Bab 2

1411 Words
Lista Calista Oktaviani, gadis muda berparas ayu.  Lista memilih hidup mandiri setelah Lina sang kakak menikah lagi dengan seorang lelaki bernama Adit. Lista tidak ingin dirinya menjadi beban untuk Lina, oleh sebab itu ia memutuskan untuk hidup mandiri dengan memilih tinggal  rumah kos-kosan tak jauh dari tempatnya bekerja, sementara Lina tinggal bersama Adit di Bandung.  Untuk menghidupi dirinya sendiri, Lista pun bekerja di salah satu restoran siap saji, sebagai pramusaji. Selama ini Lista begitu menikmati hidupnya, meski hidup dengan pas-pasan tapi dengan tidak menjadi beban kakaknya.  "Lista," Panggil Septa tetangga kos, sekaligus teman satu kerjaan.  "Berangkat sekarang?" Tanya Septa lagi.  "Bentar lagi ya, aku mau beresin kamar dulu." Jawab Lista, kemudian ia kembali masuk kedalam kamar kos untuk merapikan tempat tidur dan beberapa barang lainnya.  Setiap pukul tujuh pagi, Lista dan Septa akan berangkat kerja bersama. Karena lokasi tempat mereka bekerja tidak terlalu jauh, mereka berdua hanya perlu berjalan kaki dan dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah sampai.  "Sarapan belum?" Tanya Septa.  "Belum."  "Aku bawa roti isi, mau?"  "Gak usah, aku belum lapar. Buat kamu aja."  Selain menjadi tetangga dan teman kerja, Septa juga sudah seperti saudara untuk Lista. Kebaikan Septa dan juga keluarganya membuat Lista tidak merasa kesepian.  "Nanti siang aku mau ajak kamu pulang ke rumah Mamah, mau kan? Udah lama aku gak kesana." Ajak Septa.  Rumah kedua orang tua Septa berada cukup jauh, oleh karena itu Septa memutuskan tinggal di tempat terpisah karena baginya terlalu jauh jika harus bolak-balik.  "Nginep?" "Iya. Besok kan libur, kita bisa sekalian liburan disana."  Lista memikirkan kembali ajakan Septa, sebab ia pun sudah berjanji akan bertemu dengan Lina kakaknya.  "Tapi aku ada janji ketemu Mbak Lina. Dia bilang Mas Adit ada kerjaan di Jakarta, jadi bisa sekalian ketemuan."  "Oh, gitu ya. Padahal sayang banget aku mau ajak kamu ketemu saudaraku yang baru lulus kuliah kedokteran. Kali aja kalian jodoh." Septa tersenyum penuh arti ke arah Lista.  "Jadi, kamu ngajak aku kesana mau jodohin aku sama saudara kamu itu?"  "Nggak juga. Aku emang mau ajak kamu liburan aja, tapi kalau kalian tertarik satu sama lain kenapa nggak, kamu kan jomblo, dia juga jomblo. Pas kan?"  Lista berdecak pelan. Sampai saat ini ia memang belum mempunyai seorang kekasih. Bukan karena tidak ada lelaki yang tertarik padanya, tapi setiap kali ada lelaki yang mendekatinya Lista justru merasa enggan dan langsung bersikap acuh. Terkadang hal itu sering membuatnya dijauhi para lelaki karena Lista dianggap sombong. Namun sejujurnya bukan karena sombong tapi karena Lista merasa tidak percaya diri dengan keadaannya saat ini.  "Jadi kamu gak bisa ikut nih?"  "Gak bisa kayaknya. Gak enak kalau sampe aku gak dateng, kita udah lama banget gak ketemu."  "Oke deh.,  Mereka berdua pun memulai aktivitas setelah waktu jam kerja dimulai. Restoran tempat Lista bekerja memang cukup terkenal di wilayah itu. Selai menyajikan hidangan enak, juga ramah di kantong. Sehingga di jam makan siang restoran tersebut selalu ramai bahkan bisa sampai pukul delapan malam mereka tidak pernah kekurangan pengunjung.  Gaji yang diterima Lista memang tidak begitu besar, tapi cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari ditambah membayar rumah kosan. Lista memang tidak pernah menghamburkan uang untuk kepentingan lain, selain untuk kebutuhan yang benar-benar diperlukannya. Bahkan untuk ukuran gadis seusianya yang membutuhkan banyak uang untuk membeli pakaian bagus dan skincare. Lista justru terkesan abai dengan hal-hal semacam itu. Lista menganggap keperluan hidupnya jauh lebih penting daripada mengutamakan gaya.  "Makin lama restoran makin rame aja ya?" Ucap Septa ketika mereka berada di ruang karyawan setelah jam pulang kerja tiba.  "Iya." Jawab Lista. Ia pun melepas seragam kerja menjad kaos berwarna merah muda.  "Kenapa gak nambah karyawan aja sih. Kita berdua kadang kewalahan."  "Udah nambah karyawan, tapi di bagian dapur. Untuk kasir, memang gak nambah-nambah atau mungkin gak bakalan nambah."  Karena mereka berdua memiliki bagian yang sama yaitu ditempatkan di bagian kasir, terkadang hal itu membuat Lista dan Septa benar-benar kewalahan.  "Tapi lebih kewalahan lagi orang dapur, mereka harus bekerja lebih ekstra lagi setiap kali pengunjung bertambah banyak."  "Iya juga. Tapi beruntungnya kita punya Bos yang begitu perhatian, dan yang paling paling penting dia gak pelit." Lista menggumam membenarkan. "Selain ganteng, seksi, kaya, apalagi coba kekurangan Pak Farel. Tapi sampai hari ini dia masih aja jomblo, belum nikah. Padahal usianya udah mateng banget jadi imam."  Lista tidak begitu menanggapi ucapan Septa, sebab kalimat itu sudah ratusan kali ia ucapkan. Kekaguman Septa pada Bos pemilik restoran tempat mereka bekerja bukan lagi rahasia umum, sebab bukan hanya Septa yang menganggap Farel tampan dan suamiable, tapi juga sebagian besar pengunjung restoran yang kebanyakan kaum wanita. Mereka berbondong-bondong ingin melihat seberapa tampan Farel dengan mengunjungi Restoran setiap hari. Mungkin saja ketampanan Farel juga menjadi salah satu penyebab restoran mereka selalu ramai.  "Akhir-akhir ini aku lihat Pak Farel sering dagang ke restoran, kenapa ya? Bisanya jarang."  "Gak tau." Jawab Lista singkat.  "Atau jangan-jangan dia memang sedang mencari jodoh? Jodohku pelangganku, mungkin?"  "Ngaco! Lelaki kaya seperti Pak Farel itu pasti pilih-pilih dalam mencari pasangan hidup. Gak mungkin wanita sembarangan, makanya dia masih betah menjomblo."  "Kata siapa? Saya gak gitu kok."  Septa dan Lista sontak menoleh ke arah sumber suara, dimana ia melihat Farel sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka berada.  "Saya gak cari calon istri bukan dari bibit, bebet, bobotnya. Kalau saya suka, siapapun dia pasti akan saya perjuangkan."  "Pak Farel." Ucap Lista dan Septa bersamaan.  "Saya gak maksud seperti itu, saya cuman kira-kira." Lista merasa tidak enak hati karena ia sudah menilai Farel hanya dari sudut pandangnya saja.  "Saya tau. Bukan hanya kamu yang berpikiran seperti itu, tapi hampir semua orang. Dan saya hanya meluruskan saja apa yang menjadi persepsi orang-orang terhadap saya selama ini."  Jelas Farel sambil tersenyum.  Meski Farel tidak menganggap serius ucapan Lista namun ia merasa pendapat orang lain selama ini salah terhadap dirinya, oleh sebab itu ia harus meluruskan agar tidak terjadi salah paham. "Mungkin bisa saja jodoh saya adalah seorang kasir restoran. Tidak ada yang tau kan?"  Lista masih menunduk karena malu, sementara Septa justru terlihat sumringah mendengar ucapan Farel. "Iya. Namanya jodoh kan rahasia ya, Pak." Balas Septa. "Pak Ada tamu di luar, tapi kita udah mau tutup."  Tiba-tiba salah satu pegawai menghampiri Farel.  "Siapa?"  "Kami gak tau, tapi dia bersikeras mau pesan makanan. Padahal kita sudah tutup sepuluh menit lalu."  Kejadian langka seperti ini memang tidak bisa dihadapi oleh pegawai, sedikit saja mereka melakukan kesalahan maka nama baik restoran taruhannya. Oleh sebab itu, Farel pun segera menghampiri orang tersebut yang ternyata sudah masuk ke dalam restoran.  Lista dam Septa pun tidak mau tinggal diam, mereka berdua mengikuti Farel dari belakang dan ingin melihat siapa orang tersebut.  "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Farel dengan sopan pada dua orang lelaki yang tengah duduk menghadap ke arah jendela. Dimana mereka membelakangi Farel, meski mereka tau Farel sudah berdiri tak jauh dari meja yang mereka tempati. "Saya mau pesan makanan." Jawabnya santai. "Tapi restoran kamu sudah tutup sepuluh menit lalu."  "Tapi disana gak ada tulisan Close." Tunjuk lelaki itu pada pintu kaca yang terdapat di bagian depan. Farel pun melihat ke arah telunjuk lelaki itu, dan ternyata benar. Disana belum ada tanda Close yang menunjukan restoran sudah tutup. Satu kesalahan yang harus Farel akui.  "Jadi wajar dong kalau saya masuk dan mau pesan makanan." Ucapnya lagi dan kini ia menoleh ke hadapan Farel.  "Saya lapar, dan saya mau pesan makanan. Ada yang salah?" Lanjutnya. "Tentu tidak. Kami akan segera membuatkan pesanan anda."  Farel pun akhirnya menginstruksikan para pegawai menyiapkan makanan untuk dua orang tamu dadakan. Mereka pun yang sudah bersiap untuk pulang terpaksa kembali pada posisi semula. Termasuk Lista dam Septa.  "Kenapa sih mereka datang di jam seperti ini. Nyebelin banget!"  "Salah satu ciri orang kaya sombong." Balas Lista.  "Darimana kamu tau mereka kaya?" "Orang miskin pasti tau bagaimana cara dia menempatkan diri dan tidak mungkin bersikap angkuh hanya karena kita lupa memasang tanda close."  "Benar juga."  "Dan juga, lihat saja mobil yang terparkir di luar sana. Itu bukan mobil biasa, tapi mobil limited edition hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memilikinya."  Septa melirik ke arah luar dimana mobil tersebut terparkir dengan sempurna. Septa hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, terpukau dengan keindahan mobil yang begitu menyilaukan mata.  Karena sebagian karyawan ada yang sudah terlanjur pulang, akhirnya Lista pun bertugas mengantar makanan pada dua pelanggan itu.  "Silahkan, ini pesanannya." Lista menaruh nampan di atas meja tersebut dan sesegera mungkin ia bergegas pergi.  "Hai Lista, masih ingat aku." Ucap salah satu pengunjung yang sejak tadi menundukan kepala menatap layar ponsel.  Lista mengerjap, begitu ia menatap dengan tatapan terkejut ke arah lelaki itu.  "Dariel?!"  "Ternyata masih ingat. Apa kabar?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD