Suara piano yang menciptakan melodi indah terdengar di seluruh villa. Victoria memainkan tuts pianonya dengan anggun dan penuh penghayatan.
Jane yang menyaksikan di kejauhan mengembangkan senyum. Ia tak mengerti musik. Ia juga tak tahu musik apa yang tengah Victoria mainkan. Namun begitu, Jane merasa seolah jiwanya ikut masuk ke dalam alunan musik itu hingga membuatnya sedih.
Tak heran jika Luke selalu memuji keterampilan piano Victoria di luar hubungan mereka sebagai kekasih. Nyatanya, kemampuan Victoria dalam memainkan jari-jarinya di atas piano sangat baik.
“Bagaimana penampilanku?” tanya Victoria seraya tersenyum begitu permainannya selesai.
“Indah. Lihat, air mataku sampai keluar mendengarnya,” jawab Jane jujur sembari menyeka sudut matanya yang mengundang kekehan Victoria.
“Kau selalu berlebihan,” cibir Victoria.
“Tidak, tidak. Kau memang bermain dengan sangat baik,” bantah Jane.
“Aku bercanda. Aku tahu kalau aku selalu bermain dengan baik,” gurau Victoria lalu tertawa yang membuat Jane ikut tersenyum.
“Lalu bagaimana dengan bayaran untuk permainanku?” tanyanya.
Jane kembali mengulas senyum lalu berkata, “Aku sudah menyiapkan meat pie kesukaanmu.”
Dengan bahagia, Victoria beranjak dari piano menuju ruang makan dan melihat sepiring besar meat pie buatan Jane. Tanpa basa-basi, Victoria langsung menyantap meat pie tersebut dengan lahap.
“Bagaimana rasanya?” tanya Jane.
“Sangat enak~” puji Victoria yang tak berhenti memakan meat pie-nya hingga tersisa sedikit.
“Pelan-pelan. Tidak ada yang akan merebutnya darimu,” pinta Jane seraya meletakkan segelas jus jeruk di depan Victoria.
“Terima kasih,” ujar Victoria lalu meminum jus jeruknya. “Ah! Aku lupa!”
“Lupa apa?” tanya Jane bingung.
“Aku lupa menelepon Luke hari ini. Dia pasti sudah menunggu teleponku!” seru Victoria kemudian bergegas lari menuju kamarnya dan Luke di lantai 2.
Victoria mengambil ponselnya di atas tempat tidur dan melihat 21 panggilan video tak terjawab dan 32 pesan belum dibaca dari Luke yang membuat bibir Victoria mengembang.
Tanpa membuang waktu, Victoria segera menghubungi Luke melalui panggilan video. Tak butuh waktu lama, Luke langsung menjawab panggilannya.
“Kenapa baru menelepon?” tanya Luke yang terlihat kesal di layar ponsel Victoria. Melihat ruangan di belakang pria itu, Victoria bisa menebak kalau kekasihnya sedang berada di sebuah cafe atau restoran.
Victoria lantas terkekeh lalu berbaring di tempat tidur. “Maaf, tadi aku sedang bermain piano di bawah lalu makan meat pie buatan Jane. Jadi, aku lupa menghubungimu.”
“Kau sudah kenyang sekarang?” tanya Luke sedikit menyindir yang kembali membuat Victoria tertawa.
“Sayangnya belum. Aku meninggalkan sedikit sisa karena teringat padamu,” ujar Victoria. “Omong-omong, bagaimana urusanmu di sana? Apa kau bisa pulang tepat waktu? Festivalnya diadakan besok malam.”
“Aku masih ada sedikit urusan. Tapi, aku akan tiba tepat waktu,” ucap Luke.
“Kau sendiri yang mengatakannya. Kalau kau ingkar janji, aku tidak akan memaafkanmu,” ancam Victoria.
Luke tersenyum kemudian berkata, “Kita akan lihat nanti.”
“Luke.” Tiba-tiba terdengar suara wanita di seberang sana yang memanggil nama pria itu. Meski samar, tapi Victoria yakin kalau wanita itu adalah Isabelle, Kakak-nya.
“Aku masih ada urusan. Tutup teleponnya,” ucap Luke kemudian memutus panggilan video secara sepihak.
Begitu panggilan terputus, senyum Victoria langsung memudar. Jantungnya berdebar kencang dengan ketakutan yang mendadak menyelimutinya.
Luke sedang bersama Isabelle. Apa yang mereka lakukan di sana? Atau mungkin Luke memang ke sana untuk Isabelle? Seketika pikiran-pikiran negatif itu menyergap Victoria.
Namun, Victoria segera menggelengkan kepala membantah dan berusaha mengusir pikiran buruk itu.
“Tidak. Luke tidak mungkin membohongiku. Aku tidak peduli hubungan apa yang mereka miliki di masa lalu. Saat ini, aku-lah yang ada di samping Luke. Lagi pula, hubungan mereka hanya rumor yang tidak jelas,” gumam Victoria yakin.
“Jangan mudah terhasut Victoria! Kau harus percaya pada Luke!”
***
Hari berganti dan kini Victoria tengah berada di ruang tunggu belakang panggung yang ia gunakan untuk istirahat sebelum tampil di festival tahunan perusahaan Ace-Sky Group.
Victoria menutup mata ketika perias sedang merias matanya. Saat ini Victoria sedang bersiap-siap sebelum penampilannya dimulai.
Dan Victoria menghabiskan waktu selama 1 jam lebih hanya untuk merias wajah, menata rambut, serta berganti pakaian. Itu semua adalah fasilitas wajib yang Chloe sediakan untuknya.
Pintu diketuk dan Chloe masuk ke dalam. Victoria tersenyum menyambut kedatangan wanita itu.
“Bagaimana persiapanmu?” tanya Chloe lembut.
“Sempurna,” jawab Victoria dengan semangat penuh.
“Aku bisa melihatnya. Kau sangat cantik malam ini,” puji Chloe.
“Aku tahu,” gurau Victoria.
“Apa kau gugup?” tanya Chloe seraya memberikan sebotol air minum yang diterima oleh Victoria.
“Sedikit,” jawab Victoria tanpa memudarkan senyumnya. Namun, Victoria tak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya karena belum mendengar kabar dari Luke yang mengatakan akan tiba tepat waktu.
“Luke pasti akan datang,” sahut Chloe ketika menyadari hal itu.
“Tapi, aku belum bisa menghubunginya sejak tadi,” ucap Victoria sedih.
“Jangan khawatir. Luke bukan orang yang suka ingkar janji. Dia pasti akan datang jika sudah berjanji,” ujar Chloe berusaha menenangkan.
“Dari pada memikirkan itu, lebih baik kau mempersiapkan dirimu. Kau akan tampil sebentar lagi sebagai penampilan pembuka. Jangan sampai suasana hatimu memengaruhi penampilanmu,” terangnya.
“Aku mengerti. Terima kasih,” ucap Victoria yang berusaha tetap tersenyum.
Chloe melihat jam tangannya lalu berkata, “Kalau begitu aku keluar dulu. Masih ada yang harus kukerjakan.”
Setelahnya, Chloe beranjak dari sana setelah Victoria mengangguk. Sepeninggal Chloe, Victoria kembali melihat ponselnya yang tak berbunyi sekali pun.
Namun, Victoria kembali mengabaikannya dan fokus menenangkan diri. Seperti kata Chloe, Victoria tak ingin hal itu memengaruhi penampilannya malam ini.
Setelah menunggu hampir 30 menit, kini tiba giliran Victoria tampil. Dan sampai saat itu pun, Luke tidak menghubunginya sekali pun.
Victoria yang mengenakan gaun putih melangkah dengan anggun memasuki panggung di mana sebuah piano telah berdiri kokoh di tepat di tengah.
Sebelum duduk di kursi, Victoria tersenyum berdiri menghadap para penonton yang hadir kemudian membungkuk. Sorak tepuk tangan pun terdengar meriah menyambutnya.
Tak ingin membuang waktu, Victoria duduk di kursi, meletakkan kaki di atas pedal dan meletakkan kedua tangan di atas tuts piano. Victoria menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai menekan tuts piano.
Saat melodi mulai terdengar, seketika orang-orang mulai saling berbisik membicarakan musik yang Victoria bawakan. Itu adalah musik klasik dari Wolfgang Amadeus Mozart berjudul Piano Sonata No. 11.
Dari luar, musik itu memang terdengar hanya sebagai musik klasik terkenal karena nama Mozart di belakangnya. Namun saat ini, bukan itu poin utamanya.
Pasalnya, itu adalah musik yang pernah Isabelle mainkan yang membuatnya menerima banyak pujian. Isabelle merupakan salah satu pianis terbaik yang cukup terkenal di Melbourne.
Dan karena nama belakang mereka yang sama, nama Victoria mulai terseret dan orang-orang mulai membandingkan mereka berdua. Lebih tepatnya merendahkan Victoria dan menerbangkan Isabelle seperti sekarang.
“Bukankah itu musik yang pernah Isabelle mainkan?”
“Berani sekali dia memainkan musik itu. Apa dia tidak malu?”
“Apa dia sengaja memainkan musik itu agar dia lebih terkenal seperti Isabelle?”
“Kemampuannya bahkan jauh di bawah Isabelle, tapi dia berani memainkan musik itu. Dia seharusnya malu!”
“Dia hanya ingin menggunakan nama Isabelle untuk memanjat ke dunia sosial. Semua orang tahu itu.”
“Kenapa kalian semua berkata seperti itu? Menurutku dia memainkannya dengan cukup baik. Lihat ekspresinya, dia terlihat seperti pianis profesional.”
“Tidak. Bagiku Isabelle yang terbaik. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa di permainan wanita itu.”
“Sepertinya telingamu benar-benar sudah tertutup.”
“Kau yang bodoh! Semua orang di sini juga tahu kalau Isabelle yang terbaik, sementara Victoria selalu ingin mengalahkan Isabelle dengan kemampuannya yang tak seberapa. Mereka berdua seperti bumi dan langit.”
Di saat mereka berbondong-bondong membandingkan, Victoria terus memainkan jari-jari lentiknya dengan cepat namun tetap anggun. Setiap melodi yang keluar terdengar begitu indah dan penuh penghayatan.
Meski banyak orang yang tidak ingin mengakuinya, tapi Victoria memainkan musik itu dengan sangat baik. Hingga membuat orang-orang seolah terhipnotis dan bisa merasakan emosi yang Victoria tuang ke dalam musik itu.
Melodi-melodi yang Victoria mainkan terus berputar di dalam ruangan besar dan mewah tersebut. Di mana para penonton hanya terfokus pada Victoria yang terus menekan tuts pianonya.
Sampai akhirnya, penampilan Victoria berakhir dan suara tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Victoria beranjak dari kursinya dan sekali lagi berdiri seraya tersenyum menghadap ke arah penonton.
Sebelum membungkuk, mata Victoria menyapu orang-orang yang duduk sambil bertepuk tangan tersebut. Namun, Victoria tak dapat menemukan Luke di antara mereka. Hingga akhir pun, pria itu sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.
Dengan langkah lemah, Victoria memasuki ruang tunggu yang sebelumnya ia gunakan.
“Wow! Selamat, Victoria! Penampilanmu tadi sangat hebat!” seru Alice yang telah berada di dalam dengan sebuket mawar pink di tangannya.
Victoria memaksakan senyum melihat Alice yang menyambutnya. Victoria lalu mengambil bunga yang disodorkan padanya itu dengan semangat.
“Terima kasih, Alice,” ujar Victoria.
“Wah! Aku benar-benar tidak bisa memalingkan mataku darimu. Kau sungguh memainkannya dengan sangat baik. Bahkan lebih hebat dari saat latihan. Aku sampai tidak tahu harus berkata apa karena terlalu bangga padamu,” celoteh Alice.
“Terlebih lagi, aku merasa sangat puas setelah melihat wajah orang-orang yang ikut terpesona dengan penampilanmu. Padahal selama ini mereka selalu merendahkanmu. Tapi aku yakin, setelah malam ini pikiran mereka tentangmu akan berubah,” sambungnya.
“Oh, ya! Aku yakin kau belum makan malam. Kau ingin makan apa? Meskipun harusnya kau yang mentraktirku, tapi karena aku sedang bahagia jadi aku yang akan mentraktirmu,” tawar Alice penuh semangat.
Namun, wajahnya berubah ketika melihat Victoria yang melamun. Alice bahkan tidak yakin kalau sahabatnya itu mendengar ucapannya atau tidak.
“Vic,” panggil Alice yang membuat lamunan Victoria buyar.
“Ya? Ada apa?” tanya Victoria bingung.
Alice terdiam sejenak. Bukannya ia tak tahu apa yang sedang Victoria pikirkan. Nyatanya, Alice pun terus mencari Luke sejak tiba di sana. Namun, pria itu tak kunjung muncul hingga saat ini.
“Dia pasti memiliki alasan tidak datang ke sini. Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Alice berusaha menenangkan.
Namun, Victoria hanya tersenyum lemah sebagai balasan. “Aku lelah. Aku akan pulang sekarang.”
“Aku akan mengantarmu,” tukas Alice khawatir.
“Tidak perlu. Aku sedang ingin menghirup udara segar,” tolak Victoria kemudian beranjak keluar sembari menenteng tas tangannya. Ia bahkan masih mengenakan gaun putihnya.
“Vic,” panggil Alice yang menghentikan langkah Victoria.
“Aku baik-baik saja,” ucap Victoria tanpa berbalik kemudian melanjutkan langkahnya.
***
To be continued.