bc

Your Personal Doctor

book_age16+
6.1K
FOLLOW
28.7K
READ
family
love after marriage
pregnant
brave
self-improved
doctor
drama
tragedy
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Ryan patah hati. Patah sepatah-patahnya. Ia membekukan hatinya agar tak lagi terluka karena seorang wanita. Tapi tidak begitu dengan keluarganya. Mama Ryan justru merencanakan perjodohan Ryan dengan anak dari sahabatnya, Riani.

Tidak. Ini bukan pernikahan kontrak seperti perjodohan pada umumnya. Ucapan akad nikah tidak semain-main itu. Tapi, pernikahan yang diawali dengan saling mencintai saja bisa dipenuhi masalah, maka tak ayal badai pun menerpa biduk rumah tangga Ryan dan Riani. Tepat ketika keduanya sekuat tenaga menyeimbangkan laju pelayaran bahtera rumah tangga, tiba-tiba sebuah spesies virus baru ditemukan! Mereka didapuk menjadi bagian dari tim peneliti. Waktu, tenaga, dan pikiran banyak tersita oleh membengkaknya beban kerja di Rumah Sakit akibat kesibukan baru.

Mampukah Riani memenangkan hati Ryan? Mampukah tim peneliti mengenali dengan cepat karakteristik virus baru tersebut? Mampukah mereka mengendalikan penyebaran virus? Dan mampukah mereka terhindar dari penularan virus yang setiap hari mereka hadapi?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
   "Lo nggak apa-apa, Yan?" Ken, laki-laki yang berjalan di sebelah Ryan bertanya. Mereka sudah berada di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan Elvina berlangsung.    "Nggak apa-apa. Santai aja." Ryan mengibaskan tangan di depan wajah. Tapi ia sama sekali tak menatap mata temannya itu.    Tiba-tiba, Ken merangkul pundaknya. "Gue tau lo sakit hati, Yan. But life must go on, bro." Ia menepuk pundak Ryan pelan. Memberi semangat.    "Apaan, sih." Ryan menyingkirkan lengan Ken. "Dah, gue duluan."    "Yoi, hati-hati."    Ryan memencet tombol bergambar gembok terbuka di gantungan kunci mobilnya.    Tiin tiin...    Berjarak beberapa langkah dari tempat Ryan berdiri, sebuah mobil hitam metalik tampak mengedipkan lampunya. Ryan bergegas menuju mobil itu.    Ryan duduk di belakang kemudi. Ia menghela nafas panjang dan berat. Matanya berair, merah, panas dan perih. Meski saat ini hatinya terasa jauh lebih perih. Bohong jika ia sama sekali tak sakit hati seperti kesan yang berusaha ia tampilkan tadi. Setelah bertahun-tahun menanam cinta yang ternyata bertepuk sebelah tangan, lalu ditinggal menikah, bohong jika tak ada sedikit pun luka di hatinya. Tapi benar kata Ken, life must go on. Tak mungkin ia harus terus meratapi nasibnya. Asmara yang kandas bukan akhir dari segalanya. Ia boleh gagal dalam percintaan, tapi ia masih memiliki sisi kehidupan yang lain. Karir, misalnya.    Ryan mengusap kasar wajahnya sesaat sebelum menyalakan mesin mobil. Ia mulai membuat gerakan untuk mengeluarkan mobilnya dari barisan mobil yang terparkir rapih. Untuk kemudian melesat di jalanan kota yang cukup lengang di akhir pekan. Meninggalkan masa lalu yang menguap bersama kebahagiaan di ruang resepsi pernikahan wanita yang ia cintai. Wanita yang ternyata tidak Tuhan takdirkan sebagai jodohnya. Wanita yang menghabiskan waktunya untuk mencintai tanpa dicintai. ***    "Yan, hari Minggu kita bakal kedatangan tamu. Om Surya sekeluarga mau mampir ke sini sekalian Mama ajak makan malam. Tau 'kan temen Papamu, tuh?" Wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tengah menyambut kedatangan Ryan. Anak tertuanya.    “Iya, tahu. Ngapain?” Ryan menggantungkan kunci mobil di dekat laci ruang tengah. Kemudian merebahkan diri di sebelah Mamanya. Badannya lelah, hatinya meremah.    “Kebetulan lagi ada acara di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Sudah lama juga Papamu nggak ketemu sahabat dari jaman sekolah dulu. Kamu juga udah lama ‘kan nggak ketemu anaknya Om Surya?”    “Oh si Riani? Iya, udah lama banget.” Ryan melepas dua kancing teratas kemejanya. Memejamkan mata.    “Kamu masih inget sama Riani? Kalian masih sering kontak nggak?”    “Inget lah. Dulu ‘kan sering ke sini sama Om Surya. Tapi nggak pernah kontak.”    “Yan.” Mamanya mendekat. Suaranya merendah. Remote TV di tangannya diletakkan sembarangan.    “Hm?” Ryan malas menjawab. Memilih kembali memejamkan mata.    “Kalo kamu Mama jodohin sama Riani mau?”    “Hm?” Ryan membuka mata. Alisnya bertaut.    “Si Riani, kamu mau nggak Mama jodohin sama dia?” Mamanya tersenyum menggoda. Kedua alisnya naik turun.    “Apaan, sih, Ma!” Ryan kembali menutup mata. Kali ini memilih meringkuk.    “Eh, Mama beneran. Coba duduk dulu.” Wanita yang melahirkan Ryan itu menggoyang tubuh anaknya. Memaksanya bangun.    “Mama mau bikin novel saingannya Siti Nurbaya, ya? Anaknya dijadiin percobaan gitu?”    Tiga puluh tahun lalu, saat Ryan mungil terlahir ke dunia di tengah badai hujan dan petir, karir Mama Ryan sebagai dokter umum kandas sudah. Hidup jauh dari keluarga, hanya berdua dengan suami dengan kondisi ekonomi pas-pasan membuatnya merelakan karirnya sebagai dokter umum. Gaji dokter di desa tak seberapa, untuk biaya sehari-hari saja sudah pas-pasan apalagi jika harus membayar pengasuh untuk Ryan saat ditinggal kerja.    Memang ada pilihan lain selain membayar pengasuh, di antaranya membawa Ryan ke Puskesmas tempat sang Mama bekerja atau dititipkan ke tetangga. Dua pilihan ini sama menyulitkan. Hingga suatu malam yang basah karena hujan membungkus desa sejak sore, pasangan suami istri yang baru menjadi orang tua itu mengambil keputusan berat. Salah satu dari keduanya harus rela tidak bekerja. Membersamai Ryan kecil, mendidiknya, mengawasi setiap tingkah polahnya, mengerjakan pekerjaan rumah, dan lain sebagainya. Pemasukan akan berkurang, cita-cita karir gemilang mungkin akan pupus, tapi setidaknya Ryan akan tumbuh dilimpahi kasih sayang dari orang tuanya.    Tidak, Mama Ryan sama sekali tak keberatan. Terkadang ia hanya bosan. Ketika Ryan kecil tertidur pulas dan pekerjaan rumah sudah dibereskan, wanita berparas ayu –sesuai namanya- itu mulai mengambil kertas dan pena. Menuliskan apapun yang ada di pikirannya. Bertahun-tahun begitu. Hingga kepindahannya ke kota, ia memulai karir barunya. Menjadi penulis.    “Heh!” Mama Ryan menimpuk anaknya dengan bantal sofa. Ryan gesit menghindar, terkekeh pelan. “Mama serius, Nak.”    Ryan menelan ludah. Jika panggilan ‘Nak’ sudah meluncur dari bibir sang Mama, artinya wanita paruh baya itu benar-benar akan memulai pembicaraan serius.    “Mama ngerti hatimu baru saja terluka, tapi apa salahnya memulai hubungan baru?” Ia menatap putranya prihatin. Matanya berkaca-kaca. “Kamu boleh menolak tawaran Mama. Tapi jangan biarkan hidupmu sia-sia. Jangan biarkan hatimu terus terluka. Anak Mama ini, berhak bahagia. Mama membesarkanmu untuk melihatmu bahagia, Nak.” Sudut mata wanita yang tak lagi muda itu meluncurkan setetes air mata. Segera diusapnya. Ia berdehem, menghilangkan rasa tercekat di kerongkongan.    Ryan bungkam. Kerongkongannya tercekat. Ada rasa panas yang menjalar dari hati hingga ke wajahnya. ***    Ruang makan rumah Ryan sibuk dan gaduh. Mama Ryan, dibantu putrinya menyiapkan banyak sekali piring berisi lauk pauk. Ayam bakar kecap, aneka sayur lalapan, sambal bajak kesukaan Papa Ryan, gulai ikan kakap, udang balado, plecing kangkung, tempe tahu bacem, dan tentunya setoples besar krupuk. Jam dinding di ruang makan menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sebentar lagi tamu istimewa mereka akan segera datang.    Ting… tong…                Bel rumah bernyanyi riang.                “Ryaaaaaan!” Mama Ryan berteriak dari ruang makan. “Bukain pintunya!”                “Iya, Maaaaa!” Ryan balas berteriak. Ia baru saja keluar dari kamarnya. Mengaitkan kancing kemeja paling bawah.                “Assalamu’alaikum.” Sebuah salam menyapa begitu pintu dibuka. Di hadapan Ryan berdiri dua orang tamu istimewa mereka hari ini. Laki-laki berperawakan tinggi besar dengan jenggot yang beruban berdiri sambil tersenyum ramah. Di sebelahnya, seorang wanita berjilbab warna navy ikut tersenyum. Ada lesung pipi di pipi kirinya. Tampak manis sekali.                “Wa’alaikumsalam. Masuk, Om.” Ryan membuka pintu lebar-lebar. Menyilakan tamunya masuk.                “Sudah lama nggak ketemu, ya, Yan? Terakhir waktu kamu masih sekolah dokter umum. Hahaha.” Surya membuka obrolan begitu ketiganya duduk di sofa ruang tamu.                “Hehehe, iya, Om. Udah lama banget. Om Surya apa kabar? Sehat-sehat aja ‘kan?” Ryan ikut-ikutan berbasa-basi.                “Alhamdulillah, kolesterol aja nih yang tinggi. Hahaha. Ya gimana? Makanan yang enak itu justru yang bersantan dan gorengan. Hahaha.” Surya memang begitu. Suka tertawa. “Oh, iya. Riani masih inget sama Mas Ryan ‘kan?” Ia menoleh ke arah putrinya yang tertunduk. Tampaknya ia canggung dengan pertemuan ini. “Dulu kalo Ayah ajak ke sini, Riani cuma mau main sama Ryan, nggak mau sama adikmu tuh, Yan. Padahal mereka seumuran. Oh iya, siapa namanya?”    “Hanna, Om.” “Nah, iya si Hanna. Mana dia?”    “Lagi bantuin Mama di dapur. Nyiapin makanan spesial buat tamu spesial.” Ryan berseloroh. Disambut tawa menggelegar khas Surya.    “Sudah datang, Ya?” Papa Ryan muncul dari balik tirai yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah.    “Wah, ini, nih.” Surya berdiri. “Apa kabar kau, Bim?” Sepasang sahabat karib itu berpelukan.    “Ya begini lah. Kalau bersepeda cuma kuat 1 kilometer. Hahaha.”    Ryan pamit ke belakang. Membiarkan keduanya punya waktu untuk nostalgia berdua.    “Aku ikut, Mas.” Riani akhirnya mendongak. “Sekalian bantu Tante Ayu nyiap-nyiapin di belakang.”    “Oh ya udah, ayo!”    Riani membuntuti Ryan menuju ruang makan.    “Rianiiiiii…” Mama Ryan berseru girang. Bergegas menuju wastafel, cuci tangan, kemudian mengeringkannya secepat kilat.    “Apa kabar, Tante?” Riani memeluk sahabat karis mendiang ibunya.    “Baik, baik. Kamu apa kabar, Ri?” Mama Ryan melepas pelukannya. Ia menatap perempuan manis di hadapannya.    “Baik juga, Tante.” Riani tersenyum. Memamerkan lesung pipinya yang tak terlalu dalam.    “Ya ampun! Kamu makin cantik aja. Makin mirip ibumu.” Ayu, Mama Ryan menangkup wajah Riani dengan kedua tangannya. Gemas.    “Hehehe, makasih, Tante.” Riani tersipu. Ah, ia memang pemalu.    “Ayo duduk!”    Riani semakin canggung diperlakukan bak tamu kehormatan. Kursi untuknya dimundurkan, lalu dipersilakan duduk dengan isyarat telapak tangan menghadap ke atas dan badan setengah membungkuk. Tante Ayu-nya itu memang suka berlebihan.    Riani menyapa Hanna yang juga berada di ruang makan. Bertanya kabar, berbasa-basi sebentar. Hanna sibuk menata piring dan gelas. Riani dan Hanna seumuran, dulu mereka sering bermain bersama tiap orang tua mereka bertemu. Tapi Riani lebih suka menghabiskan waktu dengan Ryan. Pasalnya, dulu Hanna pelit jika punya mainan dan selalu menangis jika mainannya dipinjam. Riani tidak suka anak yang pelit.    Hanna selesai menata piring, ikut duduk di meja makan. Bertiga mereka bercengkaram hangat, mengobrol banyak hal, menceritakan kejadian lucu di masa lalu. Sesekali, suara gelak tawa terdengar dari ruang makan, membuat Ryan yang duduk di ruang tengah melongok penasaran.    Pukul delapan malam, para pria dipersilakan mengisi kursi-kursi di ruang makan. Ryan duduk persis di hadapan Riani. Posisi strategis. Membuatnya mampu melihat jelas semua ekspresi yang berusaha disembunyikan Riani.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MOVE ON

read
98.1K
bc

PAPA BIRU (End)

read
290.8K
bc

Stuck With You

read
73.9K
bc

Disguise [Indonesia]

read
71.3K
bc

Steff dan Dara

read
62.8K
bc

MBA (Married by Accident)

read
169.9K
bc

Accidentally Married

read
108.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook