bc

PESAN TERAKHIR

book_age16+
829
FOLLOW
3.8K
READ
revenge
tragedy
no-couple
mystery
brilliant
genius
icy
detective
realistic earth
crime
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana perasaanmu, jika seorang teman lama memberi pesan padamu? Pasti kamu akan merasa senang sekali, bukan? Namun, bagaimana jika teman lama itu memberi pesan dengan cara yang berbeda? Apakah kamu akan tetap merasa, senang?

Lalu, bagaimana caramu menjelaskan mengenai pesan tersebut terhadap orang-orang yang ada di sekitarmu? Akankah, kamu mengatakannya dengan jujur?

Ini adalah kisah tentang aku yang menerima pesan dari teman lama, dengan cara yang tak biasa.

chap-preview
Free preview
PROLOG
BUBH!!! Khadija merentangkan kedua tangannya seakan menyambut kedatangan Alia - Putrinya - ke rumah yang menjadi kado untuk ulang tahun gadis itu. Di usianya yang sudah menginjak angka dua puluh delapan, tentu saja ia sangat senang saat Ibunya mengatakan bahwa akan memberi kado dalam bentuk sebuah rumah. Ia sudah lama mencari rumah yang dekat dengan kantor tempatnya bekerja, namun tak pernah berhasil mendapatkannya. Namun rumah itu tentu saja tak pernah terpikirkan dalam bayangan Alia sebelumnya. Rumah dengan cat tembok berwarna biru muda itu tak pernah terlihat usang di makan waktu, meski waktu sudah berlalu sangat jauh dari saat ia SMP dulu. "Ini 'kan, rumahnya Neng Anis, ya Mi?" tanya Alia, seakan sedang berusaha mempercayai penglihatannya. "Iya, dulu kamu teh sering main-main di sini kalau Umi sama Almarhum Papah lagi ke luar kota. Nah, rumah ini dijual udah lama sama Mamahnya Neng Anis, tapi belum laku-laku. Jadi, karena kamu bilang mau cari rumah tinggal yang dekat sama kantor, Umi beliin deh rumah ini, buat kamu," jawab Khadija dengan sangat jelas. Alia kembali menatap rumah itu. "Terus, Neng Anis sama Keluarganya pindah kemana, Mi? Kok rumah sebagus ini, dijual?" Alia memang selalu bertanya sampai ke akar-akarnya. Khadija tak merasa heran dengan sikap Putri semata wayangnya itu, karena kebiasaannya itulah yang membuat Alia kini menjadi seorang Polisi. "Umi nggak nanya-nanya lebih lanjut geulis..., sok atuh, sekarang kita mau jadi pindahan atau mau wawancara dulu warga sekitar yang udah jelas kenal banget sama kamu dan Umi?" Khadija balik bertanya, menyindir lebih tepatnya. Alia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil terkekeh pelan. Ia sadar betul kalau Ibunya memang selalu hobi menyindirnya. Beruntung baginya, karena Ibunya tak pernah menyindir soal jodoh. Alia mulai menurunkan barang-barang dari dalam mobilnya, Khadija membuka gembok yang terpasang di pagar lalu berjalan masuk menuju pintu utama. Mereka bekerja sama menurunkan barang-barang dan menyimpannya di ruang tengah rumah itu. Rumah yang sudah sangat tidak asing bagi Alia di dalam ingatannya. "Umi kok bisa kepikiran, mau beli rumah di Cijanur, lagi?" tanya Alia. Khadija menatap Alia sambil mengeluarkan barang-barang dari dalam kardus. "Umi mimpi ketemu sama Neng Anis terus dia bilang katanya rumahnya dijual, buat Neng Alia tempati," cerita Khadija. Alia mengerutkan keningnya, saat mendengar cerita dari Ibunya mengenai mimpi itu. Ia ragu, tapi ia juga tahu kalau Ibunya tak pernah berbohong sekalipun selama ini. Jadi sangat tidak mungkin kalau Ibunya bermain-main dengan mimpi yang dialaminya. "Jadi Umi akhirnya ke rumah keluarga Neng Anis yang baru, pas mau beli rumah, ini?" Alia ingin tahu lebih banyak. "Nggak. Umi cuma menghubungi nomor ponsel yang dipasang di papan pengumuman di depan pagar. Umi diminta menunggu sama Mamahnya Neng Anis di pertigaan Malangbong, terus kami ketemu di Masjid Agung. Akad deh di situ," jelas Khadija. "Akad jual belinya di Masjid Agung? Itu akad jual beli atau akad nikah, Mi? Kenapa nggak ketemu di restoran aja, sih?" protes Alia. "Ya nggak tahu, Umi mah nurut aja, sama apa yang Mamahnya Neng Anis mau. Lagipula kan juga, Umi cuma tanda tangan surat perjanjian jual beli sama serah terima surat-surat rumah ini aja. Kalau uangnya mah, Umi transfer pakai mobile banking," tutur Khadija. "Tapi 'kan tetap aja Mi, aneh rasanya kalau mengadakan akad jual beli rumah, di dalam masjid. Meskipun Alia nggak tahu apa-apa soal dalil dalam Islam, tapi seenggaknya ya jangan di Masjid, lah." "Ya 'kan udah terlanjur. Masa mau diulang lagi. Umi repot kalau harus mengulang akad lagi sama Mamahnya Neng Anis," rajuk Khadija. Alia terkekeh melihat tingkah Ibunya. "Oh ya, nomor telepon Mamahnya Neng Anis masih ada, Mi? Alia mau tanya kabarnya Neng Anis dong, kalau boleh," pinta Alia. "Masih ada sih, tapi setelah akad jual beli seminggu yang lalu nomornya udah nggak aktif lagi, tuh. Umi udah coba hubungi, tapi nggak masuk-masuk," jawab Khadija. Alia semakin kebingungan, ia merasa ada yang sangat aneh dari semua hal itu. Namun ia segera menepis hal-hal tak masuk akal yang tengah berputar dipikirkannya, lalu kembali fokus untuk menata barang-barang, yang masih berantakan. "Neng Anis pasti baik-baik aja," yakin Alia. Sosok Anis yang tak kasat mata, menatap Alia dari sisi samping gadis itu. Ia ingin sekali menyapanya, namun jelas sudah tak bisa. Alam mereka sudah berbeda. "Kok rasanya dingin sekali, ya? Padahal matahari panas sekali, di luar," ujar Khadija. "Mungkin karena posisi rumah ini yang teduh Mi, makanya suhu di dalam sini dingin, rasanya," pikir Alia. Khadija pun mengangguk-angguk karena merasa alasan yang Alia utarakan sangat masuk akal. Mereka tak tahu kalau sosok Anis ada di sekitar mereka berdua, sehingga hawa panas itu berubah menjadi dingin. Sosok Anis menatap sebuah bingkai foto yang menampilkan potret dirinya dan Alia saat masih remaja. Alia masih menyimpan foto itu, dan Anis merasa sangat bahagia ketika tahu. PRAKK!!! Alia dan Khadija menoleh saat bingkai foto itu terjatuh. Alia segera meraihnya dan memastikan kalau fotonya baik-baik saja. "Duh, Alhamdulillah fotonya nggak apa-apa," Alia mengucap syukur. "Jangan ceroboh atuh geulis..., simpan baik-baik kalau nggak mau rusak," pesan Khadija. "Iya Mi," balas Alia. Khadija dan Alia hampir selesai menurunkan semua barang-barang, ketika seseorang menyapa mereka. "Assalamu'alaikum Ibu Haji, ya Allah, udah lama sekali kita baru ketemu lagi," sapa Siti - Ibunya Isma, salah satu teman masa remaja Alia. Mereka berpelukan dan saling cium pipi kanan pipi kiri seperti Ibu-ibu pada umumnya. Alia hanya mampu tersenyum melihat hal itu, ia sudah lama menjadi lebih pendiam ketimbang saat masih remaja dulu. "Iya, udah lama banget kita nggak ketemu. Sejak saya pindah dari sini sepertinya, kalau nggak salah," balas Khadija. "Loh, ini Alia? Masya Allah, sudah dewasa ya sekarang?" tegur Siti. Alia pun meraih tangan Siti dan menciumnya dengan sopan. "Alia udah kerja?" tanya Siti. "Udah Bi Siti, kebetulan kantor Alia dekat dari sini," jawab Alia. "Alia kerja di kantor Polisi, jadi sekarang kami memutuskan tinggal di sini kembali, agar lebih dekat dengan tempat kerjanya," jelas Khadija "Oh, begitu ternyata. Alhamdulillah kalau tempat kerja dekat dengan rumah tinggal, nggak repot jadinya," ujar Siti. "Iya, itu yang saya dan Alia pikirkan juga, selama ini." "Kalau begitu mari ya Bu Haji, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi. Saya mau masak dulu," pamit Siti. "Baik Bu Siti," balas Khadija. Alia menatap Ibunya yang tersenyum ke arahnya. "Kenapa, Mi?" tanya Alia, bingung. "Kamu teh jangan terlalu pendiam atuh geulis. Dulu kamu teh bawel, jadi bingung nanti orang-orang, kalau kamu lebih banyak diam kaya begini," jawab Khadija. Alia mengulum senyum dan membiarkan Ibunya masuk lebih dulu, ke dalam rumah. Ia sendiri berusaha mengangkat sebuah kardus terakhir, untuk dibawa masuk. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada satu sosok, yang sedang berdiri di ujung jalan. Di mana, sosok itu tengah menatapnya, seakan berusaha untuk mengenali siapa dirinya yang tengah berdiri di depan rumah Anis. "Ares," gumam Alia, lalu segera beranjak masuk ke dalam rumah. Kenangan lama kembali menyeruak begitu saja di ingatannya. Semua, tanpa terlewat satu pun. "Geulis..., kamu mau pakai kamar yang mana?" tanya Khadija. Alia langsung menatap ke arah sebuah pintu yang amat sangat ia kenali. Pintu kamar Anis yang dulu pernah ditempati oleh gadis itu. Tempat Alia bermain dan menginap kalau sedang ditinggal sendiri oleh Ibu dan Ayahnya. "Alia mau pakai kamar itu aja ya Mi, boleh 'kan?" tunjuk Alia. "Ya boleh atuh, 'kan ini teh rumah kamu. Umi mah cuma, numpang," balas Khadija. "Umi! Jangan ngomong gitu! Alia nggak suka!" rajuk Alia. Khadija terkikik geli dengan tingkah Putrinya, yang tak pernah berubah. Alia memang selalu tak suka jika Khadija terlalu merendah diri di hadapannya. Meskipun Khadija bukanlah Ibu yang melahirkannya, Alia tetap menyayangi Khadija dengan sepenuh hati dan juga sepenuh jiwa raganya. Itulah yang membuat Alia selalu merasa terusik, kalau Khadija mulai merendahkan dirinya sendiri. "Jangan begitu lagi Mi, Alia nggak mau dengar Umi merendah diri di depan aku. Alia ini anak Umi, bukan orang lain!" tegasnya. "Iya, maaf ya geulis..., Umi nggak begitu lagi deh," bujuk Khadija, sambil memeluk tubuh Putrinya. Alia membalas pelukan itu dengan erat, ia tak ingin melepasnya dan ingin berlama-lama memanjakan Ibunya yang selalu saja bekerja keras untuk keluarga. "Ini teh mau sampai jam berapa, pelukannya? Nanti Umi nggak bisa masak, keburu maghrib," sindir Khadija. "Biarin, ah! Umi nggak usah masak, Alia mau ngajak Umi makan di luar, biar Umi nggak perlu capek, hari ini," balas Alia. Khadija hanya bisa geleng-geleng kepala, dan membiarkan Alia terus memeluknya dengan erat. * * * Arez POV Itu Alia! Gadis yang selalu bermain di rumah Anis saat kami semua masih SMP. Gadis yang - kata Anis - baik hati meskipun cerewetnya minta ampun. Dia pernah menyukaiku, tanpa tahu kalau aku dan Anis adalah sepasang kekasih. Tapi aku dan Anis salut padanya, karena dia bukan tipe pemaksa. Saat aku menolaknya, dan saat aku memberitahunya mengenai hubunganku dengan Anis, dia mundur tanpa merasa sakit hati. Hanya berselang satu tahun, dia pun pergi dari sini karena Ayahnya pindah tugas. Kami tak pernah lagi berkomunikasi, kami tak pernah lagi saling menghubungi, dan kami bahkan tak pernah lagi bertemu. Alia bahkan tak pernah berpamitan pada kami saat pergi dari sini, waktu itu. Anis begitu kehilangan teman bermainnya, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Kini dia kembali, setelah Anis pergi. Apa yang harus kukatakan padanya, jika dia bertanya tentang Anis padaku? Aku sendiri belum tahu harus bagaimana menyampaikan kenyataan mengenai Anis padanya. * * * Next Episode 1...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.6K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook