menghubungi Gilang?” tanya Sara. “Tidak untuk minggu ini.” Sara berdecak sebal. “Baiklah, tapi aku mendukungmu dengan Gilang. Lalu aku yang bisa mendapatkan Ihsan.” Rita tersenyum kecil, menurutnya khayalan Sara berlebihan, karena sulit mendapatkan seorang Ihsan. “Haha, lucu sekali, seandainya aku berpasangan dengan Gilang, lalu kamu dengan Ihsan … kamu adalah mama iparku dong,” ujarnya dan mereka berdua tertawa lepas. “Eh, Sara! Itu om Ihsan!” teriak Rita tiba-tiba, melihat seorang pria ke luar dari toko sebelah yang menjual roti, berjalan santai menuju jalan dan hendak menyeberang. Sara terdiam, lalu fokus ke pria yang dimaksud Rita. Seketika jantungnya berdegup kencang melihat pria matang itu berpakaian santai, kaos krem polos dipadu celana dongker pendek, berkaca mata hitam dan bersepatu kets. Dia membawa kantong kain berisi makanan dan satu gelas kertas. Tampak orang-orang di sekitarnya memandangnya kagum, juga senyum-senyum. Rita pun juga terpana melihat sosok Ihsan. “Eh, dia kok masuk gedung kantormu, Sara?” tanya Rita heran. “Iya ya?” Sara juga heran. Lalu mereka berdua saling pandang. “Eh, papanya Gilang itu arsitek, ‘kan?” tanya Sara. Rita mengangguk. “Ya, kenapa?” Sara mendadak tertawa senang. “Kayaknya dia terlibat dalam proyek desain ulang di kantorku itu.” “Ha?” “Iya, Rita. Artinya dia bekerja di kantorku dan tinggal di dekat sini, ah, Rita, pertemuan ini nggak sia-sia.” Rita ikut senang melihat Sara yang antusias. “Ah, nggak sabar lagi besok ke kantor.” Sara menjerit kecil kesenangan. *** Mia selesai mandi sore ini, setelah membalur seluruh tubuhnya dengan pelembab, dia berpakaian dan siap-siap bersantai. Baru saja menyalakan televisi di kamar, ponselnya berbunyi dan dia pun berdecak sebal. Gilang menghubunginya. “Halo, Gilang.” “Mia, kok nggak nelepon-nelepon aku sih? Aku kirim pesan lama banget balasnya.” “Aku sibuk, Gilang. Di kantor ada banyak proyek.” Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. “Mia. Ada apa sih? Kok kamu marah-marah?” “Aku marah? Nggak tuh.” “Aku ke rumahmu sekarang.” Hubungan pun terputus dan Mia yang cemberut. Mia tidak jadi menonton karena suasana hatinya yang buruk setelah mendengar suara Gilang. Dia masih kesal saat mengingat malam pertunangan itu, mengingat lagi percakapan Gilang dan Rita di luar gedung. Ternyata hubungan mereka sudah sangat jauh dan mendalam, dan Gilang yang menganggap pertunangannya hanyalah permainan. Mia tidak mengerti apa yang ada di dalam benak Gilang sekarang, seharusnya dia tidak perlu memaksa bertunangan jika masih terikat dengan Rita. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamar diketuk dari luar, Mia dengan malas beranjak dari sofa dan melangkah menuju pintu. “Mia, ada Gilang di depan,” ujar Ami dengan senyum manisnya. Mia membalas senyuman mamanya dengan anggukkan, dan dia yang tidak ingin memperlihatkan kekesalannya di depan mamanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD